Bismillahirrohmanirrohiim

Bismillahirrohmaanirrohiim
Maka, nikmat Tuhanmu yang manakah yang engkau dustakan?

Minggu, 27 Desember 2015

Write, Wrote, Written

Lagi-lagi, aku ingin menulis tentang menulis.
Aneh ya terdengarnya? Hehe.
Bagiku, menulis bukanlah pilihan, melainkan sebuah kepastian.
Di saat aku bosan, bukan berarti aku langsung memilih menulis sebagai penghilang penat.
Dan di tengah-tengah kesibukan, kalau aku ingin menulis karena diserang inspirasi bertubi-tubi, ya aku pasti menulis tanpa ada keraguan sama sekali, tak peduli dengan kesibukanku.
Mungkin banyak orang-orang terdekatku yang bertanya-tanya.
Kenapa sampai saat ini belum ada satu pun karyaku yang terbit?
Istilahnya, berhasil menerbitkan sebuah karya adalah realisasi nyata dari karya tersebut, kan?
Namanya juga manusia, se-introvert apa pun, pasti ada keinginan untuk ‘memamerkan’ hasil buah pikirannya berupa karya baik itu tulisan, musik, gambar, dan hal lainnya.
Aku pun seperti itu.
Dan memang hanya orang tertentu saja yang aku biarkan membaca tulisanku.
Pertama, sumber inspirasi terbesarku, Tubagus Fadillah Setyabudi Leksana.
Bagiku, sosoknya yang memancing imajinasiku bergerak liar entah ke sudut mana dalam semesta ini.
Itu dia di mataku, entah bagaimana dia di mata dirinya sendiri terhadapku, entah bagaimana aku di matanya.
Analoginya gini, (ini mungkin sedikit lebai ya, heuheu), ikan itu pasti butuh air, kan?
Nah, dia bagai air bagi inspirasiku.
Kedua, mentor yang juga tak kalah hebatnya dari J.K Rowling, hehe, Kak Astika Lestyani.
Kakak di Paskibra, angkatan 18, sedangkan aku angkatan 21.
Entah bagaimana awalnya aku lupa, aku stalk twitter-nya dan aku baca blog-nya.
Blog-nya berhasil membuat waktuku berhenti bergerak, membeku.
Blog-nya berhasil membuat debar jantungku berdetak lebih cepat dari kecepatan cahaya.
Ya, entahlah, aku menemukan diriku hanyut dalam setiap kata yang diurainya.
Aku mendapati diriku terlena seraya menjelma menjadi setiap frasa yang dideskripsikannya.
Membuat nyaliku ciut sekaligus kagum diwaktu yang bersamaan.
Aku pun memberanikan diri mention akun twitternya dan kami mulai berkomunikasi dari situ.
Sampai akhirnya beliau jarang lagi menulis dan sekarang sudah berkeluarga :D
Intinya aku akan tetap menanti tulisan-tulisannya.
Jadi, aku hanya berani menunjukkan setiap tulisanku pada dua orang itu.
Tetapi sekarang, setelah mulai kerja, mungkin aku ingin menjadi sosok yang lebih fleksibel dan tidak ragu lagi untuk ‘memamerkan’ tulisanku yang pasti akan menunjukkan betapa anehnya aku ini, heuheu.
Lantas, kenapa tidak mencoba mengirim naskah ke penerbit?
Sudah kucoba.
Naskah pertama berjudul A Guardian Angel.
Aku mengirim naskah ini ke dua penerbit dan dua-duanya menolak, haha.
Penerbit pertama mengembalikan naskah dengan memberikan poin-poin mana saja yang harus aku perbaiki.
Penerbit kedua mengembalikan naskah dengan kata-kata lugas, tegas, dan menusuk.
“Maaf, kami menolak karya Anda karena kami nilai tidak bagus.”
Naskah kedua berjudul Simfoni Melayu.
Kalau naskah ini memang hanya aku ikut sertakan untuk lomba tanpa mengharap apa-apa (serius ini mah serius) dan aku kerjakan dengan sangat terburu-buru.
Aku hanya serius di tahap awal saja, saat menggali informasi mengenai kebudayaan melayu.
Padahal tema tulisannya adalah Wanita, hahahahahahahaha.
Mungkin karyaku kurang ‘Wanita’, atau kurang ‘Melayu’, heuheu.
Itulah dua alasan kenapa sampai saat ini karyaku belum terbit, sedangkan orang-orang sekitar tahu betul aku sering sekali dan sangat suka menulis.
Pertama karena aku memang malu menunjukkannya pada orang-orang sehingga aku tidak mendapat banyak masukan, sedangkan aku orang yang background pendidikanya bukan bahasa, sastra, jurnalis, atau semacamnya.
Kedua karena memang di mata para profesional, karyaku belum layak terbit.
Sesuka-sukanya aku pada menulis, pasti akan tetap kalah dari profesional yang ahli, bukan?
Mereka, walau tidak mau pun, muak sekali pun, pasti mengerti tata bahasa dan tulisan yang benar sesuai aturan, pasti paham bagaimana membuat keharmonisan dan keselarasan dalam menyatu-padukan kata per kata.
Ya intinya mereka tahu ilmunya berseni dengan diksi.
Terus, kalau aku suka menulis, kenapa tidak benar-benar mendalami ilmunya saja dengan mengambil jurusan bahasa dan sastra saat kuliah?
Well, bisa dibilang, aku ini sosok Kugy di Perahu Kertas yang tidak percaya dengan mimpinya sendiri, yang menganggap menulis itu bukanlah sebuah hal yang realistis.
Hidup di Jakarta memang cuma butuh hal-hal realistis sih, ya kan? Hehe.
Seandainya ada sosok Keenan pun dalam hidup aku, ya paling sang sumber inspirasi terbesarku itu.
Dan kami tidak berada dalam suatu hubungan yang dapat membuat kami menjadi alasan untuk mempertahankan mimpi masing-masing, setidaknya begitulah di matanya.
Namanya mimpi, nanti juga bangun.
Dan ujung-ujungnya?
Bersikap realistis lagi.
Nggak semua dongeng bisa happy ending, apalagi realitas.
Maka aku memutuskan masuk IPA di SMA, mengambil kuliah jurusan Pendidikan Matematika, dan kerja jadi guru.
Aku tidak pernah mengeluh mengenai persoalan 'salah ambil jurusan', atau pun menyesal akan hal itu.
Pelarianku adalah dengan menjadi ambisius di setiap mata kuliah, karena bagiku dengan mendapat A, aku merasa teryakini bahwa aku mampu dan pantas untuk bertahan.
Ya bagiku nilai ini adalah bukti otentik, baik buat diriku sendiri maupun orang lain.
Kalau dapat B atau C, apalagi D?
Wah, dapat B saja aku sudah stress mati-matian.
Coba baca postingan aku sebelumnya yang berjudul Arti Sebuah Nilai, hehe.
Loh, kok jadi panjang banget ya dari menulis ke nilai? Heuheu.
Anehnya, aku menemukan diriku suka berinteraksi dengan banyak murid.
Aku merasa banyak kupu-kupu berterbangan dalam perutku setiap kali berada dalam lingkungan sekolah.
Haha lebai banget lagi ya?
Aku memang begini.
Awkward, freak, nerd, coward, and ... pathetic.
Jadi, menulis atau mengajar, Din?
Yah, pembaca saja yang menyimpulkan.
Kalau kata Ungu dan Rossa sih, “Karena sekali cintaaa, aku tetap cintaaa...”
Because art is funny. When you think so hard, nothing comes out.
-d-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar