Bismillahirrohmanirrohiim

Bismillahirrohmaanirrohiim
Maka, nikmat Tuhanmu yang manakah yang engkau dustakan?

Selasa, 02 Agustus 2016

Passion : Beyond Limitation

Izinkan aku flash back ke jaman kecil dulu.
Sebuah kejadian di dalam mobil selama perjalanan, yang masih segar dalam ingatanku.
Kakak dari Ibuku yang ke-5 bertanya, “Dina, kalau sudah besar nanti, jadi guru saja. Karena, guru itu kan menyampaikan ilmu, sedangkan ilmu yang bermanfaat adalah pahala yang tidak akan terputus sampi meninggal nanti.”
Sejak itu, aku seolah terdoktrin untuk menjadi seorang guru.
Aku ingin menjadi guru.
Dan hal tersebut pun tidak berubah walau aku menemukan kebebasan jiwa saat menyalurkan inspirasiku lewat menulis.
Setiap kali guru BK menyuruh kami para siswa mengisi data, aku selalu menempatkan guru sebagai cita-cita pertama, penulis sebagai cita-cita kedua, dan penyiar radio sebagai cita-cita ketiga.
Naif sekali, bukan? Haha.
Sampai akhirnya, sekali waktu, saat tiba akhirnya aku harus memilih jurusan di kuliah.
Kakak laki-laki dari Ibuku, sebut saja Babeh, tiba-tiba bertanya, “Lu mau ambil jurusan apa pas kuliah nanti, Din?”
Iseng, aku pun menjawabnya asal. “Sastra Inggris.”
Tahu responnya seperti apa?
“Jangan. Mau jadi apa lu nanti? Penerjemah doang?”
Aku hanya tertawa karena responnya yang menurutku lucu.
“Tidak mau kedokteran saja? Nanti ambil spesialis kandungan. Dokter kandungan jaman sekarang jarang yang perempuan.”
Aku menggeleng tegas. “Dina mau ambil jurusan Matematika saja.”
Tak lama setelah itu, si Mamay ikut-ikutan Babeh.
“Din, Dina kenapa sih tidak mau kuliah Kedokteran saja? Masalah biaya? Mamay masih sanggup kok biayain kuliah kamu.”
“Duh, May, nilai Biologi Dina saja jarang dapat bagus. Gimana mau kuliah di Kedokteran?”
Sampai beberapa kali pertanyaan itu diulang, aku tetap tidak mengubah jawabanku bahwa aku ingin kuliah di jurusan Pendidikan Matematika saja, tidak ingin kuliah di Kedokteran.
Alasan yang aku kemukakan memang simpel dan benar adanya.
Aku lemah sekali di Biologi dan Fisika.
Satu-satunya materi Biologi yang aku suka dan paling bagus dapat nilai ulangan hariannya dari seluruh materi kelas 10 hingga 12 hanyalah Pembelahan Sel, karena ada adegan di film Twilight saat Bella dan Edward di pelajaran Biologi dan materinya adalah Pembelahan Sel! Haha.
Bagusnya aku pun cuma dapat 8 koma sekian, wkwk.
Bisa bayangkan dong nilai ulangan Biologiku untuk materi yang lain?
Nah kalau Fisika, entah apa yang membuat orang-orang lebih tertarik Fisika dari Matematika.
Dari awal masuk SMA, Fisika adalah mata pelajaran yang paling aku hindari.
Aku baru serius mendalami Fisika di kelas 12, itu pun karena guru Fisikanya adalah wakil kepala sekolah bidang kesiswaan yang langsung memanggilku ke ruangannya akibat nilai TO Fisika pertamaku di kelas 12 sangat jelek karena terlalu banyak berurusan dengannya untuk masalah Paskibra, haha.
Nah, berdasarkan hukum Newton, ada aksi, ada reaksi, bukan?
Aku lemah di kedua bidang itu pun karena ada alasan.
Pertama, di pelajaran Biologi, aku lebih memilih membaca novel Harry Potter series dan Twilight Saga series selama pelajaran.
Kedua, di pelajaran Fisika, aku lebih memilih menghitung uang kas Paskibra.
Jadi, begitulah, haha.
Aku benar-benar pay attention hanya di pelajaran Matematika dan Kimia untuk yang eksak.
Mungkin karena aku memang interested di Mat, dan banyak menemukan hal baru di Kimia.
Jadi, aku selalu memasang posisi serius dan semangat di kedua pelajaran tersebut.
Sehingga, mana berani aku menerima tawaran untuk kuliah di Kedokteran, atau mungkin Teknik?
Itu ambil mati namanya, haha.
Sehingga aku bertahan dengan pendapatku, “Get real, Din. There is no way you can get yourself in Medical or Engineering departement. Nilai Biologi sama Fisika lo saja hancur-hancuran!”
Aku pun menjadi pribadi yang santai dan hanya melengos keheranan saat ada salah satu teman akrabku di bimbel sampai mimisan karena keseringan belajar untuk bisa masuk jurusan Kedokteran UI sedangkan aku setelah pulang intensif, langsung nonton drama korea, haha.
Tetapi usahanya itu membuatku salut karena pada akhirnya ia dinyatakan lulus Kedokteran UI via SNMPTN undangan.
Nah, sekarang, aku melihat murid-muridku pun seperti yang banting tulang untuk mendapatkan jurusan yang mereka inginkan.
Ketika aku mengurai memori masa SMA dulu, aku secara sadar merasa aku tidak berusaha sungguh-sungguh seperti mereka.
Padahal kalau aku nekat, dengan niat yang bulat, aku bisa saja mengejar ketinggalanku di pelajaran Biologi dan Fisika dengan fasilitas yang aku punya dan ditawarkan padaku.
Aku bisa saja mati-matian meminta pertolongan dari segala aspek untuk akhirnya bisa kuliah di jurusan Kedokteran sesuai keinginan Babeh dan Mamay.
Saat melihat siswa-siswa serius mengerjakan soal, dan benar-benar berhasil mencapai nilai yang mereka targetkan, entah kenapa ada sesak di dadaku yang membuatku ingin memutar kembali waktu.
Aku seperti tertampar karena pandanganku terhadap profesi ‘Guru’ benar-benar sempit.
Padahal kalau aku kuliah di jurusan Kedokteran, aku tetap bisa menjadi guru, yaitu guru-gurunya calon dokter.
Kalau aku kuliah di jurusan Teknik pun, aku tetap bisa menjadi guru, yaitu guru-gurunya calon insinyur.
Bukankah predikat tersebut lebih keren? Hahaha.
Intinya, karena penyesalan selalu datang belakangan, karena waktu memang tidak pernah sudi untuk berputar, maka aku memutuskan:
Aku mulai mendoktrin adik-adik sepupuku untuk menjadi seorang dokter atau insinyur atau pengusaha atau semacamnya.
Aku tahu cara seperti ini akan membuat mereka seolah mendapatkan pressure, tetapi kalau ini akan membuat mereka menjadi orang sukses di masa depan, kenapa harus ragu?
Sekarang aku justru tidak menyalahkan orang tua yang memaksakan kehendak pada anaknya, salah satunya adalah terkait pemilihan jurusan ini.
Hanya saja, memang ada beberapa cara yang perlu diperbaiki sehingga pencapaian ke anak pun enak :D
Pemikiran seperti ini muncul sebagai buah hasil dari pengamatanku terhadap siswa selama intensif SBMPTN.
Aku jadi paham, istilah ‘get real’ seperti yang aku tanamkan jaman SMA dulu sama sekali tidak membantu.
I just got understand, passion is about beyond your limitation.
So, don’t ever try to put yourself on limit.
Work hard is very necessary to keep you always in the right track.
Until, you no longer have to introduce yourself! :D

Karena usaha tidak pernah membohongi hasil, dear readers :D
Dan jangan biarkan penyesalan bersenang-senang karena menang.
-d-

Jumat, 13 Mei 2016

Canisius College

Sebelumnya, apa aku sudah pernah bercerita kalau bekerja di tempat bimbingan belajarku sekarang adalah bekerja under pressure?
Bagaimana tidak?
Bayangkan, dengan adanya kewajiban melayani konsultasi jika siswa kesulitan dalam mengerjakan soal atau memahami materi, tentu kita harus optimal menyiapkan skill kognitif karena materi atau soal yang disodorkan terkadang di luar batas kemampuan, haha.
Nah, kalau kita tidak bisa menjawab apa yang mereka tanyakan?
Jangan harap mereka akan respek ke kita.
Nilai kita di mata mereka langsung nol, bahkan minus.
Tahu sendiri, kan, betapa barbar-nya kelakuan remaja Jakarta jaman sekarang.
Attitude tidak ada, sok ambisius, tapi ternyata otaknya tidak lebih besar dari otak udang.
Awalnya, kalau tidak salah, baru beberapa minggu aku masuk kerja, aku sempat mental break down karena pernah terlalu lama berpikir akibat lupa rumus untuk menjawab soal yang diberikan salah seorang siswa, sebut saja B, sampai-sampai si B tidak sabar dan pada akhirnya memilih untuk pindah konsultasi ke guru lain yang lebih master.
Sejak saat itu, di matanya aku benar-benar kasat mata.
Perlakuannya seperti menampar dan menyadarkanku kalau aku tidak bisa diam saja.
Maka, aku mulai giat mengerjakan soal-soal, dari soal UN sampai SBMPTN dan ujian mandiri beberapa PTN, bertanya ke sana sini jika ada yang tidak aku mengerti salah satunya ke guru senior yang sangat membantuku dalam proses belajar ini, bahkan tidak jarang aku belajar juga dari siswa.
Aku tidak membiarkan ada celah bagi siswa untuk memandangku secara sebelah mata lagi.
Hingga, ketika si B kembali konsultasi kepadaku untuk menanyakan beberapa soal (mungkin terpaksa akibat si guru senior sudah hampir dua bulan jarang masuk karena suatu urusan dan aku pun jadi sering mengajar di kelasnya), dua minggu sebelum ia menghadapi UN SMA, kalian bisa tebak apa yang dia katakan?
Dia bilang, “Kak, sumpah, Kakak tahu? Kakak itu Hall of Fame-nya bimbel ini!”
Aku pun menjadi sedikit lega mengetahui pembelajaranku menghasilkan progress yang tidak disangka-sangka.
Selain itu, aku pun mulai mengamati karakter dari sekolah yang ada di bimbingan belajar tersebut.
Beberapa sekolah yang terkadang membuatku suka ketar-ketir adalah SMA 68, SMA 8, Don Bosco 2, Santa Theresia, Santa Ursula, Tarakanita, juga, tak lain dan tak bukan, Canisius College.
(PS : Si B bukan berasal dari sekolah yang aku sebutkan di atas, heuheu.)
Kenapa?
Karena soal-soal mereka terkadang memiliki tingkat kesulitan yang lumayan membuat jungkir balik dan kepala langsung vertigo dibuatnya.
Di antara sekolah yang aku paparkan, aku sangat impress pada Canisius College.
Jadi, di tempatku, hanya ada 4 orang siswa kelas 9 SMP yang berasal dari sekolah tersebut.
Untuk yang SMA, mayoritas di bimbel lain, haha.
Aku sedikit mengerutkan kening ketika mendengar nama sekolah itu karena baru pertama kali mendengar selama 22 tahun hidup di Jakarta.
Tetapi yang aku heran, peringkat tertinggi selama Try Out, selalu dipegang mereka.
Selidik punya selidik, ternyata, Canisius College adalah sekolah katolik terbaik se-DKI Jakarta yang muridnya adalah pria semua.
Letaknya di daerah Jakarta Selatan.


Aku menganga sejadi-jadinya ketika mengetahui bahwa peringkat UN tertinggi, jika negeri dan swasta digabung secara paralel, baik tingkat SMP maupun tingkat SMA, sudah beberapa tahun terakhir dipegang oleh mereka.
Pantas saja pertanyaan mereka selalu berbobot, seperti,
“Kak, kenapa kita harus menggunakan rata-rata sebagai representasi dari suatu data, bukan median?” (Nah, lho, ini mah list kemungkinan pertanyaan penguji yang gue buat sebelum sidang!)
“Kak, misalnya ada data 1, 2, 3, 4, 5, 6, dan 7. Data itu modusnya lebih dari satu atau tidak punya modus?”
Sekali waktu, dua dari empat siswa Canisius College tersebut, konsultasi soal padaku karena mau ujian tulis masuk SMA Canisius College.
Dan tahu bagaimana soal-soalnya?
Aku hanya bisa menghela napas dan mencoba mengerjakan soalnya perlahan, untung beberapa ada yang bisa! Haha.
Soal-soal tersebut ibaratnya soal masuk perguruan tinggi negeri bagi tingkat SMA.
Sejak saat itu, aku tak lagi meragukan kemampuan mereka karena dari cerita 4 anak itu, aku jadi mengerti mereka telah terbiasa berkutat dengan soal-soal yang tingat kesulitannya tinggi, sehingga tidak heran mereka menyandang peringkat 1 UN terbaik se-DKI Jakarta karena soal UN bagi mereka pasti tidak ada apa-apanya, heuheu.
Di sisi lain, dari segi attitude, mereka benar-benar anak baik, sopan, dan santun, juga tidak pernah merendahkan orang lain.
Tahu sendiri, kan, bagaimana sekolah katolik mendidik siswa mereka?
Disiplinnya tinggi, jujur, seolah memberikan jaminan bahwa lulus dari sekolah mereka, anak-anak pasti memiliki karakter yang terintegritas.
Moto sekolahnya saja: The Center of Character Building.
Mereka memegang teguh prinsip 3C, yaitu Competence (kepintaran), Conscience (hati nurani), dan Compassion (kepedulian terhadap sesama).
Mereka pun tidak menutup diri dari seni. Ilmu tanpa seni? Jadinya kaku. Seni tanpa ilmu? Jadinya ragu dan tabu.
Intinya, banyak kegiatan mereka yang menunjang untuk mengoptimalkan kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotorik, juga pembentukan karakter yang luar biasa.
Para siswa di didik untuk beraksi, bukan untuk bermain diksi, jadi tidak ada yang namanya istilah ‘Tong Kosong Nyaring Bunyinya,” seperti kebanyakan siswa di bimbingan belajar tempatku bekerja.
Jebolan Canisius College pun minimal jurusan teknik di UI dan ITB atau arsitektur Parahyangan, tahu sendiri kan arsitektur Parahyangan adalah arsitektur terbaik se- Asia Tenggara?
Bahkan negara lain banyak memakai arsitek lulusan Parahyangan, bukan UI atau ITB.
Lalu, mereka juga banyak yang dikirim orang tuanya untuk melanjutkan pendidikan di luar negeri.
Nah, dengan hasil pengamatan yang seperti ini, muncul pemikiran gila dalam otak liarku.
Bahwa, jika aku memiliki anak laki-laki, aku akan menyekolahkan anakku di Canisius College.
Semakin hari aku sadar, tidak mudah membentuk kepribadian anak yang terintegrasi di tengah era modernisasi ini.
Hedonisme bertebaran di mana-mana, free life style dengan konsep ‘semau gue’ yang hanya bisa membuatku geleng-geleng kepala, dan banyak lagi perilaku remaja jaman sekarang yang ada-ada saja.
Aku ingin anakku menjadi anak yang pintar, tetapi tetap bisa menyenangkan dan memberikan manfaat bagi banyak orang karena karakter yang dimilikinya.
Dan aku tidak menemukan sekolah yang bisa mendidik seperti itu selain Canisius College.
Setidaknya, jika aku menyekolahkan anak laki-lakiku kelak di Canisius College, dia akan termotivasi dengan sendirinya untuk menjadi pintar, jujur, disiplin, rendah hati, dan tangguh dalam menghadapi setiap tantangan dan persaingan yang semakin hari semakin ketat dalam hidupnya, tanpa perlu aku berkoar-koar dan berujung memberikannya tekanan batin atas kemauanku yang mungkin tidak sesuai dengannya nanti.
Jadi, ide gilaku ini tidak salah, kan? Hehe.
Dan aku sudah mulai merancang apa saja yang perlu aku siapkan untuk bisa menyekolahkan anakku di sana.
Karena, jujur, sekolah di sana memerlukan biaya yang tidak sedikit, dear readers, heuheu.
Aku saja hanya bisa menahan napas saat muridku mengatakan biaya masuk dan biaya bayaran tiap bulan di sekolahnya itu.
Dengan naif dan polosnya dia mengatakan, “Kayaknya Kakak tidak akan bisa menyekolahkan anak Kakak di Canisius kalau masih menjadi guru di sini,”
Meledaklah tawaku saat itu seraya berpikir keras mengenai langkah apa yang harus aku ambil.
So, mari kita kencangkan ikat kepala dan ikat pinggang demi masa depan anak yang lebih baik!
Buat anak, kenapa harus setengah-setengah? :)
Tetep, #jangankasihkendor , heuheu.
Have a nice day, good people!
-d-

Minggu, 28 Februari 2016

Manusia Tanpa Jiwa

Kenapa aku senekat ini ya?
Apa aku menyerah saja?
Menjadi seorang pendidik, khususnya guru.
Rasanya pekerjaan itu tak pantas untukku.
Buktinya, tidak ada yang mengatakan bahwa aku mengambil keputusan yang benar, satu orang pun, sejak pertama kali aku menjadi guru.
Sebaliknya, banyak yang bilang aku salah ambil langkah.
Tetapi yang lebih menyesakkan, aku pun tidak diberikan ruang untuk melakukan apa yang aku inginkan.
Memang sangat tidak dewasa sih, hanya saja pasti akan lebih lega bernafas jika ada satu orang saja yang ... ah sudahlah.
Jadi sekarang, aku menjelma menjadi makhluk paling dibenci sedunia, menjadi seonggok manusia tanpa jiwa.
-d-

Sabtu, 02 Januari 2016

Angel.


I always wonder, how could an angel breaks my heart?
And yes, he is my angel.
The one who always inspired me that I mentioned before.
-d-

20 Facts of Me :D

1. I’m an only child.
2. My dad come from Batak, my mom come from Jakarta. Yes, I’m a half blood, heuheu.
3. One and only cartoon character which I love the most is Hinata. Because someone told me that me and her is look alike, but I don't know how dominant that part might be heuheu.
4. Besides writing, I also love dancing though my body is not as flexible as Kpop group.
5. And yes, I’m into Korean so much. From the Kpop, dramas, reality shows, fashion, culture, language, food. But not for the history and politics.
6. My ultimate role model is SNSD Taeyeon, the leader of the group. After my mom, I think she is the strongest woman in the world, and I guess her personality is very unique.
7. I want a proper Korean Language course.
8. My major in college was mathematics education because I have a specific interest in lecturing with learning by doing.
9. For gadgets, I prefer white to purple as the main colour. But for dress, shoes, utensils, et cetera, I love purple the most of course. I’m a girl who loves purple!
10. I'm a biggest fan of Sitta Karina.
11. If I have to choose one from seven disney princess, I will resemble myself as Ariel, haha.
12. Many people said that I’m not good in singing, they always say the tone that come out from my voice is FLAT -_-
13. Since I was very young, I love to read, novel and magazine especially. From that hobby, I start to write out my imagination.
14. My favourite taste: chocolate hazelnut.
15. My favourite movie genre: romance, science fictions. Big no for actions and horror.
16. My everlasting number one favourite song: Iris from Goo Goo Dols.
17. My worst habbit: I rarely check my phone because I prefer to interact directly with people, so it may takes a long time for me to reply both messages and chat.
18. I’m not into horoscope, at all. So, it doesn’t make sense for me to judge people’s personality or attitude generally from zodiak.
19. My blood type: O. And yes, I also refuse if someone’s characters are evaluated by this kind of things.
20. I hate whiny people who always complain about his/her life. Please stop complaining! Life is just once, just keep moving forward to be the best version of yourself, keep proactive, and don’t forget to enjoy and relax every single time of your life.

And here, I challenge you, to write down your 20 facts. So, how many parts that you already know about me? :D
-d-

Minggu, 27 Desember 2015

Write, Wrote, Written

Lagi-lagi, aku ingin menulis tentang menulis.
Aneh ya terdengarnya? Hehe.
Bagiku, menulis bukanlah pilihan, melainkan sebuah kepastian.
Di saat aku bosan, bukan berarti aku langsung memilih menulis sebagai penghilang penat.
Dan di tengah-tengah kesibukan, kalau aku ingin menulis karena diserang inspirasi bertubi-tubi, ya aku pasti menulis tanpa ada keraguan sama sekali, tak peduli dengan kesibukanku.
Mungkin banyak orang-orang terdekatku yang bertanya-tanya.
Kenapa sampai saat ini belum ada satu pun karyaku yang terbit?
Istilahnya, berhasil menerbitkan sebuah karya adalah realisasi nyata dari karya tersebut, kan?
Namanya juga manusia, se-introvert apa pun, pasti ada keinginan untuk ‘memamerkan’ hasil buah pikirannya berupa karya baik itu tulisan, musik, gambar, dan hal lainnya.
Aku pun seperti itu.
Dan memang hanya orang tertentu saja yang aku biarkan membaca tulisanku.
Pertama, sumber inspirasi terbesarku, Tubagus Fadillah Setyabudi Leksana.
Bagiku, sosoknya yang memancing imajinasiku bergerak liar entah ke sudut mana dalam semesta ini.
Itu dia di mataku, entah bagaimana dia di mata dirinya sendiri terhadapku, entah bagaimana aku di matanya.
Analoginya gini, (ini mungkin sedikit lebai ya, heuheu), ikan itu pasti butuh air, kan?
Nah, dia bagai air bagi inspirasiku.
Kedua, mentor yang juga tak kalah hebatnya dari J.K Rowling, hehe, Kak Astika Lestyani.
Kakak di Paskibra, angkatan 18, sedangkan aku angkatan 21.
Entah bagaimana awalnya aku lupa, aku stalk twitter-nya dan aku baca blog-nya.
Blog-nya berhasil membuat waktuku berhenti bergerak, membeku.
Blog-nya berhasil membuat debar jantungku berdetak lebih cepat dari kecepatan cahaya.
Ya, entahlah, aku menemukan diriku hanyut dalam setiap kata yang diurainya.
Aku mendapati diriku terlena seraya menjelma menjadi setiap frasa yang dideskripsikannya.
Membuat nyaliku ciut sekaligus kagum diwaktu yang bersamaan.
Aku pun memberanikan diri mention akun twitternya dan kami mulai berkomunikasi dari situ.
Sampai akhirnya beliau jarang lagi menulis dan sekarang sudah berkeluarga :D
Intinya aku akan tetap menanti tulisan-tulisannya.
Jadi, aku hanya berani menunjukkan setiap tulisanku pada dua orang itu.
Tetapi sekarang, setelah mulai kerja, mungkin aku ingin menjadi sosok yang lebih fleksibel dan tidak ragu lagi untuk ‘memamerkan’ tulisanku yang pasti akan menunjukkan betapa anehnya aku ini, heuheu.
Lantas, kenapa tidak mencoba mengirim naskah ke penerbit?
Sudah kucoba.
Naskah pertama berjudul A Guardian Angel.
Aku mengirim naskah ini ke dua penerbit dan dua-duanya menolak, haha.
Penerbit pertama mengembalikan naskah dengan memberikan poin-poin mana saja yang harus aku perbaiki.
Penerbit kedua mengembalikan naskah dengan kata-kata lugas, tegas, dan menusuk.
“Maaf, kami menolak karya Anda karena kami nilai tidak bagus.”
Naskah kedua berjudul Simfoni Melayu.
Kalau naskah ini memang hanya aku ikut sertakan untuk lomba tanpa mengharap apa-apa (serius ini mah serius) dan aku kerjakan dengan sangat terburu-buru.
Aku hanya serius di tahap awal saja, saat menggali informasi mengenai kebudayaan melayu.
Padahal tema tulisannya adalah Wanita, hahahahahahahaha.
Mungkin karyaku kurang ‘Wanita’, atau kurang ‘Melayu’, heuheu.
Itulah dua alasan kenapa sampai saat ini karyaku belum terbit, sedangkan orang-orang sekitar tahu betul aku sering sekali dan sangat suka menulis.
Pertama karena aku memang malu menunjukkannya pada orang-orang sehingga aku tidak mendapat banyak masukan, sedangkan aku orang yang background pendidikanya bukan bahasa, sastra, jurnalis, atau semacamnya.
Kedua karena memang di mata para profesional, karyaku belum layak terbit.
Sesuka-sukanya aku pada menulis, pasti akan tetap kalah dari profesional yang ahli, bukan?
Mereka, walau tidak mau pun, muak sekali pun, pasti mengerti tata bahasa dan tulisan yang benar sesuai aturan, pasti paham bagaimana membuat keharmonisan dan keselarasan dalam menyatu-padukan kata per kata.
Ya intinya mereka tahu ilmunya berseni dengan diksi.
Terus, kalau aku suka menulis, kenapa tidak benar-benar mendalami ilmunya saja dengan mengambil jurusan bahasa dan sastra saat kuliah?
Well, bisa dibilang, aku ini sosok Kugy di Perahu Kertas yang tidak percaya dengan mimpinya sendiri, yang menganggap menulis itu bukanlah sebuah hal yang realistis.
Hidup di Jakarta memang cuma butuh hal-hal realistis sih, ya kan? Hehe.
Seandainya ada sosok Keenan pun dalam hidup aku, ya paling sang sumber inspirasi terbesarku itu.
Dan kami tidak berada dalam suatu hubungan yang dapat membuat kami menjadi alasan untuk mempertahankan mimpi masing-masing, setidaknya begitulah di matanya.
Namanya mimpi, nanti juga bangun.
Dan ujung-ujungnya?
Bersikap realistis lagi.
Nggak semua dongeng bisa happy ending, apalagi realitas.
Maka aku memutuskan masuk IPA di SMA, mengambil kuliah jurusan Pendidikan Matematika, dan kerja jadi guru.
Aku tidak pernah mengeluh mengenai persoalan 'salah ambil jurusan', atau pun menyesal akan hal itu.
Pelarianku adalah dengan menjadi ambisius di setiap mata kuliah, karena bagiku dengan mendapat A, aku merasa teryakini bahwa aku mampu dan pantas untuk bertahan.
Ya bagiku nilai ini adalah bukti otentik, baik buat diriku sendiri maupun orang lain.
Kalau dapat B atau C, apalagi D?
Wah, dapat B saja aku sudah stress mati-matian.
Coba baca postingan aku sebelumnya yang berjudul Arti Sebuah Nilai, hehe.
Loh, kok jadi panjang banget ya dari menulis ke nilai? Heuheu.
Anehnya, aku menemukan diriku suka berinteraksi dengan banyak murid.
Aku merasa banyak kupu-kupu berterbangan dalam perutku setiap kali berada dalam lingkungan sekolah.
Haha lebai banget lagi ya?
Aku memang begini.
Awkward, freak, nerd, coward, and ... pathetic.
Jadi, menulis atau mengajar, Din?
Yah, pembaca saja yang menyimpulkan.
Kalau kata Ungu dan Rossa sih, “Karena sekali cintaaa, aku tetap cintaaa...”
Because art is funny. When you think so hard, nothing comes out.
-d-

Rabu, 11 November 2015

Untitled

Aku sangat takut kehilanganmu.
Maka, aku memelukmu.
Sihir apa di dunia ini yang bisa membuatmu selalu dalam pelukanku?
Untuk terlahir di dunia ini dan datang ke hidupku, membiarkan aku mengenalmu dan terlena oleh senyum mahalmu, Terima Kasih :)
-d-