Saat baru saja menapaki Gang Darmawinata karena ingin langsung pulang, tiba-tiba aku mendapat pesan dari seorang teman, anggap namanya Ehom.
"dmn na?"
Tanpa berpikir, aku balik belakang dan kembali ke kampusku yang terjangkau hanya dalam beberapa langkah itu.
"Di depan JICA hooom. Hehe."
Tak lama ponselku bergetar lagi. "tungguuu."
Aku pun terduduk dan memijit-mijit kakiku yang habis menjadi korban diriku sendiri, entah kenapa tidak ada angin tidak ada hujan, terkilir karena terjatuh dari tangga.
Untungnya Ehom tidak membiarkanku menunggu lama.
"Moes, yuk."
Aku hanya mengangguk dan berjalanlah kami ke warung yang menyediakan rendang, soto, kari, dan ayam bawang dalam bentuk mie itu.
Makanan favorit dan menjadi satu-satunya makanan mahasiswa di akhir bulan.
Singkat cerita kami memesan dua mie goreng telur, dimulailah percakapan random, yang kalau dulu dibicarakan akan langsung membuatku berpikir dan bertindak gegabah, sedangkan sekarang bagiku cukup hanya dengan menghela napas.
Karena bagiku, oknum yang jadi bahan pembicaraan kita bukanlah siapa-siapa, bukanlah apa-apa.
Sekali waktu aku bilang ke Ehom di suatu lorong bernama Geometri Transformasi.
"Kamu kemarin bilang, itu caranya dia untuk membuat aku netral. Dengan menjauhi dan sama sekali tidak bicara denganku. Dan pada akhirnya dia akan kembali saat aku benar-benar sudah netral seperti saat ini. Makanya dia mulai berani bicara padaku lagi. Begitu kan pendapatmu? Tapi menurutku, diamnya dan menjauhnya dia dari aku bukan untuk menunggu aku netral, tapi untuk membuat aku justru jadi segan mau bicara sama dia. Dia yang sudah membuat aku jadi malas berbincang dengannya."
Itu yang kurang lebih terucap atau mungkin yang ingin aku sampaikan ke Ehom.
Aku yakin teman-temanku mengerti betapa tersiksanya aku, betapa benar-benar tersudutkannya aku, saat mereka bisa bercanda tawa dengannya tetapi aku benar-benar kasat mata di hadapannya.
Jujur masa-masa saat dia mulai beraksi tidak jelas dan bertingkah seenaknya merupakan masa-masa yang sulit bagiku.
Karena hidup dengan beranggapan atau berspkulasi ada orang yang membenciku tidaklah mudah.
Aku selalu bertanya-tanya, sebenci apakah dia sama aku?
Kesalahan apa yang aku perbuat padanya? Sampai-sampai dia bersikap seolah aku ini semut yang bisa terinjak kapan saja.
Dulu aku selalu berharap, akan jauh lebih baik setidaknya, kalau dia meluapkan amarahnya padaku sehingga tidak meninggalkan jejak luka apa pun di hati kami.
Saat itu, satu alasan kenapa aku bertahan, teman-temanku sama sekali tidak meninggalkan aku.
Kemudian, seiring dengan berkurangnya frekuensi dia memunculkan wajah di hadapanku, aku menjadi semakin ringan melangkah, merasa matahari mulai menyinari dan menghangati hari-hariku.
Tetapi seperti siang lalu, setelah melewatkan banyak perkuliahan, akhirnya dia muncul kembali.
Awalnya melihat dia, aku lega.
Tapi lama kelamaan emosi menggerogoti diriku.
Ini dia maksudnya apa? Kenapa? Kok bisa?
Segala pertanyaan yang tidak mungkin dan tidak butuh terjawab membuatku sama sekali tidak bisa berpikir dan benar-benar ingin meninjunya, menendang perutnya, meneriakinya, membenturkan kepalanya ke tembok, atau apapun yang bisa melampiaskan emosiku padanya.
Tapi aku sadar, aku sudah bertekad tidak akan pernah melakukan hal yang tidak ber-etika dan tidak elegan seperti itu.
Jadi seperti yang aku bilang sebelumnya, saat ini menghela napas sudah lebih dari cukup bagiku terkait dia untuk membuatku terhindar dari perbuatan-perbuatan tadi.
Bahkan kalau bisa, aku tidak ingin mengenalnya, walau hanya namanya saja sekali-pun.
Entah apa ini artinya. Bencikah, kecewakah, aku tidak mengerti.
Yang jelas, orang seperti dia tidak pantas ada dalam ingatanku.
Sarkastis memang, tetapi dia yang sudah membuatku jadi seperti ini.
Ya, sesimpel itu, yang membuat hari-hariku selama ini kembali tersiram sinar mentari, seperti matahari yang mengikuti langkahku dan Ehom sekeluarnya dari Moes ini.
-d-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar