Bismillahirrohmanirrohiim

Bismillahirrohmaanirrohiim
Maka, nikmat Tuhanmu yang manakah yang engkau dustakan?

Sabtu, 21 Desember 2013

Bandung Lautan Jakarta :D

Bandung.
Sungguh, sejujurnya tidak ada yang salah dengan kota ini.
Sejuknya menawan hati, rindangnya mendamaikan pikiran, hijaunya pun menyehatkan penglihatan sejauh mata memandang.
Tapi entah kenapa, sudah dua tahun tinggal di kota ini, aku tidak bisa ‘kerasan’ di sini.
Aku memang pernah mengatakan, Bandung is growing on me.
Dan tahu kapan aku mengatakannya?
Sesaat setelah aku pulang dari Jakarta, di mana kondisi apa pun pasti tersembuhkan, terobati, jika sudah dari sana.
Mulai dari kepenatan, kerinduan, kecanduan, bahkan kepekatan.
Jakarta membuat aku menjadi baru saat kembali lagi ke Bandung.
Jadi kondisi dan suasana hati, otak, serta pikiran pun masih netral dan sejernih air.
Lambat laun, aku baru menyadari satu hal.
Bukan Bandung yang salah.
Bukan lingkungan dan sistem kampus yang bermasalah.
Justru pusat dari segala ketidakbetahan ini dibuat oleh diriku sendiri.
Mungkin karena memang aku tidak ingin beradaptasi dan beramah tamah dengan lingkungan di sini.
Dengan kata lain, usahaku belum maksimal untuk membuka hati dengan lingkungan di sini.
Sekarang aku mengerti apa yang sering orang-orang sebut sebagai zona nyaman.
Zona nyamanku adalah Jakarta beserta kepingan-kepingan kenangan dengan orang-orang di dalamnya.
Baik itu orang-orang dari masa lalu, saat ini, atau mungkin masa depan.
Dan seharusnya aku bertahan saat aku mulai keluar dari zona itu untuk menjadi pribadi yang lebih hidup.
Setidaknya dengan begitu, aku bisa melihat kehidupan Jakarta dari luar daerah itu sendiri.
Karena aku akan mengupayakan apa pun, aku akan berusaha sekeras mungkin, untuk tetap kembali ke sana dengan meninggalkan jejak baik dan bersahabat terhadap Bandung.
Aku tahu aku akan menyesal jika tidak memberikan kesempatan bagi Bandung dan isinya untuk sedikit saja menempati hatiku.
Namun, aku sudah mengetahui resikonya, aku siap untuk itu, aku siap untuk menyesal.
Maka, aku membiarkan Bandung sendiri yang perlahan membuka hatiku dan bersedia menyediakan ruang.
Aku masih memiliki kesempatan, dan aku akan berusaha sekeras mungkin menyatukan hatiku dengan kota ini beserta isinya.
Aku tidak akan menyerah, karena aku percaya aku memiliki kepribadian di atas rata-rata sehingga hal tersebut bukanlah hal yang tidak mungkin.
Sehingga Bandung dan Jakarta benar-benar sama hidupnya dalam hatiku.
-d-

Badai Pasti Berlalu :)

