"Kamu egois, Din."
Mungkin itu adalah salah satu keluhan yang akan terlontar dari orang-orang terdekatku.
Tak tahu diri.
Tak tahu diuntung.
Dan pasti banyak lagi.
Karena dalam satu sisi, aku terbiasa dengan segala penolakkan.
Dan dalam sisi lain, aku benci penolakan.
Namun sampai sekarang aku masih belum menemukan seberapa dominan hal itu pada diriku.
Kepekaan.
Kepedulian.
Itulah yang sedang aku gali.
Yang sedang aku cari.
Dari dalam diri yang hina ini.
Aku terbiasa mengurung diriku dalam jerat yang tak aku biarkan orang lain menjamahnya.
Dan ketika aku dihadapi dan menghadapi keadaan di mana aku harus melepas jerat itu,
Aku limbung.
Aku linglung bagai anak itik kehilangan induknya.
Tak tahu arah.
Buta.
Aku butuh sandaran.
Aku butuh tempat sebagai pelipur segala keluh kesah dan kelemahanku.
Aku butuh penuntun.
Aku butuh alarm, bahkan sirine, agar bunyinya memekakkan telingaku dan menamparku hingga aku sadar kalau aku telah menghunus seseorang karena salah jalan.
Dan aku tahu, itu semua bisa aku raih dengan berpegang teguh pada Al-Quran dan Al-Hadist.
Tetap mentauhidkan Allah SWT.
Memperbaiki segala amal ibadahku.
Sehingga aku tak merasa sendiri.
Aku tak merasa jatuh.
Aku tak merasa kehilangan arah.
Karena Allah terpatri, terhunus dalam-dalam, di hati, pikiran, jiwa, dan raga ini.
Untuk orang-orang terdekatku.
Mungkin kata maaf tidak akan beguna sama sekali.
Apalagi bagi kalian yang benar-benar sudah tersakiti olehku.
Tapi aku sedang berikhtiar.
Belajar,
Untuk dapat memperbaiki, membenahi, masing-masing dari hati kalian yang telah terkikis oleh segala perkataan dan sikapku.
:')
-d-
Bismillahirrohmanirrohiim
Bismillahirrohmaanirrohiim
Maka, nikmat Tuhanmu yang manakah yang engkau dustakan?
Maka, nikmat Tuhanmu yang manakah yang engkau dustakan?
Rabu, 30 November 2011
Selasa, 29 November 2011
This is real, this is me.
Aku ini ...
Aku ini kupu-kupu.
Yang berawal dari ulat yang membuat banyak manusia bahkan membuangku namun akhirnya aku buktikan kalau keindahanku tak ada duanya jika direstui Allahku.
Aku ini angsa.
Yang dengan anggun mengepakkan sayap-sayapnya di saat yang paling tepat.
Aku ini rajawali.
Yang bukannya takut menghadapi badai, namun menerjang badai tersebut dengan terbang di atasnya.
Aku ini ombak.
Terlihat menakutkan namun tanpa ombak tak akan ada yang mencintai laut.
Aku ini bola kaca.
Jika digenggam erat-erat tentu akan pecah namun jika benar-benar dilepas, aku akan menggelinding.
Aku heran dengan pola pikir manusia jaman sekarang.
Yang bersikap ingin menjadi sosok lain yang bukan dirinya.
Apa karena mereka malu?
Atau mungkin tabiatnya memang buruk?
Atau mungkin ini merupakan senjata atau alat untuk dapat mempelajari medan kehidupan yang baru?
Kenapa mereka tidak menunjukkan saja tabiat asli mereka?
Tunjukkan kalau AKU ya memang AKU apa adanya.
Apa untungnya bersembunyi di balik sosok lain?
Nyaman kah seperti itu?
Hidup penuh kepalsuan, kepura-puraan.
Aku memang tidak peduli atas dasar apa mereka bersembunyi seperti itu.
Karena dari dulu, aku tetap berpendapat kalau alasan akan selalu membuat banyak perbatasan.
Namun setahu aku, kita terlahir jadi manusia adalah benar-benar untuk menjadi manusia.
Kita menjadi manusia yang memanusiakan manusia.
Yang pada hakikatnya harus terus merubah diri untuk lebih pantas, lebih layak, untuk naik derajat di sisi Allah SWT.
Bukannya bersembunyi di balik segala kepalsuan itu.
Apa salahnya kita melakukan sebuah kesalahan yang bisa membuat diri kita jauh lebih baik dan belajar?
Apa puas dengan segala kesempurnaan palsu?
Jika segala sesuatu di dunia ini tabiatnya atau mungkin nilainya baik,
Tidak akan pernah ada manusia yang akan mau belajar dan berusaha untuk menjadikan diri lebih baik.
Padahal kita semua tahu dan mengerti, satu-satunya hal yang mutlak sempurna adalah Allah Subhanahuwata'alla, pemilik dan pemelihara alam semesta ini, jagad raya ini.
Ubahlah segala hal yang dapat kita jangkau ke arah yang jauh lebih baik.
Bukan merubah segala hal yang ada di luar jangkauan kita.
Jangan buang waktumu hanya untuk ber 'acting' di dunia yang penuh sandiwara ini.
LAKUKAN !!!
Keep Survive !!!
No limitation (:
-d-
Aku ini kupu-kupu.
Yang berawal dari ulat yang membuat banyak manusia bahkan membuangku namun akhirnya aku buktikan kalau keindahanku tak ada duanya jika direstui Allahku.
Aku ini angsa.
Yang dengan anggun mengepakkan sayap-sayapnya di saat yang paling tepat.
Aku ini rajawali.
Yang bukannya takut menghadapi badai, namun menerjang badai tersebut dengan terbang di atasnya.
Aku ini ombak.
Terlihat menakutkan namun tanpa ombak tak akan ada yang mencintai laut.
Aku ini bola kaca.
Jika digenggam erat-erat tentu akan pecah namun jika benar-benar dilepas, aku akan menggelinding.
Aku heran dengan pola pikir manusia jaman sekarang.
Yang bersikap ingin menjadi sosok lain yang bukan dirinya.
Apa karena mereka malu?
Atau mungkin tabiatnya memang buruk?
Atau mungkin ini merupakan senjata atau alat untuk dapat mempelajari medan kehidupan yang baru?
Kenapa mereka tidak menunjukkan saja tabiat asli mereka?
Tunjukkan kalau AKU ya memang AKU apa adanya.
Apa untungnya bersembunyi di balik sosok lain?
Nyaman kah seperti itu?
Hidup penuh kepalsuan, kepura-puraan.
Aku memang tidak peduli atas dasar apa mereka bersembunyi seperti itu.
Karena dari dulu, aku tetap berpendapat kalau alasan akan selalu membuat banyak perbatasan.
Namun setahu aku, kita terlahir jadi manusia adalah benar-benar untuk menjadi manusia.
Kita menjadi manusia yang memanusiakan manusia.
Yang pada hakikatnya harus terus merubah diri untuk lebih pantas, lebih layak, untuk naik derajat di sisi Allah SWT.
Bukannya bersembunyi di balik segala kepalsuan itu.
Apa salahnya kita melakukan sebuah kesalahan yang bisa membuat diri kita jauh lebih baik dan belajar?
Apa puas dengan segala kesempurnaan palsu?
Jika segala sesuatu di dunia ini tabiatnya atau mungkin nilainya baik,
Tidak akan pernah ada manusia yang akan mau belajar dan berusaha untuk menjadikan diri lebih baik.
Padahal kita semua tahu dan mengerti, satu-satunya hal yang mutlak sempurna adalah Allah Subhanahuwata'alla, pemilik dan pemelihara alam semesta ini, jagad raya ini.
Ubahlah segala hal yang dapat kita jangkau ke arah yang jauh lebih baik.
Bukan merubah segala hal yang ada di luar jangkauan kita.
Jangan buang waktumu hanya untuk ber 'acting' di dunia yang penuh sandiwara ini.
LAKUKAN !!!
Keep Survive !!!
No limitation (:
-d-
Label:
Islamku INDAH (:
Senin, 28 November 2011
99 Cahaya di Langit Eropa
Atas izinnya, saya posting sebuah resensi buku.
Tapi lebih tepatnya, resume dari sebuah buku.
Buku yang dengan sangat piawainya dipromosikan oleh salah satu sahabatku.
Mungkin dia tahu aku penggila buku, mungkin.
Atau lebih mungkin lagi dia tahu aku penggila Agamaku, Islamku.
Yasudah, tanpa banyak basa basi, mari kita lihat resumenya (;
Nama : Tubagus Fadillah S.L
Kelas : F
NIM : 07111356
Tugas Bahasa Indonesia
99 CAHAYA DI LANGIT EROPA

Judul Buku : 99 Cahaya di Langit Eropa: Menapak Jejak Islam di Eropa
Penulis : Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra
Halaman : 424
Ukuran : 13,5 x 20 cm
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Genre : Non Fiksi, Novel Perjalanan, Novel Sejarah Islam
ISBN-13 : 9789792272741
Tanggal Terbit : 29 Juli 2011
Ringkasan cerita :
Cerita dalam novel ini dimulai jauh sebelum novel ini dibuat. Dulu ketika perang salib antara kaum muslim menghadapi kaum kristen si sebuah daerah di benua Eropa, ada soarang panglima tua yang memimpin pasukan muslim. Waktu itu, panglima tua tersebut yakin bahwa hari itu adalah hari kemenangan dia dan pasukan muslim. Dia yakin akan memenangi pertempuran ini karena telah menyiapkan berbagai macam strategi. Namun takdir berkata lain. Hari itu pasukan muslim sedang diambang kekalahan, segala macam strategi yang telah dibuat panglima tua itu tidak berjalan dengan sukses. Pasukan kristen mendapat bala bantuan dari berbagai negara. “Allah bersama kita...” Itulah kata-kata terakhir yang diucapkan panglima tua itu kepada pasaukannya. Sayangnya setelah berabad-abad tahun kemudian, dia dikenal sebagai penjahat perang. Dia menyebarkan Islam bukan dengan sikap dan tutur laku yang baik, tetapi dengan pedang dan perisai....
Pertengahan Maret 2008
Hari itu adalah hari pertama Hanum (tokoh utama dalam novel ini) dan Rangga (suaminya) menginjakkan kaki di Eropa. Mereka kesana karena Rangga mendapat beasiswa untuk studi Doktoralnya di Wina, Austria. Sambil menunggu panggilan kerja di tempat Rangga sekolah, Hanum mengikuti les bahasa jerman di Wina. Disana, Hanum berkenalan dengan seorang wanita berkebangsaan Turki, Fatma namanya. Fatma bercerita bahwa di sini, Wina, wanita yang mengenakan jilbab kurang diapresiasi. Mungkin itulah alasan mengapa Fatma belum mendapat pekerjaan disana.
Hari demi hari mereka habiskan bersama. Setiap ada kesempatan, Fatma selalu mengajak Hanum berkeliling kota Wina. Suatu hari Fatma mengajak Hanum pergi ke atas gunung di Wina. Disana mereka melihat seluruh isi kota Wina. Allahhuakbar, Allahuakbar... Suara Azan Magrib terdengar dari atas pegunungan. Hanum pun sontak kaget mendengarnya. Dia heran mengapa ada suara azan di negeri yang sebagian besar penduduknya adalah non-muslim. Fatma memberitahu bahwa suara azan itu datang dari masjid Vienna Islamic Center. “Kau harus kesana.” kata Fatma.
Keesokokan harinya, mereka pergi ke museum Schoenbrunn. Museum terkenal di Wina. Disana mereka melihat berbagai peninggalan sejarah tentang kota Wina. Fatma tertuju pada salah satu lukisan di tempat itu. Di lukisan itu tertulis: Kara Mustapha Pasha; Panglima Perang; pembunuh. Fatma menangisi lukisan itu, Kara Mustapha adalah kakek buyutnya. Fatma menyayangkan tindakan sang kakek yang menyebarkan Islam dengan cara yang salah. Dengan pedang dan perisai. Fatma kemudian meyakinkan dirinya untuk menjadi ‘agen muslim yang baik’. Hari berikutnya, mereka menonton pertandingan sepakbola Piala Eropa antara Turki dengan Swiss. Dan Hari itu adalah hari terakhir Hanum bersama Fatma. Fatma mendadak kembali ke Turki.
Hanum maaf, sekarang aku di bandara Schwechat. Sebentar lagi terbang kembali ke Turki. Ada hal mendesak yang harus kuselesaikan. Semoga kita bertemu lagi. Salam.
Hanum dan Rangga kemudian pergi Vienna Islamic Center. Disana mereka bertemu Imam Hashim, pengurus dan Imam besar di masjid itu. Imam Hashim memberikan sebuah kartu nama kepada Hanum dan menganjurkan mereka untuk pergi ke Paris, Prancis, dan menemui orang yang tertera di kartu nama itu yang akan membimbing mereka disana. Menurutnya, Paris menyimpan banyak misteri tentang Islam, tak terkecuali cerita bahwa Napoleon Bonaparte adalah seorang muslim....
“Paris, la ville-lumiere” ujar Rangga kepada Hanum.
Rangga akan menghadiri menghadiri sebuah konferensi di Paris. Dan itulah awal dari kisah Hanum dan Rangga di Paris. Setibanya disana, Hanum mengontak Marion Latimer, nama yang teretera di kartu nama yang diberikan Imam Hashim. Tak lama menunggu, tibalah Marion. Tanpa basa-basi mereka langsung pergi ketempat yang sudah Marion rencakan namun Rangga tidak ikut karena harus menghadiri persiapan konferensinya.
“Paris bukan hanya tentang eiffel, museum louvre, dan yang lainnya. Aku mengenal Islam justru dari sini, aku memeluk Islam karena...Paris.” begitulah kata-kata Marion mengawali perjalanan mereka. Diperjalan, Marion menunjuk salah satu patung, patung St. Michel. St. Michel, atau Mikhail adalah dewa perang bagi umat kristen. Hanum heran, mengapa malaikat Mikail yang terkenal sebagai malaikat pemberi rezeki diartikan lain oleh umat lain. Tampaknya malaikat Mikhail diterima nilai-nilai kemalaikatnya secara berbeda oleh agama lain.
Tibalah mereka di museum Louvre. Museum ini menyimpan berbagai macam karya maestro dunia. Museum ini juga menyimpan berbagai peninggalan dari zaman ke zaman, dari imperiun ke imperium yang tentunya bisa menambah pengetahuan. Hanum dan Marion masuk ke museum itu, dan seketika pula Hanum menunjuk salah satu papan penunjuk disana...
Section Islamic Art Gallery
Disana Hanum melihat berbagai macam benda-benda peninggalan Islam beserta penjelasannya dalam kaligrafi. Hanum terharu karena benda-benda bersejarah bagi Islam ini ternyata disimpan di jantung pusat peradaban benua Eropa, Paris. Ada lukisan yang sangat aneh, yaitu lukisan bunda Maria. Dalam lukisan itu hijab yang digunakan oleh bunda Maria terdapat kaligrafi yang berbunyi La Illa ha Illalah. Anehnya lukisan itu dibuat oleh seorang seniman kristen. Tampaknya seniman itu hanya meniru tulisan yang mungkin sedang tren pada masa itu, tentunya pada masa keemasan Islam.
Namun Hanum sedih karena dari sekian banyak nama seniman Islam disana, tak satupun yang dia kenali. Hanum sedih karena dia hanya mengenal seniman Barat seperti Picasso, Van Gogh, dan lainnya tanpa mengenal satupun nama seniman Islam yang tertera disana.
Marion mulai mengeluarkan bakatnya sebagai guide bagi Hanum. Marion sendiri adalah lulusan di bidang sejarah, tepatnya sejarah Islam di abad pertengahan. Marion bercerita bahwa Eropa sesungguhnya baru maju pada 5 abad terakhir saja. Jauh sebelum sekarang, Eropa adalah bangsa terbelakang dalam hal teknologi, budaya, dan ilmu pengetahuan. Pada abad itu, Islamlah peradaban yang paling maju, paling terang benderang diantara peradaban yang lainnya. Tanpa adanya ilmu pengetahuan dari kaum muslim, Eropa tidak akan semaju sekarang.
Mereka kemudian keluar dari Louvre. Tepat di pintu depan Louvre, Marion memberitahu fakta yang menarik lagi kepada Hanum. Dibelakang museum ini terdapat 5 bangunan bersejarah bagi Paris: Arc de Triomphe du Carrousel, Obelisk, Champ Elysees, Arc de Triomphe du I’Evoile dan la Defense. Jika ke 5 bangunan ini ditarik garis lurus melewati Louvre, maka akan sampai pada sebuah tempat yang sangat agung. Mekah. Arti dari dari I’Evoile sendiri adalah jalan kemenangan, dan bangunan Arc de Triomphe du I’Evoile dan Arc de Triomphe du Carrousel ini dibangun pada masa pemerintahan Napoleon Bonaparte. Inilah yang membuat Marion beranggapan bahwa Napoleon Bonaparte, sosok pahlawan besar bagi masyarakat Prancis, adalah seorang Muslim. Benar atau tidak, setidaknya susunan bangunan bersejarah yang bergaris lurus menuju Mekah ini adalah bukti bahwa ini semua bukan ‘kebetulan belaka’.... Dan inilah yang mengakhiri perjalanan Hanum dengan Marion.
Setelah selesai dengan konferensinya, Rangga dan Hanum menghabiskan sisa waktu mereka di Paris dengan berkeliling ke tempat-tempat yang ‘lumrah’ dikunjungi setiap turis pada umumnya. Disela-sela perjalan, mereka menyempatkan diri untuk solat di sebuah mesjid yang berada di Paris. Sungguh perasaan yang sangat luar biasa bagi Hanum dan Rangga bisa menunaikan solat di pusat peradaban Eropa.
Mereka ingin mengunjungi Notre Dame, sebuah gereja yang sangat terkenal di Paris. Notre Dame mempunyai kesamaan bentuk dengan Mezquita, sebuah gereja (dulunya masjid) yang sangat terkenal di Cordoba. Alasan mengapa Notre Dame memiliki kesamaan bentuk mungkin karena arsitek Eropa dulu ingin menyaingi masjid Mezquita yang sangat bagus pada masa itu. Sayangnya hari itu Notre Dame tutup, dan itu adalah hari terakhir mereka di Paris karena keesokan harinya mereka harus kembali ke Wina untuk melanjutkan studi Rangga. Rangga bergumam pada dirinya sendiri jika tidak bisa memasuki Notre Dame, dirinya harus berhasil ke Cordoba.
Malam harinya di Wina, Amien Rais (ayah Hanum) menelponnya. Hanum menceritakan semua perjalanannya kepada ayahnya. Namun, ayahnya berpesan bahwa bukan perjalannya yang penting, melainkan makna apa yang bisa dipetik dari perjalanan itu. Sang ayah juga berpesan bahwa dirinya sudah tidak mungkin untuk berkeliling dunia, oleh karena itu, dia meminta kepada Hanum untuk mewakili dirinya mengunjungi kota peradaban Islam termaju di Eropa, Cordoba...
Seketika itu pula Hanum membuka komputer tabletnya, berburu tiket paling murah pada Juni 2010, saat libur musim panas di kampus Rangga.
“Cordoba, kami datang....”
Kota yang penuh dengan hal yang sangat Islami, setidaknya itulah yang ada di benak Hanum dan Rangga saat tiba di Cordoba. Namun setibanya mereka disana, lagi-lagi mereka harus menghapus khayalan mereka akan kota yang dipenuhi dengan orang-orang sopan, wanita memakai jilbab, dan sebagainya. Disana mereka melihat Cordoba tidak lain hanyalah seperti kota-kota Eropa pada umumnya. Wanita yang memperlihatkan auratnya, sepasang kekasih yang berciuman di jalan umum, dan hal lainnya yang umum seperti di kota-kota Eropa lainnya.
Di Cordoba mereka langsung menuju ke tujuan utama mereka, Mezquita. Kali ini giliran Sergio, seorang lelaki tua, yang menjadi pemandu mereka di Cordoba dengan upah tiga puluh euro selama dua jam. Sergio mulai bercerita bahwa sesungguhnya ada rantai sejarah yang terputus di Eropa ini. Yaitu berkembang pesatnya peradaban Islam di Eropa dan tempat itu adalah Cordoba. Saat itu pada masa kegelapan, Cordobalah yang menjadi kota paling terang diantara semua negara Eropa. Maksud terang disini adalah terang dalam artian yang sesungguhnya. Eropa dulu adalah wilayah yang gelap, sedangkan pada masa itu Cordoba sudah menggunakan lampu dari minyak untuk menerangi kota dengan Mezquita sebagai pusat kota.
Dahulu di Cordoba, Islam, Yahudi, dan Kristen hidup berdampingan. Mereka tidak saling singgung dalam hal keyakinan, mereka menjunjung tinggi keadilan sosial dan Mezquita representasi dari semua itu. Mihrab yang ada di Mezquita tidak mengarah ke Mekah, bila memaksakan kesana, maka harus menghancurkan sebuah gereja yang berada di sebelahnya, dan itu tidak diinginkan oleh Al Rahman, raja Cordoba saat itu. Hanum dan Rangga sangat serius memperhatikan apa yang diucapkan oleh Sergio. Sergio berpikir seharusnya Mezquita dijadikan museum saja seperti Hagia Sophia yang ada di Turki. Sergio melanjutkan penjelasannya tentang Cordoba. Averroes (Ibnu Rushd) , Bapak Renaissance, adalah seseorang yang sangat dihormati oleh masyarakat Eropa sebagai seorang filsuf yang sangat bijaksana dan dia adalah seorang muslim. Averroes berpendapat bahwa hanya dua kekuatan utama untuk menjalani hidup dengan baik, yaitu agama dan ilmu pengetahuan. Sayangnya ilmu pengetahuan lebih mengena pada masyarakat Eropa kini. Sergio terus bercerita hingga tak terasa waktu dua jam yang dijanjikan telah hampir habis. Hanum dan Rangga merasa itu saja belum cukup untuk menuntaskan dahaga akan Islam, tetapi mereka harus kembali karena sudah berhari-hari mereka berada di Cordoba.
Dalam setiap perjalanannya, Hanum selalu menyempatkan diri untuk mengirim pesan kepada Fatma. Namun tak ada satupun surat balasan dari Fatma untuk Hanum.
Suatu ketika Hanum kaget ketika ternyata ada surat dari Fatma, Fatma Pasha. Fatma mengatakan bahwa dirinya senang mendengar kisah perjalanan Hanum. Fatma mengajak Hanum dan Rangga untuk berkunjung ke Turki, tanah kelahirannya.
“Sebagai wilayah terakhir dari usaha ekspansi agama Islam di Eropa dan sebagai akhir tujuan perjalan Islamimu di Eropa, kau harus berkunjung kesini.....Turki”
Goodbye Asia, welcome to Europe again...” bisik Rangga kepada Hanum setelah mereka menyebrangi jembatan Bosphorus, jembatan yang sangat terkenal di Turki. Jembatan ini adalah jembatan pemisah antara benua Asia dan benua Eropa.
Setelah menunggu sekitar dua jam, akhirnya orang yang ditunggu datang juga, Fatma Pasha. Kali ini Fatma lagi yang akan menjadi pemandu untuk Hanum dan Rangga. Perjalanan mereka diawali dengan mengunjungi Hagia Sophia. Kebalikan dari Mezquita, Hagia Sophia dulunya adalah sebuah gereja. Setelah konstantinopel (Istanbul) ditaklukkan oleh Ottoman, Hagia Sophia dialihfungsikan menjadi masjid. Namun kini telah menjadi museum atas kebijakan pemerintahan Turki sekarang. Fatama bercerita bahwa keberhasilan pasukan muslim menaklukkan Konstantinopel adalah sebuah keberhasilan yang besar, terutama berhasil menaklukkan Hagia Sophia. Pada masa itu Hagia Sophia adalah simbol kebesaran kekaisaran Romawi. Dengan direbutnya Hagia Sophia, maka runtuhlah kewibawaan bangsa Romawi. Walaupun dialihfungsikan menjadi masjid, atas perintah Sultan Mehmed, lukisan-lukisan dan seni arsitekurnya tidak dihapus. Lukisan-lukisan seperti Bunda Maria, Yesus Kristus, dan lainnya masih ada di Hagia Sophia. Ini untuk membuktikan pada dunia bahwa Islam bukanlah agama perusak. Sampai sekarang sisa-sisa karya seni itu masih bisa dinikmati oleh manusia zaman sekarang dan keasliaan masih terpelihara meskipun ada beberapa bagian yang rusak.
Setelah mengunjungi Hagia Sophia, mereka kemudian mengunjungi Blue Mosque. Fatma bercerita bahwa Blue Mosque ini dibuat pada masa pemerintahan Sultan Mehmed. Ini dibangun untuk menyaingi Hagia Sophia.
“Tahukah kau Hanum, bahwa Islam dulu pernah berjaya untuk waktu yang cukup lama, dan sekarang kejayaan masa lalu itu sudah mulai pudar. kini banyak kalangan yang menilai bahwa Islam adalah agama yang radikal. Sulit untuk mengantisipasi itu, tapi aku sebagai seorang muslim akan berusaha sekuat mungkin untuk memberitahukan kepada mereka bahwa anggapan mereka semua salah. Karena itu akan mencoba menjadi seorang....”
“Agen muslim yang baik !!!” sambut Hanum.
Akhir cerita ini diakhiri dengan pergi hajinya Hanum Salsabiela Rais. Hanum pergi tidak dengan Rangga karena Rangga tidak mendapat izin dari tempat ia studi Doktoralnya. Hanum beranggapan bahwa pergi haji adalah undangan spesial dari Tuhan. Disanalah Hanum mengakhiri perjalanan Islaminya di Eropa.
Pergilah, jelajahi dunia, lihatlah dan carilah kebenaran dan rahasia-rahasia hidup; niscaya jalan apapun yang kau pilih akan mengantarkanmu ke titik awal. Sumber kebenaran dan rahasia hidup akan kau temukan di titik nol perjalanmu.
”Perjalan panjangmu tidak akan mengantarkanmu ke ujung jalan, justru akan membawamu kembali ke titik permulaan.”
-Hanum Salsabiela Rais-
Bagaimana, Pemirsah?
Interested to read?
The answer is suppose to be YESSS.
Because after I read this resume, I eager to read this.
Really !!!
Don't miss it (;
Big thanks to you, friend, Tubagus Fadillah Setyabudi Leksana.
Tapi lebih tepatnya, resume dari sebuah buku.
Buku yang dengan sangat piawainya dipromosikan oleh salah satu sahabatku.
Mungkin dia tahu aku penggila buku, mungkin.
Atau lebih mungkin lagi dia tahu aku penggila Agamaku, Islamku.
Yasudah, tanpa banyak basa basi, mari kita lihat resumenya (;
Nama : Tubagus Fadillah S.L
Kelas : F
NIM : 07111356
Tugas Bahasa Indonesia
99 CAHAYA DI LANGIT EROPA

Judul Buku : 99 Cahaya di Langit Eropa: Menapak Jejak Islam di Eropa
Penulis : Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra
Halaman : 424
Ukuran : 13,5 x 20 cm
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Genre : Non Fiksi, Novel Perjalanan, Novel Sejarah Islam
ISBN-13 : 9789792272741
Tanggal Terbit : 29 Juli 2011
Ringkasan cerita :
Cerita dalam novel ini dimulai jauh sebelum novel ini dibuat. Dulu ketika perang salib antara kaum muslim menghadapi kaum kristen si sebuah daerah di benua Eropa, ada soarang panglima tua yang memimpin pasukan muslim. Waktu itu, panglima tua tersebut yakin bahwa hari itu adalah hari kemenangan dia dan pasukan muslim. Dia yakin akan memenangi pertempuran ini karena telah menyiapkan berbagai macam strategi. Namun takdir berkata lain. Hari itu pasukan muslim sedang diambang kekalahan, segala macam strategi yang telah dibuat panglima tua itu tidak berjalan dengan sukses. Pasukan kristen mendapat bala bantuan dari berbagai negara. “Allah bersama kita...” Itulah kata-kata terakhir yang diucapkan panglima tua itu kepada pasaukannya. Sayangnya setelah berabad-abad tahun kemudian, dia dikenal sebagai penjahat perang. Dia menyebarkan Islam bukan dengan sikap dan tutur laku yang baik, tetapi dengan pedang dan perisai....
Pertengahan Maret 2008
Hari itu adalah hari pertama Hanum (tokoh utama dalam novel ini) dan Rangga (suaminya) menginjakkan kaki di Eropa. Mereka kesana karena Rangga mendapat beasiswa untuk studi Doktoralnya di Wina, Austria. Sambil menunggu panggilan kerja di tempat Rangga sekolah, Hanum mengikuti les bahasa jerman di Wina. Disana, Hanum berkenalan dengan seorang wanita berkebangsaan Turki, Fatma namanya. Fatma bercerita bahwa di sini, Wina, wanita yang mengenakan jilbab kurang diapresiasi. Mungkin itulah alasan mengapa Fatma belum mendapat pekerjaan disana.
Hari demi hari mereka habiskan bersama. Setiap ada kesempatan, Fatma selalu mengajak Hanum berkeliling kota Wina. Suatu hari Fatma mengajak Hanum pergi ke atas gunung di Wina. Disana mereka melihat seluruh isi kota Wina. Allahhuakbar, Allahuakbar... Suara Azan Magrib terdengar dari atas pegunungan. Hanum pun sontak kaget mendengarnya. Dia heran mengapa ada suara azan di negeri yang sebagian besar penduduknya adalah non-muslim. Fatma memberitahu bahwa suara azan itu datang dari masjid Vienna Islamic Center. “Kau harus kesana.” kata Fatma.
Keesokokan harinya, mereka pergi ke museum Schoenbrunn. Museum terkenal di Wina. Disana mereka melihat berbagai peninggalan sejarah tentang kota Wina. Fatma tertuju pada salah satu lukisan di tempat itu. Di lukisan itu tertulis: Kara Mustapha Pasha; Panglima Perang; pembunuh. Fatma menangisi lukisan itu, Kara Mustapha adalah kakek buyutnya. Fatma menyayangkan tindakan sang kakek yang menyebarkan Islam dengan cara yang salah. Dengan pedang dan perisai. Fatma kemudian meyakinkan dirinya untuk menjadi ‘agen muslim yang baik’. Hari berikutnya, mereka menonton pertandingan sepakbola Piala Eropa antara Turki dengan Swiss. Dan Hari itu adalah hari terakhir Hanum bersama Fatma. Fatma mendadak kembali ke Turki.
Hanum maaf, sekarang aku di bandara Schwechat. Sebentar lagi terbang kembali ke Turki. Ada hal mendesak yang harus kuselesaikan. Semoga kita bertemu lagi. Salam.
Hanum dan Rangga kemudian pergi Vienna Islamic Center. Disana mereka bertemu Imam Hashim, pengurus dan Imam besar di masjid itu. Imam Hashim memberikan sebuah kartu nama kepada Hanum dan menganjurkan mereka untuk pergi ke Paris, Prancis, dan menemui orang yang tertera di kartu nama itu yang akan membimbing mereka disana. Menurutnya, Paris menyimpan banyak misteri tentang Islam, tak terkecuali cerita bahwa Napoleon Bonaparte adalah seorang muslim....
“Paris, la ville-lumiere” ujar Rangga kepada Hanum.
Rangga akan menghadiri menghadiri sebuah konferensi di Paris. Dan itulah awal dari kisah Hanum dan Rangga di Paris. Setibanya disana, Hanum mengontak Marion Latimer, nama yang teretera di kartu nama yang diberikan Imam Hashim. Tak lama menunggu, tibalah Marion. Tanpa basa-basi mereka langsung pergi ketempat yang sudah Marion rencakan namun Rangga tidak ikut karena harus menghadiri persiapan konferensinya.
“Paris bukan hanya tentang eiffel, museum louvre, dan yang lainnya. Aku mengenal Islam justru dari sini, aku memeluk Islam karena...Paris.” begitulah kata-kata Marion mengawali perjalanan mereka. Diperjalan, Marion menunjuk salah satu patung, patung St. Michel. St. Michel, atau Mikhail adalah dewa perang bagi umat kristen. Hanum heran, mengapa malaikat Mikail yang terkenal sebagai malaikat pemberi rezeki diartikan lain oleh umat lain. Tampaknya malaikat Mikhail diterima nilai-nilai kemalaikatnya secara berbeda oleh agama lain.
Tibalah mereka di museum Louvre. Museum ini menyimpan berbagai macam karya maestro dunia. Museum ini juga menyimpan berbagai peninggalan dari zaman ke zaman, dari imperiun ke imperium yang tentunya bisa menambah pengetahuan. Hanum dan Marion masuk ke museum itu, dan seketika pula Hanum menunjuk salah satu papan penunjuk disana...
Section Islamic Art Gallery
Disana Hanum melihat berbagai macam benda-benda peninggalan Islam beserta penjelasannya dalam kaligrafi. Hanum terharu karena benda-benda bersejarah bagi Islam ini ternyata disimpan di jantung pusat peradaban benua Eropa, Paris. Ada lukisan yang sangat aneh, yaitu lukisan bunda Maria. Dalam lukisan itu hijab yang digunakan oleh bunda Maria terdapat kaligrafi yang berbunyi La Illa ha Illalah. Anehnya lukisan itu dibuat oleh seorang seniman kristen. Tampaknya seniman itu hanya meniru tulisan yang mungkin sedang tren pada masa itu, tentunya pada masa keemasan Islam.
Namun Hanum sedih karena dari sekian banyak nama seniman Islam disana, tak satupun yang dia kenali. Hanum sedih karena dia hanya mengenal seniman Barat seperti Picasso, Van Gogh, dan lainnya tanpa mengenal satupun nama seniman Islam yang tertera disana.
Marion mulai mengeluarkan bakatnya sebagai guide bagi Hanum. Marion sendiri adalah lulusan di bidang sejarah, tepatnya sejarah Islam di abad pertengahan. Marion bercerita bahwa Eropa sesungguhnya baru maju pada 5 abad terakhir saja. Jauh sebelum sekarang, Eropa adalah bangsa terbelakang dalam hal teknologi, budaya, dan ilmu pengetahuan. Pada abad itu, Islamlah peradaban yang paling maju, paling terang benderang diantara peradaban yang lainnya. Tanpa adanya ilmu pengetahuan dari kaum muslim, Eropa tidak akan semaju sekarang.
Mereka kemudian keluar dari Louvre. Tepat di pintu depan Louvre, Marion memberitahu fakta yang menarik lagi kepada Hanum. Dibelakang museum ini terdapat 5 bangunan bersejarah bagi Paris: Arc de Triomphe du Carrousel, Obelisk, Champ Elysees, Arc de Triomphe du I’Evoile dan la Defense. Jika ke 5 bangunan ini ditarik garis lurus melewati Louvre, maka akan sampai pada sebuah tempat yang sangat agung. Mekah. Arti dari dari I’Evoile sendiri adalah jalan kemenangan, dan bangunan Arc de Triomphe du I’Evoile dan Arc de Triomphe du Carrousel ini dibangun pada masa pemerintahan Napoleon Bonaparte. Inilah yang membuat Marion beranggapan bahwa Napoleon Bonaparte, sosok pahlawan besar bagi masyarakat Prancis, adalah seorang Muslim. Benar atau tidak, setidaknya susunan bangunan bersejarah yang bergaris lurus menuju Mekah ini adalah bukti bahwa ini semua bukan ‘kebetulan belaka’.... Dan inilah yang mengakhiri perjalanan Hanum dengan Marion.
Setelah selesai dengan konferensinya, Rangga dan Hanum menghabiskan sisa waktu mereka di Paris dengan berkeliling ke tempat-tempat yang ‘lumrah’ dikunjungi setiap turis pada umumnya. Disela-sela perjalan, mereka menyempatkan diri untuk solat di sebuah mesjid yang berada di Paris. Sungguh perasaan yang sangat luar biasa bagi Hanum dan Rangga bisa menunaikan solat di pusat peradaban Eropa.
Mereka ingin mengunjungi Notre Dame, sebuah gereja yang sangat terkenal di Paris. Notre Dame mempunyai kesamaan bentuk dengan Mezquita, sebuah gereja (dulunya masjid) yang sangat terkenal di Cordoba. Alasan mengapa Notre Dame memiliki kesamaan bentuk mungkin karena arsitek Eropa dulu ingin menyaingi masjid Mezquita yang sangat bagus pada masa itu. Sayangnya hari itu Notre Dame tutup, dan itu adalah hari terakhir mereka di Paris karena keesokan harinya mereka harus kembali ke Wina untuk melanjutkan studi Rangga. Rangga bergumam pada dirinya sendiri jika tidak bisa memasuki Notre Dame, dirinya harus berhasil ke Cordoba.
Malam harinya di Wina, Amien Rais (ayah Hanum) menelponnya. Hanum menceritakan semua perjalanannya kepada ayahnya. Namun, ayahnya berpesan bahwa bukan perjalannya yang penting, melainkan makna apa yang bisa dipetik dari perjalanan itu. Sang ayah juga berpesan bahwa dirinya sudah tidak mungkin untuk berkeliling dunia, oleh karena itu, dia meminta kepada Hanum untuk mewakili dirinya mengunjungi kota peradaban Islam termaju di Eropa, Cordoba...
Seketika itu pula Hanum membuka komputer tabletnya, berburu tiket paling murah pada Juni 2010, saat libur musim panas di kampus Rangga.
“Cordoba, kami datang....”
Kota yang penuh dengan hal yang sangat Islami, setidaknya itulah yang ada di benak Hanum dan Rangga saat tiba di Cordoba. Namun setibanya mereka disana, lagi-lagi mereka harus menghapus khayalan mereka akan kota yang dipenuhi dengan orang-orang sopan, wanita memakai jilbab, dan sebagainya. Disana mereka melihat Cordoba tidak lain hanyalah seperti kota-kota Eropa pada umumnya. Wanita yang memperlihatkan auratnya, sepasang kekasih yang berciuman di jalan umum, dan hal lainnya yang umum seperti di kota-kota Eropa lainnya.
Di Cordoba mereka langsung menuju ke tujuan utama mereka, Mezquita. Kali ini giliran Sergio, seorang lelaki tua, yang menjadi pemandu mereka di Cordoba dengan upah tiga puluh euro selama dua jam. Sergio mulai bercerita bahwa sesungguhnya ada rantai sejarah yang terputus di Eropa ini. Yaitu berkembang pesatnya peradaban Islam di Eropa dan tempat itu adalah Cordoba. Saat itu pada masa kegelapan, Cordobalah yang menjadi kota paling terang diantara semua negara Eropa. Maksud terang disini adalah terang dalam artian yang sesungguhnya. Eropa dulu adalah wilayah yang gelap, sedangkan pada masa itu Cordoba sudah menggunakan lampu dari minyak untuk menerangi kota dengan Mezquita sebagai pusat kota.
Dahulu di Cordoba, Islam, Yahudi, dan Kristen hidup berdampingan. Mereka tidak saling singgung dalam hal keyakinan, mereka menjunjung tinggi keadilan sosial dan Mezquita representasi dari semua itu. Mihrab yang ada di Mezquita tidak mengarah ke Mekah, bila memaksakan kesana, maka harus menghancurkan sebuah gereja yang berada di sebelahnya, dan itu tidak diinginkan oleh Al Rahman, raja Cordoba saat itu. Hanum dan Rangga sangat serius memperhatikan apa yang diucapkan oleh Sergio. Sergio berpikir seharusnya Mezquita dijadikan museum saja seperti Hagia Sophia yang ada di Turki. Sergio melanjutkan penjelasannya tentang Cordoba. Averroes (Ibnu Rushd) , Bapak Renaissance, adalah seseorang yang sangat dihormati oleh masyarakat Eropa sebagai seorang filsuf yang sangat bijaksana dan dia adalah seorang muslim. Averroes berpendapat bahwa hanya dua kekuatan utama untuk menjalani hidup dengan baik, yaitu agama dan ilmu pengetahuan. Sayangnya ilmu pengetahuan lebih mengena pada masyarakat Eropa kini. Sergio terus bercerita hingga tak terasa waktu dua jam yang dijanjikan telah hampir habis. Hanum dan Rangga merasa itu saja belum cukup untuk menuntaskan dahaga akan Islam, tetapi mereka harus kembali karena sudah berhari-hari mereka berada di Cordoba.
Dalam setiap perjalanannya, Hanum selalu menyempatkan diri untuk mengirim pesan kepada Fatma. Namun tak ada satupun surat balasan dari Fatma untuk Hanum.
Suatu ketika Hanum kaget ketika ternyata ada surat dari Fatma, Fatma Pasha. Fatma mengatakan bahwa dirinya senang mendengar kisah perjalanan Hanum. Fatma mengajak Hanum dan Rangga untuk berkunjung ke Turki, tanah kelahirannya.
“Sebagai wilayah terakhir dari usaha ekspansi agama Islam di Eropa dan sebagai akhir tujuan perjalan Islamimu di Eropa, kau harus berkunjung kesini.....Turki”
Goodbye Asia, welcome to Europe again...” bisik Rangga kepada Hanum setelah mereka menyebrangi jembatan Bosphorus, jembatan yang sangat terkenal di Turki. Jembatan ini adalah jembatan pemisah antara benua Asia dan benua Eropa.
Setelah menunggu sekitar dua jam, akhirnya orang yang ditunggu datang juga, Fatma Pasha. Kali ini Fatma lagi yang akan menjadi pemandu untuk Hanum dan Rangga. Perjalanan mereka diawali dengan mengunjungi Hagia Sophia. Kebalikan dari Mezquita, Hagia Sophia dulunya adalah sebuah gereja. Setelah konstantinopel (Istanbul) ditaklukkan oleh Ottoman, Hagia Sophia dialihfungsikan menjadi masjid. Namun kini telah menjadi museum atas kebijakan pemerintahan Turki sekarang. Fatama bercerita bahwa keberhasilan pasukan muslim menaklukkan Konstantinopel adalah sebuah keberhasilan yang besar, terutama berhasil menaklukkan Hagia Sophia. Pada masa itu Hagia Sophia adalah simbol kebesaran kekaisaran Romawi. Dengan direbutnya Hagia Sophia, maka runtuhlah kewibawaan bangsa Romawi. Walaupun dialihfungsikan menjadi masjid, atas perintah Sultan Mehmed, lukisan-lukisan dan seni arsitekurnya tidak dihapus. Lukisan-lukisan seperti Bunda Maria, Yesus Kristus, dan lainnya masih ada di Hagia Sophia. Ini untuk membuktikan pada dunia bahwa Islam bukanlah agama perusak. Sampai sekarang sisa-sisa karya seni itu masih bisa dinikmati oleh manusia zaman sekarang dan keasliaan masih terpelihara meskipun ada beberapa bagian yang rusak.
Setelah mengunjungi Hagia Sophia, mereka kemudian mengunjungi Blue Mosque. Fatma bercerita bahwa Blue Mosque ini dibuat pada masa pemerintahan Sultan Mehmed. Ini dibangun untuk menyaingi Hagia Sophia.
“Tahukah kau Hanum, bahwa Islam dulu pernah berjaya untuk waktu yang cukup lama, dan sekarang kejayaan masa lalu itu sudah mulai pudar. kini banyak kalangan yang menilai bahwa Islam adalah agama yang radikal. Sulit untuk mengantisipasi itu, tapi aku sebagai seorang muslim akan berusaha sekuat mungkin untuk memberitahukan kepada mereka bahwa anggapan mereka semua salah. Karena itu akan mencoba menjadi seorang....”
“Agen muslim yang baik !!!” sambut Hanum.
Akhir cerita ini diakhiri dengan pergi hajinya Hanum Salsabiela Rais. Hanum pergi tidak dengan Rangga karena Rangga tidak mendapat izin dari tempat ia studi Doktoralnya. Hanum beranggapan bahwa pergi haji adalah undangan spesial dari Tuhan. Disanalah Hanum mengakhiri perjalanan Islaminya di Eropa.
Pergilah, jelajahi dunia, lihatlah dan carilah kebenaran dan rahasia-rahasia hidup; niscaya jalan apapun yang kau pilih akan mengantarkanmu ke titik awal. Sumber kebenaran dan rahasia hidup akan kau temukan di titik nol perjalanmu.
”Perjalan panjangmu tidak akan mengantarkanmu ke ujung jalan, justru akan membawamu kembali ke titik permulaan.”
-Hanum Salsabiela Rais-
Bagaimana, Pemirsah?
Interested to read?
The answer is suppose to be YESSS.
Because after I read this resume, I eager to read this.
Really !!!
Don't miss it (;
Big thanks to you, friend, Tubagus Fadillah Setyabudi Leksana.
Label:
Islamku INDAH (:
Kamis, 24 November 2011
Dingin, hangat, hiasan.
Menahan rasa dingin hingga kehangatan datang.
Rasa dingin yang nyaris mematahkan tulang rusukku.
Rasa dingin yang nyaris mematahkan segala kelimbungan.
Rasa dingin yang menghancurkan hingga terbentuklah kepingan2 yang tak akan dapat tersusun kembali.
Rasa dingin yang membuat diri ini seperti tenggelam karena sangat menyesakkan.
Rasa dingin yang membekukan segala pendirian dan peradaban yang telah terpatri dalam jiwa.
Awalnya merupakan hal yang peluangnya O bagiku.
Namun kenyataannya semuanya lenyap bagai karam.
Hancur lebur bagai anai.
Karena sumber kehangatan yang bahkan mengalahkan hangatnya sinar matahari pagi.
Melainkan sumber kehangatan yang datang berupa sebuah bisikan hangat yang menyejukkan jiwa.
Sumber kehangatan yang datang berupa tatapan yang mengalahkan kekuatan gravitasi karena menjatuhkan semua yang tersapu olehnya.
Sumber kehangatan yang datang berupa senyuman yang memabukkan siapa pun yang terjamah olehnya, yang mengalahkan lautan dalam menghanyutkan sesuatu, yang melimbungkan jika tidak ada sandaran.
Sumber kehangatan yang datang berupa heroin bagiku, krn jiwanya, suaranya, bahkan aromanya sangat mengundangku.
Aku juga sangat tidak paham apa yang membuat segala kedinginan yang aku rasakan menjadi takluk pada segala kehangatan yang terpancar dari makhluk ciptaan Allah SWT yang sangat mengagumkan itu.
Kedinginan ini rasanya mematikan.
Bahkan morfin pun tak akan pernah bisa menghilangkan rasa sakitnya walau sedikit saja.
Semakin dipaksa untuk dihilangkan, maka akan semakin buta aku dibuatnya krn rasa sakitnya yang tak terhingga.
Dingin yang meluluhlantakkan jiwa ini krn kehilangan arah.
Dingin yang menusuk-nusuk, yang menggigit segala aspek hidupku tanpa ampun.
Terdengarnya sangat hiperbola dan ironis, bukan, diriku ini?
Namun, siapa yang sangka Allah memberikan aku sebuah sumber kehangatan yang bagai arus listrik krn benar-benar langsung menerjangku.
Janganlah pernah berhenti menjadi penghangat hati dan penghias hatiku.
Aku sama sekali tidak dapat menghilangkan cahayamu.
Yang bersinar indah dari dirimu.
Wahai sang penghias hati.
Sudikah membawa jiwa dan raga ini pergi?
Ke tempat di mana hanya boleh kita saja yang bercanda tawa.
Wahai sang penghias hati.
Terkadang aku berada pada asa yang luar biasa.
Karena aku buta akan cahayamu.
Aku tidak dapat menangkap apa yang kau pancarkan.
Tolong jangan biarkan aku terseok karena kegelapan.
Biarkan aku terbang dan biarkan aku merasa sesak.
Tapi jangan pernah membiarkan aku jauh dari hati dan jiwamu.
Hei sang penghias hati.
Arungilah dermaga hatiku dan samudera jiwaku.
Dan aku rela hatiku direnangi olehmu.
Karena satu terindah dalam dirimu kini ada di jiwaku.
Wahai sang penghias hati.
Janganlah pernah menjadi gumpalan saat aku menutup mata.
Aku mencintaimu penghias hatiku.
Itulah dirimu di mataku, Titaniumku.
-d-
Rasa dingin yang nyaris mematahkan tulang rusukku.
Rasa dingin yang nyaris mematahkan segala kelimbungan.
Rasa dingin yang menghancurkan hingga terbentuklah kepingan2 yang tak akan dapat tersusun kembali.
Rasa dingin yang membuat diri ini seperti tenggelam karena sangat menyesakkan.
Rasa dingin yang membekukan segala pendirian dan peradaban yang telah terpatri dalam jiwa.
Awalnya merupakan hal yang peluangnya O bagiku.
Namun kenyataannya semuanya lenyap bagai karam.
Hancur lebur bagai anai.
Karena sumber kehangatan yang bahkan mengalahkan hangatnya sinar matahari pagi.
Melainkan sumber kehangatan yang datang berupa sebuah bisikan hangat yang menyejukkan jiwa.
Sumber kehangatan yang datang berupa tatapan yang mengalahkan kekuatan gravitasi karena menjatuhkan semua yang tersapu olehnya.
Sumber kehangatan yang datang berupa senyuman yang memabukkan siapa pun yang terjamah olehnya, yang mengalahkan lautan dalam menghanyutkan sesuatu, yang melimbungkan jika tidak ada sandaran.
Sumber kehangatan yang datang berupa heroin bagiku, krn jiwanya, suaranya, bahkan aromanya sangat mengundangku.
Aku juga sangat tidak paham apa yang membuat segala kedinginan yang aku rasakan menjadi takluk pada segala kehangatan yang terpancar dari makhluk ciptaan Allah SWT yang sangat mengagumkan itu.
Kedinginan ini rasanya mematikan.
Bahkan morfin pun tak akan pernah bisa menghilangkan rasa sakitnya walau sedikit saja.
Semakin dipaksa untuk dihilangkan, maka akan semakin buta aku dibuatnya krn rasa sakitnya yang tak terhingga.
Dingin yang meluluhlantakkan jiwa ini krn kehilangan arah.
Dingin yang menusuk-nusuk, yang menggigit segala aspek hidupku tanpa ampun.
Terdengarnya sangat hiperbola dan ironis, bukan, diriku ini?
Namun, siapa yang sangka Allah memberikan aku sebuah sumber kehangatan yang bagai arus listrik krn benar-benar langsung menerjangku.
Janganlah pernah berhenti menjadi penghangat hati dan penghias hatiku.
Aku sama sekali tidak dapat menghilangkan cahayamu.
Yang bersinar indah dari dirimu.
Wahai sang penghias hati.
Sudikah membawa jiwa dan raga ini pergi?
Ke tempat di mana hanya boleh kita saja yang bercanda tawa.
Wahai sang penghias hati.
Terkadang aku berada pada asa yang luar biasa.
Karena aku buta akan cahayamu.
Aku tidak dapat menangkap apa yang kau pancarkan.
Tolong jangan biarkan aku terseok karena kegelapan.
Biarkan aku terbang dan biarkan aku merasa sesak.
Tapi jangan pernah membiarkan aku jauh dari hati dan jiwamu.
Hei sang penghias hati.
Arungilah dermaga hatiku dan samudera jiwaku.
Dan aku rela hatiku direnangi olehmu.
Karena satu terindah dalam dirimu kini ada di jiwaku.
Wahai sang penghias hati.
Janganlah pernah menjadi gumpalan saat aku menutup mata.
Aku mencintaimu penghias hatiku.
Itulah dirimu di mataku, Titaniumku.
-d-
Kamis, 17 November 2011
kahlil gibran - lagu gelombang
Aku telah bernyanyi untukmu
Tapi kau tidak juga menari
Aku telah menangis di depanmu
Tapi kau tidak juga mengerti
Haruskah aku menangis sambil bernyanyi
Haruskah seluruh nilai terabaikan
Agar kau bisa menari dan mengerti
Atau haruskah cerita itu terulang
Agar aku bisa menangis dan bernyanyi
Haruskah tarianku lebih vulgar
Agar kau bisa memahami
Atau haruskah aku berteriak
Agar kembali menjadi manusia tak tau diri
Haruskah aku berdiam diri
Agar tarianku tersembunyikan
Ataukah harus aku berontak
Agar kau bisa melihat tarianku
Haruskah aku memaksa
Agar kau merasa terdesak
Ataukah harus aku mematung
Agar kau tak merasa tersudut
Haruskah aku menghilang
Agar kau tak merasakan beban
Ataukah harus aku pergi
Agar kau tak perlu mengilangkan diri
Haruskah aku ...
Harusnya aku menyadari
Kau tak butuh nyanyian dan tangisan
Harusnya aku paham
Kau tak ingin diberi nyanyian dan tangis
Harusnya aku mengerti
Kau tak ingin menari atau mengerti
Harusnya aku ...
Harus aku kembalikan kesadaran
Bahwa aku tak bisa untuk tidak
Bernyanyi dan menari
Harus aku tak kembalikan kesadaran
Bahwa aku tak bisa untuk tidak
Meluapkan nyanyian dan tangisan
Harus ...
Harusnya arus ini mengalir
Namun ia tak peduli
Pusarannya terlalu kuat
Melingkar-lingkar di dalam buntu
Menjambak harga dari sebuah nilai
-d-
Tapi kau tidak juga menari
Aku telah menangis di depanmu
Tapi kau tidak juga mengerti
Haruskah aku menangis sambil bernyanyi
Haruskah seluruh nilai terabaikan
Agar kau bisa menari dan mengerti
Atau haruskah cerita itu terulang
Agar aku bisa menangis dan bernyanyi
Haruskah tarianku lebih vulgar
Agar kau bisa memahami
Atau haruskah aku berteriak
Agar kembali menjadi manusia tak tau diri
Haruskah aku berdiam diri
Agar tarianku tersembunyikan
Ataukah harus aku berontak
Agar kau bisa melihat tarianku
Haruskah aku memaksa
Agar kau merasa terdesak
Ataukah harus aku mematung
Agar kau tak merasa tersudut
Haruskah aku menghilang
Agar kau tak merasakan beban
Ataukah harus aku pergi
Agar kau tak perlu mengilangkan diri
Haruskah aku ...
Harusnya aku menyadari
Kau tak butuh nyanyian dan tangisan
Harusnya aku paham
Kau tak ingin diberi nyanyian dan tangis
Harusnya aku mengerti
Kau tak ingin menari atau mengerti
Harusnya aku ...
Harus aku kembalikan kesadaran
Bahwa aku tak bisa untuk tidak
Bernyanyi dan menari
Harus aku tak kembalikan kesadaran
Bahwa aku tak bisa untuk tidak
Meluapkan nyanyian dan tangisan
Harus ...
Harusnya arus ini mengalir
Namun ia tak peduli
Pusarannya terlalu kuat
Melingkar-lingkar di dalam buntu
Menjambak harga dari sebuah nilai
-d-
Rabu, 16 November 2011
hari saling memuji satu sama lain dan hubungannya dengan menyerah pada kemunafikkan.
Hari ini, aku dengan dua orang aneh (red : dini dan mpit) tp sangat aku sayang *ngoook
Sedang melihat video SNSD di notebook ku.
Yasudah, sekalian saja aku kasih liat-liat foto2 waktu SMA, dan si dini tidak mau kalah sepertinya dengan saya yg langsung menunjukkan foto2 jg.
Mau tau apa komentar mereka?
1. Saat melihat foto Dini.
"Tuh kan Teh, Mpit bilang jg apa, Dini tuh cantik tau."
"Hey, km muji orang tp orangnya ada di sini." Protes Dini yg masih aja sok cool padahal dalam hati jejingkrakan.
2. Saat melihat foto aku.
"Ih Teteh, cantik tauuu." Seru Mpit lagi.
"Iya bener. Mukanya juga masih bersih." Kata Dini --> teu sopaaannn -,-
"Apakah hari ini adalah hari di mana kita saling memuji satu sama lain?" Kataku sok puitis yg ngalahin Sayap-sayap Patah nya Kahlil Gibran.
3. Saat melihat foto Mpit.
"Nah, Mpit suka tau foto yg ini, Mpitnya cantik." Kata Mpit, memuji diri sendiri.
Hehehehe maap Mpit, km mah selalu cantik kok #nyilangin telunjuk ke jari tengah ehehe.
Sayangnya kita tidak bisa memuji secara langsung satu sosok lg yg aneh buat saya tp juga sangat saya sayang yaitu Ghanis krn dia mau tau guru besar tuh kalo dikukuhin bagaimana padahal mah tinggal di masak aja kan ya?
Balik ke topik.
Lalu apa hubungannya dengan menyerah pada kemunafikkan?
Komentar2 td diungkapkan secara spontanitas, secara langsung krn refleks dr tulang sumsum belakang sebagai reseptornya #ngomong apa sih din? Hehehehe.
Dan Mpit nyeletuk "Mpit mah bukan tipe orang yg suka ngomong langsung atau berkomentar untuk suatu masalah, Mpit lbh baik simpan sendiri atau bicarakan dgn orang lain yg tidak bersangkutan."
"Iyaaa. Kayak yg aku bilang td, setiap masalah itu ada yg harus diselesaikan dgn dibicarakan dan ada jg yg emang akan selesai dgn sendirinya. Dan untuk masalah yg akan selesai dgn sendirinya, kita emang gabisa berbuat dan berkata apa-apa. Istilahnya, kita menyerah pada kemunafikkan." Jelas Dini panjang lebar.
Subhanallah, sesuatu banget gak sih temen2 aku?
Lalu apa yg aku katakan?
Tidak ada. Aku hanya diam seribu bahasa.
Menggigit lidah sampai berdarah bahkan tanpa aku sadari asinnya.
Tp maaf, saya bukan tong kosong yg nyaring bunyinya.
Saya bukan tipe orang yg masuk telinga kanan keluar dr bawah #ups salah.
Saya diam, tetapi saya berpikir.
Memberikan nilai untuk hipotesis kehidupan yg sudah saya rancang.
Dan tidak lupa menarik kesimpulan.
Apa kesimpulannya?
Bahwa kita harus berhati-hati dalam bersikap dan berkata karena dua hal tersebut dapat memberikan paradigma yg berbeda pada diri setiap manusia. Ingatlah kalau kita hidup di tengah-tengah indahnya kebesaran Allah SWT yg menciptakan pluralisme antara makhluk2 ciptanNya.
Menyerah pada kemunafikkan.
Suatu hal yg kerap terjadi saat kejujuran mulai dipertimbangkan krn perasaan yg mendominasi.
Padahal masing2 dari kita nggak akan pernah ngerti parameter perasaan itu sendiri dan seberapa dominan perasaan tersebut bagi diri kita.
Kuasai perasaan jika kamu ingin menguasai dunia dan akhirat.
Bukan bermaksud ambisius dan menghalalkan segala cara untuk mencapai apa yg kita mau,
Namun kita sebagai manusia pada hakikatnya memang harus keluar dr zona nyaman, zona yg selalu mempertimbangkan perasaan, untuk melangkah ke depan dan untuk dapat melihat segala peluang yang terpampang luas di hadapan kita.
So, jadilah seseorang yg bisa menempatkan sesuatu pada tempatnya.
Mengertilah hak dan privasi diri sendiri juga orang lain.
Dengan begitu kamu akan dengan sendirinya peka terhadap perasaan orang lain tanpa harus mementingkan perasaan itu sendiri.
Be strong, be tough.
Tunjukkan pada dunia dan alam sekitar kalau kita adalah makhluk terindah (:
-d-
Sedang melihat video SNSD di notebook ku.
Yasudah, sekalian saja aku kasih liat-liat foto2 waktu SMA, dan si dini tidak mau kalah sepertinya dengan saya yg langsung menunjukkan foto2 jg.
Mau tau apa komentar mereka?
1. Saat melihat foto Dini.
"Tuh kan Teh, Mpit bilang jg apa, Dini tuh cantik tau."
"Hey, km muji orang tp orangnya ada di sini." Protes Dini yg masih aja sok cool padahal dalam hati jejingkrakan.
2. Saat melihat foto aku.
"Ih Teteh, cantik tauuu." Seru Mpit lagi.
"Iya bener. Mukanya juga masih bersih." Kata Dini --> teu sopaaannn -,-
"Apakah hari ini adalah hari di mana kita saling memuji satu sama lain?" Kataku sok puitis yg ngalahin Sayap-sayap Patah nya Kahlil Gibran.
3. Saat melihat foto Mpit.
"Nah, Mpit suka tau foto yg ini, Mpitnya cantik." Kata Mpit, memuji diri sendiri.
Hehehehe maap Mpit, km mah selalu cantik kok #nyilangin telunjuk ke jari tengah ehehe.
Sayangnya kita tidak bisa memuji secara langsung satu sosok lg yg aneh buat saya tp juga sangat saya sayang yaitu Ghanis krn dia mau tau guru besar tuh kalo dikukuhin bagaimana padahal mah tinggal di masak aja kan ya?
Balik ke topik.
Lalu apa hubungannya dengan menyerah pada kemunafikkan?
Komentar2 td diungkapkan secara spontanitas, secara langsung krn refleks dr tulang sumsum belakang sebagai reseptornya #ngomong apa sih din? Hehehehe.
Dan Mpit nyeletuk "Mpit mah bukan tipe orang yg suka ngomong langsung atau berkomentar untuk suatu masalah, Mpit lbh baik simpan sendiri atau bicarakan dgn orang lain yg tidak bersangkutan."
"Iyaaa. Kayak yg aku bilang td, setiap masalah itu ada yg harus diselesaikan dgn dibicarakan dan ada jg yg emang akan selesai dgn sendirinya. Dan untuk masalah yg akan selesai dgn sendirinya, kita emang gabisa berbuat dan berkata apa-apa. Istilahnya, kita menyerah pada kemunafikkan." Jelas Dini panjang lebar.
Subhanallah, sesuatu banget gak sih temen2 aku?
Lalu apa yg aku katakan?
