Ceritanya, hari ini dapet beberapa hal menarik yang menambah warna dalam hariku.
Kejadian pertama.
Saat mata pelajaran Kapita Selekta Matematika II.
“Dina, kamu bawa BSE yang tentang materi Turunan nggak?” tanya Dini.
Iseng, aku menekuk wajahku, menjawab tanpa senyum dan dingin.
“Enggak. Memang kenapa? Kamu mau ngapain sih, Din? Mau tanya apa?” nada bicaraku datar, tapi sikap dan gesturku jauh dari kata ramah.
“Biasa aja kali mukanya, Din. Seyum coba.” Mpit yang ada di hadapanku menyeletuk, bukti nyata bahwa sedari tadi dia memperhatikan dengan seksama.
“Gitu ya?” Aku tertawa dan memasang wajah yang aku harap semanis mungkin lalu menatap Dini.
“Memang kenapa, Din? Mau tanya apa?” Aku kembali bertanya dengan nada dan gestur, bahkan raut wajah yang berbeda seratus delapan puluh derajat dari sebelumnya.
Dini dan Mpit tertawa bersamaan. “Nah, gitu kan enak dilihatnya!” seru Dini.
Kejadian Kedua.
Sesaat setelah pelajaran Kapita Selekta Matematika II berakhir.
Aku menghampiri sosok pria yang duduk di pojok belakang.
“Teh Dina, masa power bank-nya nggak masuk ke hp aku. Jadi aku pakai kabel datanya aja, pasang di laptop Parlin.” Aku disambut hangat dengan suara khas melayu milik Faridhul.
“Ah, masa? Coba sini aku lihat.”
Dia menyerahkan power bank dan hp-nya padaku, memperhatikan setiap gerak-gerikku.
“Iya, kan? Bener, kan? Nggak masuk.”
Aku mengangkat wajah untuk menatap matanya dan nyengir. “Iya, tadi sebentar doang masuknya. Terus nggak bisa lagi. Tapi di hp aku bisa. Nih,” Aku menunjukkan layar ponselku padanya dan dia langsung keheranan, mungkin bertanya-tanya apa yang salah dengan hp-nya.
“Sebenarnya, power bank itu nggak bagus buat hp kita tahu.” Mpit yang notabene ada di sampingku ikut angkat suara. “Karena bukan sumber utama. Sama kayak kalau hp kita merek BB, tapi kita pakai charger Samsung, itu juga bakal ngerusak.”
Aku dan Faridh langsung ber-Oh ria :D
Kemudian aku mulai meneliti suasana sekitarku, dan aku merasa saat ini merupakan momen yang pas untuk bicara dengan Faridh.
Akhirnya, aku tarik tas Faridh keluar kelas, Mpit yang memperhatikan kami langsung berseru padaku.
“Mau ke mana, Hey? Idul kan nggak ngontrak GeoTrans.”
Faridh juga hanya mengikuti dan rautnya penuh tanya. “Mende, ha?” tanya dia saat aku masih belum juga melepaskan tasnya.
“Aku harus ngomong sama kamu.”
“Ngomong apa? Ngomong lah.”
“Tapi aku takut.”
Dia memasang wajah sok serius. “Memang aku makan kamu? Apa kamu mau aku makan?”
Aku hanya memainkan jemari untuk menutupi kegugupanku. Faridh tersenyum dan menungguku bicara.
“Aku mimpi.” Aku memberanikan diri memulai.
“Mimpi apa?” tanya dia dengan gestur dan nada yang sabar.
“Aku mimpi kamu benci sama aku. Makanya sikap aku beberapa hari ini aneh ke kamu. Aku takut.”
Dia menahan tawa dan membalikan badannya. “Iya, aku benci sama kamu.”
Belum juga pembicaraan kami mencapai tuntas, Ira menghampiri kami dan bicara dengan Faridh mengenai presentasi. Kemudian datang Alfian dan Mpit yang ingin menukar uang padaku.
“Alfian, kau benci kan dengan Teh Dina?” tanya Idul dari belakangku pada Alfian.
Aku hanya nyengir dan bingung bagaimana melanjutkan pembicaraan ini. Maka aku mulai mengobrol dengan Mpit sampai akhirnya Faridh pergi dengan Alfian.
“Kami duluan ya,” Pamit mereka padaku dan Mpit.
Aku menghela napas, tidak tahu kapan bisa melanjutkan pembicaraan ini, fiuhh.
Kemudian kejadian ketiga, yang juga kejadian terakhir.
Sesaat sebelum pergi ke SMAN 3 Bandung, di depan ruang dosen Media Pembelajaran.
“Dina tuh ya, kalau marah ciri-cirinya nggak ada senyumnya sama sekali.” Komentar Dini.
“Iya betul. Kayak kemarin, dateng-dateng ke asrama ngebuat aku berspekulasi macem-macem. Ini anak marah atau kenapa? Makanya tadi pagi aku tegur aja.”
Aku tertawa seiring dengan komentar mereka tentangku, lumayan untuk dijadikan bahan evaluasi diri :D
“Tadi ya, pas kamu nanya pakai senyum, sumpah enak banget ngeliatnya, ke hati juga adem.”
Entah ini komentar jujur dan tulus seorang Dini atau memang dia sedang memberikan sugesti untukku agar selalu tersenyum.
“Kenapa? Kalau aku kayak begitu, kalian rasanya mau nonjok aku ya?” tanyaku tersenyum lebar dan sangat ingin tahu.
“Ya enggak sih. Aku kan udah biasa ngeliatnya. Tapi kalau orang baru? Kesel lah kalau berhadapan sama kamu yang kayak gitu.”
Nah, yang di atas tadi komentar Mpit, dan aku menerimanya dengan sangat lapang dada :D
Jadi intinya, aku beranggapan, setiap hari merupakan suatu kesempatan bagiku, bagi siapa pun, untuk menjadikan diri lebih baik dari sebelumnya.
Menjadi baru merupakan salah satu bentuk penyegaran diri.
Aku pun baru menyadari hal ini siang tadi.
Aku senang dikelilingi oleh orang-orang yang berani mengeluarkan pendapatnya mengenai aku.
Karena aku sudah terbiasa dengan kultur itu sejak SMA.
Dan juga, aku bukan tipe orang yang tidak mau dengar.
Bukan berarti aku tidak bisa menjadi diriku sendiri.
Tapi untuk menjadikan diri lebih baik, kenapa tidak? :)
-d-
Bismillahirrohmanirrohiim
Bismillahirrohmaanirrohiim
Maka, nikmat Tuhanmu yang manakah yang engkau dustakan?
Maka, nikmat Tuhanmu yang manakah yang engkau dustakan?
Kamis, 28 November 2013
Senin, 25 November 2013
Berawal Dari Sebuah Mimpi
"Muhammad Faridhul Akbar."
"Mbehal?"
". . ."
Begitu banyak hal yang tiba-tiba terpikirkan pagi ini.
Memimpikan orang yang dekat dengan kita berujung dengan membenci kita cukup untuk memberi label nightmare pada mimpiku.
Dulu, bahkan terkadang mimpi tersebut masih suka menghinggapi,
Aku memimpikan pemegang hatiku sejak delapan tahun lalu itu membenciku.
Aku menyuarakan apa yang ada dipiranku.
Aku bertanya tanpa tedeng aling-aling padanya, "Apa kamu membenciku?"
Dia hanya merespon dengan membercandai aku dan berakhir dengan suasana hatiku yang membaik karena polahnya.
Kali ini, malamku dihinggapi mimpi yang sama.
Sudah dua malam berturut-turut.
Hanya saja aku memimpikan Faridh yang membenci aku.
Maka dari itu sejak pagi aku begitu takut menatap wajah apalagi matanya.
Aku tidak ingin melakukan hal-hal yang tanpa aku sadari membuat dia membenciku seperti di mimpi itu.
Karena bagiku, mengetahui ada seseorang yang membenciku merupakan hal yang tidak mudah, aku harus mencari cara agar orang tersebut tak lagi mempunyai rasa benci itu terhadapku.
Dulu Faridh memang pernah berjanji, apa pun yang terjadi antara kami, tidak akan membuat dia berujung dengan membenciku.
Aku yang membuatnya berjanji seperti itu.
Walau aku menemukan keseriusan saat dia berjanji, aku masih dihinggapi rasa takut dan aku butuh memastikan sekali lagi setelah datangnya mimpi ini.
Maka aku ingin tahu apa dia masih ingat dengan janjinya dulu.
Banyak kata-kata yang sudah aku rangkum untuk dibicarakan dengannya.
Tetapi saat aku hendak bicara, keberanian dalam diriku menghilang dan menciut entah ke mana.
Saat aku berhadapan dengannya pun, mulutku terkunci rapat-rapat untuk menahanku bicara selain apa yang memang perlu dibicarakan dengannya.
Bahkan saat dia mulai membercandai aku dengan mengukur tinggi badanku menggunakan rentangan tangannya, berusaha untuk mencairkan suasana.
Ya mungkin aku memang tidak diberikan kesempatan bicara mengenai mimpiku ini dengannya.
Karena memang bukan sesuatu yang penting untuk dibicarakan dan bukanlah sesuatu yang penting untuk dikhawatirkan.
Mengingat dia sudah berjanji padaku . . .
NB : Oh ya, ngomong-ngomong siapa itu Muhammad Faridhul Akbar a.k.a Faridh atau Idhul?
Ladies and gentlemen, please welcome a friend of mine, my classmate in college, the most handsome island boys, and the best guy of this world have ever had.
-d-
"Mbehal?"
". . ."
Begitu banyak hal yang tiba-tiba terpikirkan pagi ini.
Memimpikan orang yang dekat dengan kita berujung dengan membenci kita cukup untuk memberi label nightmare pada mimpiku.
Dulu, bahkan terkadang mimpi tersebut masih suka menghinggapi,
Aku memimpikan pemegang hatiku sejak delapan tahun lalu itu membenciku.
Aku menyuarakan apa yang ada dipiranku.
Aku bertanya tanpa tedeng aling-aling padanya, "Apa kamu membenciku?"
Dia hanya merespon dengan membercandai aku dan berakhir dengan suasana hatiku yang membaik karena polahnya.
Kali ini, malamku dihinggapi mimpi yang sama.
Sudah dua malam berturut-turut.
Hanya saja aku memimpikan Faridh yang membenci aku.
Maka dari itu sejak pagi aku begitu takut menatap wajah apalagi matanya.
Aku tidak ingin melakukan hal-hal yang tanpa aku sadari membuat dia membenciku seperti di mimpi itu.
Karena bagiku, mengetahui ada seseorang yang membenciku merupakan hal yang tidak mudah, aku harus mencari cara agar orang tersebut tak lagi mempunyai rasa benci itu terhadapku.
Dulu Faridh memang pernah berjanji, apa pun yang terjadi antara kami, tidak akan membuat dia berujung dengan membenciku.
Aku yang membuatnya berjanji seperti itu.
Walau aku menemukan keseriusan saat dia berjanji, aku masih dihinggapi rasa takut dan aku butuh memastikan sekali lagi setelah datangnya mimpi ini.
Maka aku ingin tahu apa dia masih ingat dengan janjinya dulu.
Banyak kata-kata yang sudah aku rangkum untuk dibicarakan dengannya.
Tetapi saat aku hendak bicara, keberanian dalam diriku menghilang dan menciut entah ke mana.
Saat aku berhadapan dengannya pun, mulutku terkunci rapat-rapat untuk menahanku bicara selain apa yang memang perlu dibicarakan dengannya.
Bahkan saat dia mulai membercandai aku dengan mengukur tinggi badanku menggunakan rentangan tangannya, berusaha untuk mencairkan suasana.
Ya mungkin aku memang tidak diberikan kesempatan bicara mengenai mimpiku ini dengannya.
Karena memang bukan sesuatu yang penting untuk dibicarakan dan bukanlah sesuatu yang penting untuk dikhawatirkan.
Mengingat dia sudah berjanji padaku . . .
NB : Oh ya, ngomong-ngomong siapa itu Muhammad Faridhul Akbar a.k.a Faridh atau Idhul?
Ladies and gentlemen, please welcome a friend of mine, my classmate in college, the most handsome island boys, and the best guy of this world have ever had.
-d-
Kamis, 21 November 2013
Moes Sore Hari
Saat baru saja menapaki Gang Darmawinata karena ingin langsung pulang, tiba-tiba aku mendapat pesan dari seorang teman, anggap namanya Ehom.
"dmn na?"
Tanpa berpikir, aku balik belakang dan kembali ke kampusku yang terjangkau hanya dalam beberapa langkah itu.
"Di depan JICA hooom. Hehe."
Tak lama ponselku bergetar lagi. "tungguuu."
Aku pun terduduk dan memijit-mijit kakiku yang habis menjadi korban diriku sendiri, entah kenapa tidak ada angin tidak ada hujan, terkilir karena terjatuh dari tangga.
Untungnya Ehom tidak membiarkanku menunggu lama.
"Moes, yuk."
Aku hanya mengangguk dan berjalanlah kami ke warung yang menyediakan rendang, soto, kari, dan ayam bawang dalam bentuk mie itu.
Makanan favorit dan menjadi satu-satunya makanan mahasiswa di akhir bulan.
Singkat cerita kami memesan dua mie goreng telur, dimulailah percakapan random, yang kalau dulu dibicarakan akan langsung membuatku berpikir dan bertindak gegabah, sedangkan sekarang bagiku cukup hanya dengan menghela napas.
Karena bagiku, oknum yang jadi bahan pembicaraan kita bukanlah siapa-siapa, bukanlah apa-apa.
Sekali waktu aku bilang ke Ehom di suatu lorong bernama Geometri Transformasi.
"Kamu kemarin bilang, itu caranya dia untuk membuat aku netral. Dengan menjauhi dan sama sekali tidak bicara denganku. Dan pada akhirnya dia akan kembali saat aku benar-benar sudah netral seperti saat ini. Makanya dia mulai berani bicara padaku lagi. Begitu kan pendapatmu? Tapi menurutku, diamnya dan menjauhnya dia dari aku bukan untuk menunggu aku netral, tapi untuk membuat aku justru jadi segan mau bicara sama dia. Dia yang sudah membuat aku jadi malas berbincang dengannya."
Itu yang kurang lebih terucap atau mungkin yang ingin aku sampaikan ke Ehom.
Aku yakin teman-temanku mengerti betapa tersiksanya aku, betapa benar-benar tersudutkannya aku, saat mereka bisa bercanda tawa dengannya tetapi aku benar-benar kasat mata di hadapannya.
Jujur masa-masa saat dia mulai beraksi tidak jelas dan bertingkah seenaknya merupakan masa-masa yang sulit bagiku.
Karena hidup dengan beranggapan atau berspkulasi ada orang yang membenciku tidaklah mudah.
Aku selalu bertanya-tanya, sebenci apakah dia sama aku?
Kesalahan apa yang aku perbuat padanya? Sampai-sampai dia bersikap seolah aku ini semut yang bisa terinjak kapan saja.
Dulu aku selalu berharap, akan jauh lebih baik setidaknya, kalau dia meluapkan amarahnya padaku sehingga tidak meninggalkan jejak luka apa pun di hati kami.
Saat itu, satu alasan kenapa aku bertahan, teman-temanku sama sekali tidak meninggalkan aku.
Kemudian, seiring dengan berkurangnya frekuensi dia memunculkan wajah di hadapanku, aku menjadi semakin ringan melangkah, merasa matahari mulai menyinari dan menghangati hari-hariku.
Tetapi seperti siang lalu, setelah melewatkan banyak perkuliahan, akhirnya dia muncul kembali.
Awalnya melihat dia, aku lega.
Tapi lama kelamaan emosi menggerogoti diriku.
Ini dia maksudnya apa? Kenapa? Kok bisa?
Segala pertanyaan yang tidak mungkin dan tidak butuh terjawab membuatku sama sekali tidak bisa berpikir dan benar-benar ingin meninjunya, menendang perutnya, meneriakinya, membenturkan kepalanya ke tembok, atau apapun yang bisa melampiaskan emosiku padanya.
Tapi aku sadar, aku sudah bertekad tidak akan pernah melakukan hal yang tidak ber-etika dan tidak elegan seperti itu.
Jadi seperti yang aku bilang sebelumnya, saat ini menghela napas sudah lebih dari cukup bagiku terkait dia untuk membuatku terhindar dari perbuatan-perbuatan tadi.
Bahkan kalau bisa, aku tidak ingin mengenalnya, walau hanya namanya saja sekali-pun.
Entah apa ini artinya. Bencikah, kecewakah, aku tidak mengerti.
Yang jelas, orang seperti dia tidak pantas ada dalam ingatanku.
Sarkastis memang, tetapi dia yang sudah membuatku jadi seperti ini.
Ya, sesimpel itu, yang membuat hari-hariku selama ini kembali tersiram sinar mentari, seperti matahari yang mengikuti langkahku dan Ehom sekeluarnya dari Moes ini.
-d-
"dmn na?"
Tanpa berpikir, aku balik belakang dan kembali ke kampusku yang terjangkau hanya dalam beberapa langkah itu.
"Di depan JICA hooom. Hehe."
Tak lama ponselku bergetar lagi. "tungguuu."