Minggu ini merupakan minggu yang cukup hectic bagiku.
Dua minggu yang lalu pun sama hectic-nya seperti minggu ini.
Menantang dan melelahkan, kalau aku boleh jujur.
Karena biasanya pulang ke kosan sebelum pukul enam sore, sedangkan dua minggu lalu tiada hari tanpa pulang ke kosan setelah pukul delapan malam.
Tetapi, minggu hectic itu pun terlewati dengan sukses tanpa kekurangan suatu apa pun.
Maka aku percaya minggu ini pasti akan terlewati juga.
Terbukti dengan adanya postingan ini, di mana aku sedang hibernasi seharian di kosan tanpa melangkahkan kaki ke mana pun selain membeli makanan.
Dua minggu lalu, aku sebut menantang karena aku, untuk pertama dan terakhir kalinya dalam hidupku, membolos salah satu praktikum mata kuliah dan datang ke perkuliahan hanya untuk mengisi absen saja.
Ya mungkin aku berani karena bukan hanya aku yang seperti itu :D
Dua minggu lalu, kami, aku dan teman-teman sekelasku, berkutat di bengkel media pembelajaran untuk membuat alat peraga manual.
Penjelasan lebih lanjut, silahkan mengunjungi blog salah satu korban seperjuanganku untuk melihat kecaprukannya :D
Seperti hari ini, setelah minggu itu terlewati, di weekend aku sama sekali tidak menginjakkan kakiku ke mana pun selain membeli makanan.
Di sini, aku akan menjelaskan alasan mengapa minggu ini pun aku jadikan minggu yang hectic.
Pertama, dua minggu yang lalu juga, dengan asumsi ini merupakan sebuah kabar yang sangat baik, seorang dosen salah satu mata kuliah memberikan kami kesempatan untuk ‘menabung nilai.’
Menabung nilai di sini tentu mempunyai definisi tersendiri, di mana kami para mahasiswa yang mengontrak mata kuliahnya, diberi kesempatan untuk mengikuti ujian sebelum tanggal Ujian Akhir Semester yang sesungguhnya.
Selain ujian, kami pun diberi tugas yang mesti kudu harus wajib dikumpulkan paling lambat sebelum ujian ‘menabung nilai’ ini dimulai, yaitu tanggal 20 Desember 2013.
Sebut saja mata kuliahnya Geometri Transformasi, di mana kami harus berkutat dengan garis sejajar, garis tegak lurus, vektor, sudut, dan properti pelengkap lainnya yang cukup menguras otak untuk menyatupadukan mereka menjadi sebuah konstruksi transformasi yang diinginkan.
Kemudian, di mata kuliah lainnya, sebut saja Analisis Real, dosen yang diyakini sebagai ‘Malaikat Tanpa Sayap’ minggu lalu saat kuis tiba-tiba lupa untuk membawa soal Ujian Akhir Semester kami yang notabene memang didedikasikan sebagai ujian take home.
Alhasil, kami baru diberikan soal dan materi tambahan hari Rabu kemarin tanggal 18 Desember 2013 sedangkan deadline yang diberikan sama seperti deadline awal, yaitu 20 Desember 2013.
Tentu mata kuliah lain pun tidak ingin kalah untuk dapat berpartisipasi memeriahkan ke-hectic-an minggu ini.
Mata kuliah PLSBT juga diputuskan untuk mengadakan UAS hanya dengan observasi ke tempat-tempat kontroversi seperti tempat pembuatan tato, rehabilitasi narkoba atau HIV/AIDS, diskotik, dan lain sebagainya.
Kapan dikumpulnya? Tak lain dan tak bukan 20 Desember 2013, Pemirsah.
Mata kuliah media pembelajaran pun, lagi dan lagi, masih menginginkan perhatian dari kami semua bagi yang belum melakukan finishing touch agar dapat dinilai mempunyai harga jual yang tinggi.
Aku dituntut untuk semakin piawai membuat jadwal dan membuat to-do-list.
Sambil mengatur napas perlahan untuk menenangkan diri, tersusunlah jadwal dan to-do-list yang juga merupakan hasil diskusi antara beberapa teman satu kelompok.
Puncak hectic minggu ini adalah Kamis, sesaat sebelum esoknya ujian dan deadline mengumpulkan UAS yang take home.
Karena tidak kuat lagi, aku meletakkan pensilku, melepas kacamataku, dan aku mendengar suara isakanku sendiri yang lama kelamaan semakin kencang seiring dengan bertambah sesaknya dadaku.
My head is going to explode, batinku.
Sampai akhirnya, seorang sahabat SMA anggota Paskibra Angkatan 21, one of My Precious yang memberikanku pelajaran mengenai kehidupan dan membuatku percaya karena bukti nyata yang dia tunjukkan di hadapanku bahwa bumi ini berputar, sebut saja namanya Muhammad Irfan Zidni, bertanya ‘Kenapa?’ padaku.
Aku langsung menceritakan semua kondisi yang sedang aku hadapi tanpa adanya sedikit pun tabir, termasuk kondisi yang aku hadapi saat aku semester tiga dulu, membuatku semakin tidak dewasa sama sekali.
Aku mengaku padanya bahwa aku butuh banyak tips, saran dan nasihat agar aku tidak mudah goyah, karena aku tidak sekuat Della, aku tidak semandiri Rahma, aku tidak sedewasa Siti, dan aku tidak setangguh Aini yang mampu bertahan di segala kondisi.
Dan dia dapat menenangkan aku hanya dengan kurang lebih berkata:

Face it, Honey :) Jangan mau kalah sama keadaan apa pun. Ingat sama Mama, ya? :) ({}) Jalan kamu sebentar lagi, Din. Ibaratnya, sudah tinggal 5 meter lagi mencapai garis finish. Kamu harus kuat, harus bisa menyelesaikan apa yang sudah kamu mulai, ingat berapa banyak pengorbanan yang sudah kamu terima, jangan biarkan angin-angin itu memadamkan lilin semangat kamu :) Tidak ada yang menuntut kamu untuk jadi seperti Della, Rahma, Siti, dan Aini. Kita semua punya kekuatan dan keunikan masing-masing :) Seseorang bisa saja terlihat kuat dari luar, tapi kita tidak tahu, di balik kekuatan itu mungkin dia menyembunyikan kelemahan terbesarnya. Begitu juga sebaliknya :) Keep smile ya :)

Sungguh aku benar-benar langsung tersenyum mendengar nasihatnya.
Karena yang aku butuhkan bukan sebuah dorongan atau asupan semangat yang secara gamblang diucapkan.
Aku membutuhkan orang yang bersedia menyejajarkan matanya dengan mataku, kemudian bicara seolah ia merengkuh bahuku.
Dan orang-orang itu adalah orang-orang yang entah kenapa hanya bisa aku temukan di Jakarta.
Orang-orang yang mengerti bagaimana cara paling anggun dan tepat untuk bicara di berbagai situasi dan kondisi yang aku hadapi.
Orang-orang yang akan menyambutku jika aku mencapai puncak, tetapi juga orang-orang yang siap membangunkan aku saat aku terjatuh, di mana mereka pun sedang mendaki bersamaku.
Mulai dari Ibuku, keluarga ArFat-ku, dan Angkatan 21-ku.
Bukan orang-orang yang bisa dan biasa aku temukan di Bandung, yang notabene juga sedang mengalami ruang, masa, kesulitan, dan keresahan sepertiku.
Dan, minggu ini pun pada akhirnya berlalu, badai pun pasti berlalu, bukan?
Hal ini membuatku belajar untuk semakin siap dan percaya diri menghadapi hari-hari esok menyambut sinar mentari pagi :)))
Fabiayyi alaai Rabbi kuma tukadzdzibaan?
Maka, nikmat Tuhanmu yang manakah yang engkau dustakan?
Fa inna ma’al usri yusraan, inna ma’al usri yusraan.
Sesungguhnya di balik kesukaran, ada kemudahan. Di balik kesukaran, ada kemudahan.

-d-