Tidak ada. Aku hanya diam seribu bahasa.
Menggigit lidah sampai berdarah bahkan tanpa aku sadari asinnya.
Tp maaf, saya bukan tong kosong yg nyaring bunyinya.
Saya bukan tipe orang yg masuk telinga kanan keluar dr bawah #ups salah.
Saya diam, tetapi saya berpikir.
Memberikan nilai untuk hipotesis kehidupan yg sudah saya rancang.
Dan tidak lupa menarik kesimpulan.
Apa kesimpulannya?
Bahwa kita harus berhati-hati dalam bersikap dan berkata karena dua hal tersebut dapat memberikan paradigma yg berbeda pada diri setiap manusia. Ingatlah kalau kita hidup di tengah-tengah indahnya kebesaran Allah SWT yg menciptakan pluralisme antara makhluk2 ciptanNya.
Menyerah pada kemunafikkan.
Suatu hal yg kerap terjadi saat kejujuran mulai dipertimbangkan krn perasaan yg mendominasi.
Padahal masing2 dari kita nggak akan pernah ngerti parameter perasaan itu sendiri dan seberapa dominan perasaan tersebut bagi diri kita.
Kuasai perasaan jika kamu ingin menguasai dunia dan akhirat.
Bukan bermaksud ambisius dan menghalalkan segala cara untuk mencapai apa yg kita mau,
Namun kita sebagai manusia pada hakikatnya memang harus keluar dr zona nyaman, zona yg selalu mempertimbangkan perasaan, untuk melangkah ke depan dan untuk dapat melihat segala peluang yang terpampang luas di hadapan kita.
So, jadilah seseorang yg bisa menempatkan sesuatu pada tempatnya.
Mengertilah hak dan privasi diri sendiri juga orang lain.
Dengan begitu kamu akan dengan sendirinya peka terhadap perasaan orang lain tanpa harus mementingkan perasaan itu sendiri.
Be strong, be tough.
Tunjukkan pada dunia dan alam sekitar kalau kita adalah makhluk terindah (:
-d-
Senin, 14 November 2011
something that is very something (:
Perlahan, ada yang berubah.
Cinta yang tumbuh dalam diam dan keheningan.
Yang datang bahkan tanpa aku sadari.
Berjalan bersamanya, larut dalam canda tawa dan semua kelakarnya,
Limbung dalam senyum dan tatap mata.
Bahkan saat jari-jari itu meraihnya, satu hal yang jerap terjadi sejak semula.
Dan satu bisikan kecil di telinga.
Sesuatu di dada berdetak lebih cepat dr yang aku duga.
Hampir prustasi, lalu aku teriakkan cintaku ke udara.
Tapi ternyata menguap sia-sia.
Aku ingin menjelma menjadi apa yang pernah aku minta.
Dan aku terlambat menyadari saat melihatnya dgn mata hatiku sendiri.
Prahara itu benar-benar datang.
Menggulung bentang cakrawala.
Memudarkan bianglala.
Menarik fajar, dan dr kejauhan bergerak perlahan bayang-bayang malam.
Di sinilah aku sekarang.
Terseok menghalangi.
Terlalu pelan kesadaran itu datang.
Saat mata hati terbuka, kau telah menjadi gumpalan.
Esti kinasih.
Sesuatu banget ya kata-katanya?
Inilah yang sedang dirasakan olehku saat ini.
Aku jd merasa asing di mata siapa pun, termasuk oleh diriku sendiri.
Hanya karena satu hal kecil bodoh.
Entah apa yang mempengaruhiku sebegitu kuatnya.
Padahal dia bukan magnet.
Dia juga bukan alat pengait.
So far, till now, nothing can have a big deal for me.
But, he makes me getting down an down.
Stupid, isn't it.
Tapi aku akan ikuti segala permainannya.
Istilahnya, dia jual, saya beli.
Oke.
Inilah saatnya saya menjelma jadi apa yang pernah saya impikan.
Yaitu menjadi angin.
Yang dapat terbang bebas ke mana saja saya mau.
Saya ingin orang-orang melihat saya bermetamorfosis.
Menjadi makhluk paling indah di dunia ini.
Yaitu kupu-kupu (:
-d-
Cinta yang tumbuh dalam diam dan keheningan.
Yang datang bahkan tanpa aku sadari.
Berjalan bersamanya, larut dalam canda tawa dan semua kelakarnya,
Limbung dalam senyum dan tatap mata.
Bahkan saat jari-jari itu meraihnya, satu hal yang jerap terjadi sejak semula.
Dan satu bisikan kecil di telinga.
Sesuatu di dada berdetak lebih cepat dr yang aku duga.
Hampir prustasi, lalu aku teriakkan cintaku ke udara.
Tapi ternyata menguap sia-sia.
Aku ingin menjelma menjadi apa yang pernah aku minta.
Dan aku terlambat menyadari saat melihatnya dgn mata hatiku sendiri.
Prahara itu benar-benar datang.
Menggulung bentang cakrawala.
Memudarkan bianglala.
Menarik fajar, dan dr kejauhan bergerak perlahan bayang-bayang malam.
Di sinilah aku sekarang.
Terseok menghalangi.
Terlalu pelan kesadaran itu datang.
Saat mata hati terbuka, kau telah menjadi gumpalan.
Esti kinasih.
Sesuatu banget ya kata-katanya?
Inilah yang sedang dirasakan olehku saat ini.
Aku jd merasa asing di mata siapa pun, termasuk oleh diriku sendiri.
Hanya karena satu hal kecil bodoh.
Entah apa yang mempengaruhiku sebegitu kuatnya.
Padahal dia bukan magnet.
Dia juga bukan alat pengait.
So far, till now, nothing can have a big deal for me.
But, he makes me getting down an down.
Stupid, isn't it.
Tapi aku akan ikuti segala permainannya.
Istilahnya, dia jual, saya beli.
Oke.
Inilah saatnya saya menjelma jadi apa yang pernah saya impikan.
Yaitu menjadi angin.
Yang dapat terbang bebas ke mana saja saya mau.
Saya ingin orang-orang melihat saya bermetamorfosis.
Menjadi makhluk paling indah di dunia ini.
Yaitu kupu-kupu (:
-d-
Mataku, cerminanku.
Mata ini.
Kenapa mudah sekali meneteskan air bening yg disebut air mata?
Kenapa selalu memancarkan "misery", bukan memancarkan kembang api yg meletup-letup?
Kenapa kalian begitu rapuh, mataku?
Atau mungkinkah mata adalah cerminan hati dan perasaan?
Tapi terkadang kalian juga dapat memancarkan binar
Yang tak terkalahkan oleh cahaya mana pun.
Saat aku sedang bahagia, tenang, dan nyaman.
Dan itu semua aku dapati ketika aku sedang menyendiri.
Sendiri.terdiam.
Ya, hanya itu, hanya bisa diam.
Dan aku sadar, mataku.
Kalian memancarkan apa yang sedang aku rasa.
Kalian menunjukkan, memperjelas, apa yg aku ucapkan sesuai atau tidak.
Kalian dijadikan alat ukur seberapa seriusnya tiap kata yg aku ucapkan.
Kalian membuatku tahu, mana orang yg dapat dipercaya dan mana yg tidak.
Aku sangat bangga mempunyai kalian, tentu saja.
Tanpa kalian, aku tak akan dapat melihat betapa indahnya kebesaran Allah SWT.
Tanpa kalian, aku tak akan dapat melihat betapa indahnya sosok itu (:
Sosok yg aku analogikan seperti Titanium.
Kuat, namun entah bagaimana terlihat elegan dr berbagai sisi (:
-d-
Kenapa mudah sekali meneteskan air bening yg disebut air mata?
Kenapa selalu memancarkan "misery", bukan memancarkan kembang api yg meletup-letup?
Kenapa kalian begitu rapuh, mataku?
Atau mungkinkah mata adalah cerminan hati dan perasaan?
Tapi terkadang kalian juga dapat memancarkan binar
Yang tak terkalahkan oleh cahaya mana pun.
Saat aku sedang bahagia, tenang, dan nyaman.
Dan itu semua aku dapati ketika aku sedang menyendiri.
Sendiri.terdiam.
Ya, hanya itu, hanya bisa diam.
Dan aku sadar, mataku.
Kalian memancarkan apa yang sedang aku rasa.
Kalian menunjukkan, memperjelas, apa yg aku ucapkan sesuai atau tidak.
Kalian dijadikan alat ukur seberapa seriusnya tiap kata yg aku ucapkan.
Kalian membuatku tahu, mana orang yg dapat dipercaya dan mana yg tidak.
Aku sangat bangga mempunyai kalian, tentu saja.
Tanpa kalian, aku tak akan dapat melihat betapa indahnya kebesaran Allah SWT.
Tanpa kalian, aku tak akan dapat melihat betapa indahnya sosok itu (:
Sosok yg aku analogikan seperti Titanium.
Kuat, namun entah bagaimana terlihat elegan dr berbagai sisi (:
-d-
Langganan:
Komentar (Atom)