Bismillahirrohmanirrohiim
Bismillahirrohmaanirrohiim
Maka, nikmat Tuhanmu yang manakah yang engkau dustakan?
Maka, nikmat Tuhanmu yang manakah yang engkau dustakan?
Jumat, 28 Februari 2014
An Afternoon in Bandung.
Orang yang sama seperti postingan sebelumnya.
Namanya Muhammad Firdaus, anaknya kakak Ibuku yang kedua dari tiga bersaudara.
Satu dari 18 sepupu yang aku miliki.
Iya, keluargaku merupakan sebuah keluarga besar dan Alhamdulillah selalu memegang teguh untuk berkomunikasi atau berhubungan dengan baik satu sama lain.
Jadi walaupun aku tidak memiliki kakak atau adik kandung, aku merasa tetap utuh untuk menjadi seorang kakak atau adik bagi sepupu-sepupuku.
Kenapa sekarang aku ingin membahas tentang Abangku yang satu ini?
Karena kebetulan beberapa bulan lalu ia mengunjungiku ke Bandung dan kami memiliki waktu berdua untuk menikmati siang dan hampir senja kota ini.
Sejak dulu, prestasi dia yang aku jadikan acuan dan motivasi untukku meraih mimpi.
Aku tahu dia sangat mengenalku, mengerti latar belakang dan sifatku.
Mengingat dia sama sekali tidak melewatkan pertumbuhan dan perkembanganku sedikit pun tanpa cela.
Aku jadi suka tersenyum sendiri mengingat beberapa kejadian unik antara kami.
Dulu sewaktu kecil, liburan sekolah, kami dan sepupu yang lain sekali waktu suka bermalam dari satu rumah ke rumah yang lain.
Aku yang terbilang masih sangat kecil, kelas 4 SD, keras kepala dan ingin tidur satu kamar dengan sepupu-sepupuku lainnya, termasuk dia.
Tetapi karena ulahku itu, dia justru tidak mendapatkan tempat untuk tidur.
Dan apa yang dia lakukan, kalian bisa menebak?
Dia menungguku tertidur dan membopongku dengan sangat lembut dan hati-hati ke kamar tanteku.
Aku tahu kejadian ini karena aku terbangun tetapi bertahan dengan pejaman mataku.
Sampai di kamar tante, dia menyelimutiku dan aku benar-benar tidak bisa tidur setelah dia tak terlihat lagi di balik pintu.
Itulah kejadian yang paling melekat di memoriku sampai saat ini.
Kemudian, saat aku kelas tiga SMA, waktunya tepat ketika hari raya Idul Adha.
Aku sedang berleha-leha di kamar, kemudian dia masuk ke kamarku, mengambil buku les dan buku cetak Fisika-ku, lalu digojlok habislah aku dengan pelajaran itu olehnya.
Aku hanya bisa geleng-geleng kepala setelahnya.
Bahkan pernah di hari Sabtu atau Minggu, jam enam pagi, aku dipanggil karena ada yang meneleponku.
Seseorang meneleponku ke rumah? Siapa? Ada apa? Pikirku sambil terhuyung mengangkat telepon.
Dan ternyata, yang menelepon adalah Abangku itu untuk membahas soal Fisika via telepon sampai tuntas yang baru semalam aku tanyakan.
Totalitasnya membuatku ternganga dan menjadikanku semakin respect padanya, terlepas dari perbedaan usia kami yang terpaut lima tahun.
Mulai masuk kuliah, dia sering mengajakku sharing tentang hal-hal yang tidak pernah ia bicarakan denganku sebelumnya.
Seperti pekerjaan, perkuliahan, keluarga kami, masa depan, bahkan kehidupan.
Ini yang membuatku merasa istimewa, seolah pandangannya terhadapku telah berubah.
Walau aku tidak tahu apa di matanya aku sudah dewasa, tetapi setidaknya dia memperlakukan aku sebagai seorang gadis, bukan sebagai anak kecil yang sering dia gendong dulu.
Sudah sepantasnya aku bersyukur karena dikaruniai seorang Ibu dan sebuah keluarga besar yang luar biasa hebatnya.
Seolah kasih sayang mereka terhadapku benar-benar begitu terasa ada dan nyata.
Inilah yang sekarang sedang aku pikirkan dan akan terus aku laksanakan.
Untuk menjadi sosok yang bisa bersyukur baik dalam keadaan suka maupun duka.
Anyway, makasih untuk kunjungannya ya, Bang Daus :)
-d-
Sebuah Kriteria :)
Sekali waktu Mama pernah lihat foto di bawah ini jadi wallpaper di ponselku.
Dan sesaat Mama berkata, “Terobsesi banget kamu sama dia,”
Aku hanya tertawa miris.
"Mama, kalau aku terobsesi sama dia, nanti mamanya dia ngamuk."
Mama ikut tertawa dan meninggalkan kamarku.
Dan sejenak aku berpikir, sambil menekuri layar ponsel, menatap fotoku bersamanya.
Silaturahmi kami begitu dekat, sangat dekat sehingga apa yang keluarga kami inginkan adalah memperluasnya.
Jelas sekali maksud mereka dengan memperluas silaturahmi ini dengan cara seperti apa.
Kami harus menikah dengan orang di luar silaturahmi ini.
Saat aku memasang foto kami di BBM pun, seseorang langsung mengirim pesan,
"Din, kalau lihat mukanya dia adem ya :D Laki-laki sholeh banget,"
Aku hanya tersenyum dan membalas,
"Iya gitu, Mba? Hehe. Aku pun jadiin dia kriteria minimal calon suami aku."
"Semoga ya Din,"
Ya memang begitulah pandangan orang-orang tentang dia, Alhamdulillah.
Jika ditanya kriteria dan dipaksa menjawabnya,
Aku pun akan mengakui aku ingin mempunyai pasangan hidup seperti dia.
Penuh semangat, selalu menomorsatukan orang tua, dan tentu cinta Alloh SWT dan Rasululloh SAW :)
Tapi, ikatan silaturahmi di antara kami sangat tidak memungkinkan walau “bukan muhrim” terpampang jelas di anatara kami.
Lagipula, dia sudah mempunyai calon yang sangat rupawan.
Dan bisa dipastikan aku dengan calon kakak ku itu bisa berkomunikasi dengan sangat baik, hehe.
Aku iri dengan semangat hidupnya untuk meraih akhirat juga dunianya,
Dan agar tidak menimbulkan spekulasi lagi,
Aku mencintai dia dengan amat sangat.
Tetapi rasa cinta ini bukan rasa seorang wanita kepada pria.
Rasa cinta ini murni seperti rasa cinta seorang adik pada kakaknya.
Rasa cinta ini murni sebagai bentuk penghormatanku padanya.
Lagipula, cinta yang ada di hatiku sudah pasti,
Dengan pria sama sejak delapan tahun lalu itu.
Yang jelas, untuk pria yang sejak delapan tahun bersemayam dalam relung hati terdalamku,
Aku hanya bisa menyebut namanya dalam setiap doa-doaku,
Hanya bisa menyampaikan rasa cintaku pada Sang Pencinta,
Hanya bisa menyampaikan rinduku lewat rintik hujan atau hembusan angin,
Dan hanya bisa bersikap seolah tidak merasakan apa-apa jika di hadapannya.
Sampai kapan?
Biar Alloh SWT yang menjawabnya :)
-d-
Dan sesaat Mama berkata, “Terobsesi banget kamu sama dia,”
Aku hanya tertawa miris.
"Mama, kalau aku terobsesi sama dia, nanti mamanya dia ngamuk."
Mama ikut tertawa dan meninggalkan kamarku.
Dan sejenak aku berpikir, sambil menekuri layar ponsel, menatap fotoku bersamanya.
Silaturahmi kami begitu dekat, sangat dekat sehingga apa yang keluarga kami inginkan adalah memperluasnya.
Jelas sekali maksud mereka dengan memperluas silaturahmi ini dengan cara seperti apa.
Kami harus menikah dengan orang di luar silaturahmi ini.
Saat aku memasang foto kami di BBM pun, seseorang langsung mengirim pesan,
"Din, kalau lihat mukanya dia adem ya :D Laki-laki sholeh banget,"
Aku hanya tersenyum dan membalas,
"Iya gitu, Mba? Hehe. Aku pun jadiin dia kriteria minimal calon suami aku."
"Semoga ya Din,"
Ya memang begitulah pandangan orang-orang tentang dia, Alhamdulillah.
Jika ditanya kriteria dan dipaksa menjawabnya,
Aku pun akan mengakui aku ingin mempunyai pasangan hidup seperti dia.
Penuh semangat, selalu menomorsatukan orang tua, dan tentu cinta Alloh SWT dan Rasululloh SAW :)
Tapi, ikatan silaturahmi di antara kami sangat tidak memungkinkan walau “bukan muhrim” terpampang jelas di anatara kami.
Lagipula, dia sudah mempunyai calon yang sangat rupawan.
Dan bisa dipastikan aku dengan calon kakak ku itu bisa berkomunikasi dengan sangat baik, hehe.
Aku iri dengan semangat hidupnya untuk meraih akhirat juga dunianya,
Dan agar tidak menimbulkan spekulasi lagi,
Aku mencintai dia dengan amat sangat.
Tetapi rasa cinta ini bukan rasa seorang wanita kepada pria.
Rasa cinta ini murni seperti rasa cinta seorang adik pada kakaknya.
Rasa cinta ini murni sebagai bentuk penghormatanku padanya.
Lagipula, cinta yang ada di hatiku sudah pasti,
Dengan pria sama sejak delapan tahun lalu itu.
Yang jelas, untuk pria yang sejak delapan tahun bersemayam dalam relung hati terdalamku,
Aku hanya bisa menyebut namanya dalam setiap doa-doaku,
Hanya bisa menyampaikan rasa cintaku pada Sang Pencinta,
Hanya bisa menyampaikan rinduku lewat rintik hujan atau hembusan angin,
Dan hanya bisa bersikap seolah tidak merasakan apa-apa jika di hadapannya.
Sampai kapan?
Biar Alloh SWT yang menjawabnya :)
-d-
Tragedi 'Stiletto'
Selasa, 17 September 2013.
Hari ini adalah hari terkonyol.
Mengingat sudah beberapa hari kemarin pakai stiletto,
Maka hari ini meyakinkan diri dan meneguhkan tekad untuk memakainya lagi.
Terlepas dari pikiran tiada hari tanpa jatuh atau keseleo.
Aku membuang jauh-jauh pikiran itu.
Akhirnya, sambil menarik napas dalam-dalam, melangkahlah aku pergi ke kampus.
Satu menit, dua menit, tiga menit, aman terkendali.
Menit keempat, keseimbangan tubuh mulai goyah.
Oke, aku keseleo satu kali, langung disergap rasa malu.
Keseleo dua kali, semakin malu karena hak-nya mulai goyah.
Keseleo tiga kali, BLASSSHHH!!!
Hak-nya beneran copot, Pemirsah!
Mencoba untuk stay cool dan menenangkan diri.
Orang pertama yang terpikirkan, Rizky Fitriani.
Tetapi diduga dia sepertinya sudah sampai di kampus.
Maka langsung merubah haluan dan tujuan.
First, telepon Sindy. Oke, no answer.
Sindyyy, where are you exactly?
Second, telepon Yum. Oh my, no answer.
Oke, pada akhirnya memutuskan untuk mencoba menelepon Rizky.
Langsung lemas saking bahagianya karena saat bunyi nada sambung pertama, terdengar suara
“Halo? Iya, Din?”
Maka terjadilah sebuah dialog singkat saat itu.
“Mpit, sudah di mana?”
“Ini sudah di Gymnas. Ada apa?”
“Mpit, sepatu aku patah. Tapi aku sudah di depan Isola. Mau lanjut kuliah, malu banget. Mau balik ke kosan, kejauhan.”
“Yah, gimana dong? Mpit nggak bawa kunci kosan lagi. Mau pakai sepatu Mpit? Tapi ada hak-nya juga.”
“Itu kan sepatu baru. Aku nggak enak sama kamunya. Sindy sudah berangkat belum, ya? Aku telepon dia sama Yum, nggak ada yang jawab.”
“Mpit nggak tahu, Din. Nggak lihat soalnya.”
“Ya sudah, aku coba telepon Sindy lagi ya. Makasih, Mpit.”
Harapan terakhir, Sindy please angkat …
“Pulsa Anda tidak cukup untuk melakukan panggilan ini …”
Aku kembali menenangkan diri.
Oh, mungkin karena aku dan Sindy beda kartu handphone.
Kalau ke sesama, mungkin akan cukup pulsanya.
Langsunglah menekan tombol hijau pada nama Dini Nurfadilah Ehom.
“Pulsa Anda tidak cukup untuk melakukan panggilan ini …”
Aku menghela napas, pasrah sepasrah-pasrahnya.
BBM-nya Sindy tidak aktif pula.
Tetapi tak lama kemudian, handphone-ku bergetar.
Tertera nama Rizky Fitriani pada layar.
“Halo, Mpit?” jawabku langsung.
“Din, aku balik belakang nih. Pakai sandal aku saja mau nggak? Ada di asrama.”
“Kamu pakai yang ber-hak itu?”
“Nggak, aku tetap pakai sepatu. Ini sandal yang biasa aku pakai. Nggak apa-apa?”
“Nggak apa-apa, Mpit, sandal aja. Makasih, ya, Mpit.”
Aku menghela napas lagi, kali ini karena lega.
Memang, hari ini Mpit berubah jadi superhero aku.
Terima kasih, Ya Alloh …
Untuk semua teman-temanku, terima kasih ya …
Atas kehadiran kalian yang sudah mewarnai hari-hariku :D
-d-
Hari ini adalah hari terkonyol.
Mengingat sudah beberapa hari kemarin pakai stiletto,
Maka hari ini meyakinkan diri dan meneguhkan tekad untuk memakainya lagi.
Terlepas dari pikiran tiada hari tanpa jatuh atau keseleo.
Aku membuang jauh-jauh pikiran itu.
Akhirnya, sambil menarik napas dalam-dalam, melangkahlah aku pergi ke kampus.
Satu menit, dua menit, tiga menit, aman terkendali.
Menit keempat, keseimbangan tubuh mulai goyah.
Oke, aku keseleo satu kali, langung disergap rasa malu.
Keseleo dua kali, semakin malu karena hak-nya mulai goyah.
Keseleo tiga kali, BLASSSHHH!!!
Hak-nya beneran copot, Pemirsah!
Mencoba untuk stay cool dan menenangkan diri.
Orang pertama yang terpikirkan, Rizky Fitriani.
Tetapi diduga dia sepertinya sudah sampai di kampus.
Maka langsung merubah haluan dan tujuan.
First, telepon Sindy. Oke, no answer.
Sindyyy, where are you exactly?
Second, telepon Yum. Oh my, no answer.
Oke, pada akhirnya memutuskan untuk mencoba menelepon Rizky.
Langsung lemas saking bahagianya karena saat bunyi nada sambung pertama, terdengar suara
“Halo? Iya, Din?”
Maka terjadilah sebuah dialog singkat saat itu.
“Mpit, sudah di mana?”
“Ini sudah di Gymnas. Ada apa?”
“Mpit, sepatu aku patah. Tapi aku sudah di depan Isola. Mau lanjut kuliah, malu banget. Mau balik ke kosan, kejauhan.”
“Yah, gimana dong? Mpit nggak bawa kunci kosan lagi. Mau pakai sepatu Mpit? Tapi ada hak-nya juga.”
“Itu kan sepatu baru. Aku nggak enak sama kamunya. Sindy sudah berangkat belum, ya? Aku telepon dia sama Yum, nggak ada yang jawab.”
“Mpit nggak tahu, Din. Nggak lihat soalnya.”
“Ya sudah, aku coba telepon Sindy lagi ya. Makasih, Mpit.”
Harapan terakhir, Sindy please angkat …
“Pulsa Anda tidak cukup untuk melakukan panggilan ini …”
Aku kembali menenangkan diri.
Oh, mungkin karena aku dan Sindy beda kartu handphone.
Kalau ke sesama, mungkin akan cukup pulsanya.
Langsunglah menekan tombol hijau pada nama Dini Nurfadilah Ehom.
“Pulsa Anda tidak cukup untuk melakukan panggilan ini …”
Aku menghela napas, pasrah sepasrah-pasrahnya.
BBM-nya Sindy tidak aktif pula.
Tetapi tak lama kemudian, handphone-ku bergetar.
Tertera nama Rizky Fitriani pada layar.
“Halo, Mpit?” jawabku langsung.
“Din, aku balik belakang nih. Pakai sandal aku saja mau nggak? Ada di asrama.”
“Kamu pakai yang ber-hak itu?”
“Nggak, aku tetap pakai sepatu. Ini sandal yang biasa aku pakai. Nggak apa-apa?”
“Nggak apa-apa, Mpit, sandal aja. Makasih, ya, Mpit.”
Aku menghela napas lagi, kali ini karena lega.
Memang, hari ini Mpit berubah jadi superhero aku.
Terima kasih, Ya Alloh …
Untuk semua teman-temanku, terima kasih ya …
Atas kehadiran kalian yang sudah mewarnai hari-hariku :D
-d-
Awkward Moment :p
Mungkin beberapa orang sudah bosan dengan, entah ini bisa dibilang ciri khas atau kelemahan aku, ‘hobi’ yang satu ini.
Yup, terjatuh. Baik itu dalam bentuk keseleo, terpeleset, atau jatuh yang benar-benar jatuh.
Aku selalu bertanya-tanya, apa ada yang salah dari sistem koordinasiku.
Sungguh, aku sama sekali tidak ingin seperti ini, karena jadi terlihat konyol dan sangat tidak keren :D
Satu-satunya hal yang aku suka dari ‘hobi’ satu ini yaitu, karakter terfavorit bagiku, Isabella Swan di Twilight Saga, diceritakan juga memiliki ‘hobi’ yang sama sepertiku :D
Sekali waktu, pernah puncak kekhawatiranku melanda.
Saat aku terjatuh di kampus dari tingkat tangga ke-tiga hingga mendarat di dasar dengan posisi berlutut.
Aku tidak memikirkan sakitnya.
Karena sama sekali tidak sebanding dengan malu yang aku rasa.
Bagaimana tidak?
Hal tersebut terjadi bertepatan dengan jam pulang kuliah, hoahhh.
Sampai di kosan aku baru mulai merasakan nyeri di pergelangan kakiku.
Dan aku menemukan kakiku bergetar.
Untungnya keesokan hari kakiku tidak bengkak seperti waktu itu.
Jadi aku merasa, kekhawatiranku tidak beralasan :)
Biar ‘hobi’ ini menjadi ciri khas dari diriku.
Karena aku hanya ingin menjadi seperti aku.
Kecil, mungil, bewarna.