Aku pun terduduk dan memijit-mijit kakiku yang habis menjadi korban diriku sendiri, entah kenapa tidak ada angin tidak ada hujan, terkilir karena terjatuh dari tangga.
Untungnya Ehom tidak membiarkanku menunggu lama.
"Moes, yuk."
Aku hanya mengangguk dan berjalanlah kami ke warung yang menyediakan rendang, soto, kari, dan ayam bawang dalam bentuk mie itu.
Makanan favorit dan menjadi satu-satunya makanan mahasiswa di akhir bulan.
Singkat cerita kami memesan dua mie goreng telur, dimulailah percakapan random, yang kalau dulu dibicarakan akan langsung membuatku berpikir dan bertindak gegabah, sedangkan sekarang bagiku cukup hanya dengan menghela napas.
Karena bagiku, oknum yang jadi bahan pembicaraan kita bukanlah siapa-siapa, bukanlah apa-apa.
Sekali waktu aku bilang ke Ehom di suatu lorong bernama Geometri Transformasi.
"Kamu kemarin bilang, itu caranya dia untuk membuat aku netral. Dengan menjauhi dan sama sekali tidak bicara denganku. Dan pada akhirnya dia akan kembali saat aku benar-benar sudah netral seperti saat ini. Makanya dia mulai berani bicara padaku lagi. Begitu kan pendapatmu? Tapi menurutku, diamnya dan menjauhnya dia dari aku bukan untuk menunggu aku netral, tapi untuk membuat aku justru jadi segan mau bicara sama dia. Dia yang sudah membuat aku jadi malas berbincang dengannya."
Itu yang kurang lebih terucap atau mungkin yang ingin aku sampaikan ke Ehom.
Aku yakin teman-temanku mengerti betapa tersiksanya aku, betapa benar-benar tersudutkannya aku, saat mereka bisa bercanda tawa dengannya tetapi aku benar-benar kasat mata di hadapannya.
Jujur masa-masa saat dia mulai beraksi tidak jelas dan bertingkah seenaknya merupakan masa-masa yang sulit bagiku.
Karena hidup dengan beranggapan atau berspkulasi ada orang yang membenciku tidaklah mudah.
Aku selalu bertanya-tanya, sebenci apakah dia sama aku?
Kesalahan apa yang aku perbuat padanya? Sampai-sampai dia bersikap seolah aku ini semut yang bisa terinjak kapan saja.
Dulu aku selalu berharap, akan jauh lebih baik setidaknya, kalau dia meluapkan amarahnya padaku sehingga tidak meninggalkan jejak luka apa pun di hati kami.
Saat itu, satu alasan kenapa aku bertahan, teman-temanku sama sekali tidak meninggalkan aku.
Kemudian, seiring dengan berkurangnya frekuensi dia memunculkan wajah di hadapanku, aku menjadi semakin ringan melangkah, merasa matahari mulai menyinari dan menghangati hari-hariku.
Tetapi seperti siang lalu, setelah melewatkan banyak perkuliahan, akhirnya dia muncul kembali.
Awalnya melihat dia, aku lega.
Tapi lama kelamaan emosi menggerogoti diriku.
Ini dia maksudnya apa? Kenapa? Kok bisa?
Segala pertanyaan yang tidak mungkin dan tidak butuh terjawab membuatku sama sekali tidak bisa berpikir dan benar-benar ingin meninjunya, menendang perutnya, meneriakinya, membenturkan kepalanya ke tembok, atau apapun yang bisa melampiaskan emosiku padanya.
Tapi aku sadar, aku sudah bertekad tidak akan pernah melakukan hal yang tidak ber-etika dan tidak elegan seperti itu.
Jadi seperti yang aku bilang sebelumnya, saat ini menghela napas sudah lebih dari cukup bagiku terkait dia untuk membuatku terhindar dari perbuatan-perbuatan tadi.
Bahkan kalau bisa, aku tidak ingin mengenalnya, walau hanya namanya saja sekali-pun.
Entah apa ini artinya. Bencikah, kecewakah, aku tidak mengerti.
Yang jelas, orang seperti dia tidak pantas ada dalam ingatanku.
Sarkastis memang, tetapi dia yang sudah membuatku jadi seperti ini.
Ya, sesimpel itu, yang membuat hari-hariku selama ini kembali tersiram sinar mentari, seperti matahari yang mengikuti langkahku dan Ehom sekeluarnya dari Moes ini.
-d-
Langganan:
Komentar (Atom)