Sebelumnya, apa aku sudah pernah bercerita kalau bekerja di tempat bimbingan belajarku sekarang adalah bekerja under pressure?
Bagaimana tidak?
Bayangkan, dengan adanya kewajiban melayani konsultasi jika siswa kesulitan dalam mengerjakan soal atau memahami materi, tentu kita harus optimal menyiapkan skill kognitif karena materi atau soal yang disodorkan terkadang di luar batas kemampuan, haha.
Nah, kalau kita tidak bisa menjawab apa yang mereka tanyakan?
Jangan harap mereka akan respek ke kita.
Nilai kita di mata mereka langsung nol, bahkan minus.
Tahu sendiri, kan, betapa barbar-nya kelakuan remaja Jakarta jaman sekarang.
Attitude tidak ada, sok ambisius, tapi ternyata otaknya tidak lebih besar dari otak udang.
Awalnya, kalau tidak salah, baru beberapa minggu aku masuk kerja, aku sempat mental break down karena pernah terlalu lama berpikir akibat lupa rumus untuk menjawab soal yang diberikan salah seorang siswa, sebut saja B, sampai-sampai si B tidak sabar dan pada akhirnya memilih untuk pindah konsultasi ke guru lain yang lebih master.
Sejak saat itu, di matanya aku benar-benar kasat mata.
Perlakuannya seperti menampar dan menyadarkanku kalau aku tidak bisa diam saja.
Maka, aku mulai giat mengerjakan soal-soal, dari soal UN sampai SBMPTN dan ujian mandiri beberapa PTN, bertanya ke sana sini jika ada yang tidak aku mengerti salah satunya ke guru senior yang sangat membantuku dalam proses belajar ini, bahkan tidak jarang aku belajar juga dari siswa.
Aku tidak membiarkan ada celah bagi siswa untuk memandangku secara sebelah mata lagi.
Hingga, ketika si B kembali konsultasi kepadaku untuk menanyakan beberapa soal (mungkin terpaksa akibat si guru senior sudah hampir dua bulan jarang masuk karena suatu urusan dan aku pun jadi sering mengajar di kelasnya), dua minggu sebelum ia menghadapi UN SMA, kalian bisa tebak apa yang dia katakan?
Dia bilang, “Kak, sumpah, Kakak tahu? Kakak itu Hall of Fame-nya bimbel ini!”
Aku pun menjadi sedikit lega mengetahui pembelajaranku menghasilkan progress yang tidak disangka-sangka.
Selain itu, aku pun mulai mengamati karakter dari sekolah yang ada di bimbingan belajar tersebut.
Beberapa sekolah yang terkadang membuatku suka ketar-ketir adalah SMA 68, SMA 8, Don Bosco 2, Santa Theresia, Santa Ursula, Tarakanita, juga, tak lain dan tak bukan, Canisius College.
(PS : Si B bukan berasal dari sekolah yang aku sebutkan di atas, heuheu.)
Kenapa?
Karena soal-soal mereka terkadang memiliki tingkat kesulitan yang lumayan membuat jungkir balik dan kepala langsung vertigo dibuatnya.
Di antara sekolah yang aku paparkan, aku sangat impress pada Canisius College.
Jadi, di tempatku, hanya ada 4 orang siswa kelas 9 SMP yang berasal dari sekolah tersebut.
Untuk yang SMA, mayoritas di bimbel lain, haha.
Aku sedikit mengerutkan kening ketika mendengar nama sekolah itu karena baru pertama kali mendengar selama 22 tahun hidup di Jakarta.
Tetapi yang aku heran, peringkat tertinggi selama Try Out, selalu dipegang mereka.
Selidik punya selidik, ternyata, Canisius College adalah sekolah katolik terbaik se-DKI Jakarta yang muridnya adalah pria semua.
Letaknya di daerah Jakarta Selatan.
Aku menganga sejadi-jadinya ketika mengetahui bahwa peringkat UN tertinggi, jika negeri dan swasta digabung secara paralel, baik tingkat SMP maupun tingkat SMA, sudah beberapa tahun terakhir dipegang oleh mereka.
Pantas saja pertanyaan mereka selalu berbobot, seperti,
“Kak, kenapa kita harus menggunakan rata-rata sebagai representasi dari suatu data, bukan median?” (Nah, lho, ini mah list kemungkinan pertanyaan penguji yang gue buat sebelum sidang!)
“Kak, misalnya ada data 1, 2, 3, 4, 5, 6, dan 7. Data itu modusnya lebih dari satu atau tidak punya modus?”
Sekali waktu, dua dari empat siswa Canisius College tersebut, konsultasi soal padaku karena mau ujian tulis masuk SMA Canisius College.
Dan tahu bagaimana soal-soalnya?
Aku hanya bisa menghela napas dan mencoba mengerjakan soalnya perlahan, untung beberapa ada yang bisa! Haha.
Soal-soal tersebut ibaratnya soal masuk perguruan tinggi negeri bagi tingkat SMA.
Sejak saat itu, aku tak lagi meragukan kemampuan mereka karena dari cerita 4 anak itu, aku jadi mengerti mereka telah terbiasa berkutat dengan soal-soal yang tingat kesulitannya tinggi, sehingga tidak heran mereka menyandang peringkat 1 UN terbaik se-DKI Jakarta karena soal UN bagi mereka pasti tidak ada apa-apanya, heuheu.
Di sisi lain, dari segi attitude, mereka benar-benar anak baik, sopan, dan santun, juga tidak pernah merendahkan orang lain.
Tahu sendiri, kan, bagaimana sekolah katolik mendidik siswa mereka?
Disiplinnya tinggi, jujur, seolah memberikan jaminan bahwa lulus dari sekolah mereka, anak-anak pasti memiliki karakter yang terintegritas.
Moto sekolahnya saja: The Center of Character Building.
Mereka memegang teguh prinsip 3C, yaitu Competence (kepintaran), Conscience (hati nurani), dan Compassion (kepedulian terhadap sesama).
Mereka pun tidak menutup diri dari seni. Ilmu tanpa seni? Jadinya kaku. Seni tanpa ilmu? Jadinya ragu dan tabu.
Intinya, banyak kegiatan mereka yang menunjang untuk mengoptimalkan kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotorik, juga pembentukan karakter yang luar biasa.
Para siswa di didik untuk beraksi, bukan untuk bermain diksi, jadi tidak ada yang namanya istilah ‘Tong Kosong Nyaring Bunyinya,” seperti kebanyakan siswa di bimbingan belajar tempatku bekerja.
Jebolan Canisius College pun minimal jurusan teknik di UI dan ITB atau arsitektur Parahyangan, tahu sendiri kan arsitektur Parahyangan adalah arsitektur terbaik se- Asia Tenggara?
Bahkan negara lain banyak memakai arsitek lulusan Parahyangan, bukan UI atau ITB.
Lalu, mereka juga banyak yang dikirim orang tuanya untuk melanjutkan pendidikan di luar negeri.
Nah, dengan hasil pengamatan yang seperti ini, muncul pemikiran gila dalam otak liarku.
Bahwa, jika aku memiliki anak laki-laki, aku akan menyekolahkan anakku di Canisius College.
Semakin hari aku sadar, tidak mudah membentuk kepribadian anak yang terintegrasi di tengah era modernisasi ini.
Hedonisme bertebaran di mana-mana, free life style dengan konsep ‘semau gue’ yang hanya bisa membuatku geleng-geleng kepala, dan banyak lagi perilaku remaja jaman sekarang yang ada-ada saja.
Aku ingin anakku menjadi anak yang pintar, tetapi tetap bisa menyenangkan dan memberikan manfaat bagi banyak orang karena karakter yang dimilikinya.
Dan aku tidak menemukan sekolah yang bisa mendidik seperti itu selain Canisius College.
Setidaknya, jika aku menyekolahkan anak laki-lakiku kelak di Canisius College, dia akan termotivasi dengan sendirinya untuk menjadi pintar, jujur, disiplin, rendah hati, dan tangguh dalam menghadapi setiap tantangan dan persaingan yang semakin hari semakin ketat dalam hidupnya, tanpa perlu aku berkoar-koar dan berujung memberikannya tekanan batin atas kemauanku yang mungkin tidak sesuai dengannya nanti.
Jadi, ide gilaku ini tidak salah, kan? Hehe.
Dan aku sudah mulai merancang apa saja yang perlu aku siapkan untuk bisa menyekolahkan anakku di sana.
Karena, jujur, sekolah di sana memerlukan biaya yang tidak sedikit, dear readers, heuheu.
Aku saja hanya bisa menahan napas saat muridku mengatakan biaya masuk dan biaya bayaran tiap bulan di sekolahnya itu.
Dengan naif dan polosnya dia mengatakan, “Kayaknya Kakak tidak akan bisa menyekolahkan anak Kakak di Canisius kalau masih menjadi guru di sini,”
Meledaklah tawaku saat itu seraya berpikir keras mengenai langkah apa yang harus aku ambil.
So, mari kita kencangkan ikat kepala dan ikat pinggang demi masa depan anak yang lebih baik!
Buat anak, kenapa harus setengah-setengah? :)
Tetep, #jangankasihkendor , heuheu.
Have a nice day, good people!
-d-