Warna-warni terangi alam jika tergambar baik :)
Aaah, kejadian kemarin bikin aku merindukan sahabat-sahabat SMAku, 21-ku, Paskibraku :)
-d-
Yup, terjatuh. Baik itu dalam bentuk keseleo, terpeleset, atau jatuh yang benar-benar jatuh.
Aku selalu bertanya-tanya, apa ada yang salah dari sistem koordinasiku.
Sungguh, aku sama sekali tidak ingin seperti ini, karena jadi terlihat konyol dan sangat tidak keren :D
Satu-satunya hal yang aku suka dari ‘hobi’ satu ini yaitu, karakter terfavorit bagiku, Isabella Swan di Twilight Saga, diceritakan juga memiliki ‘hobi’ yang sama sepertiku :D
Sekali waktu, pernah puncak kekhawatiranku melanda.
Saat aku terjatuh di kampus dari tingkat tangga ke-tiga hingga mendarat di dasar dengan posisi berlutut.
Aku tidak memikirkan sakitnya.
Karena sama sekali tidak sebanding dengan malu yang aku rasa.
Bagaimana tidak?
Hal tersebut terjadi bertepatan dengan jam pulang kuliah, hoahhh.
Sampai di kosan aku baru mulai merasakan nyeri di pergelangan kakiku.
Dan aku menemukan kakiku bergetar.
Untungnya keesokan hari kakiku tidak bengkak seperti waktu itu.
Jadi aku merasa, kekhawatiranku tidak beralasan :)
Biar ‘hobi’ ini menjadi ciri khas dari diriku.
Karena aku hanya ingin menjadi seperti aku.
Kecil, mungil, bewarna.
Warna-warni terangi alam jika tergambar baik :)
Aaah, kejadian kemarin bikin aku merindukan sahabat-sahabat SMAku, 21-ku, Paskibraku :)
-d-
Ranah Melayu ^^
Apa yang pertama kali terpikirkan jika kalian mendengar kata ‘Melayu’?
Identik dengan Upin-Ipin dan Malaysia?
Kalau kita ingat, sebenarnya Indonesia penduduknya berasal dari berbagai ras, termasuk Melayu.
Dulu, aku mikirnya juga seperti itu.
Sampai akhirnya aku bertemu dengan orang-orang yang sangat kental logat dan budaya Melayu-nya.
Di perkuliahan, ada beberapa orang yang masuk UPI karena kerja sama dari pemerintah daerahnya.
Yaitu Natuna dan Tanjung Pinang, Kepulauan Riau.
Seperti Sindy, Yum, Dian, Faridh, John, Alfian, Rossi, Eza, Rino, dan lainnya.
Kepulauan Riau di sini juga berbeda dari Riau yang biasa kita dengar.
Kalau Riau ibukotanya Pekanbaru, sedangkan Kepulauan Riau ibukotanya Tanjung Pinang yang dipenuhi oleh lautan dan pulau-pulau, hanya sedikit daratan di sana.
Nah, aku mengenal Melayu dan budayanya dari mereka.
Aku merasa benar-benar exited.
Karena mendengar mereka saling bercengkrama dengan bahasa Melayu membuat aku merasa sangat nyaman.
Perlahan, aku mulai mempelajari budaya mereka.
Dari bahasa dan logatnya terutama, walau terkadang logatku suka terdengar maksa, haha.
Pernah sekali waktu aku saling bertukar pesan dan gaya-gayaan pakai bahasa Melayu.
Pada akhirnya?
Aku benar-benar dijadikan bahan tertawaan oleh mereka karena bahasaku yang rancu.
Suka senyum-senyum sendiri kalau teringat kisah itu.
Makanya walau tinggal di Bandung, aku jauh lebih familiar dengan bahasa Melayu dibanding bahasa Sunda.
Sedikit demi sedikit aku mulai mengerti jika mereka saling bercengkrama dengan bahasa Melayu.
Mereka juga tidak ragu untuk berbicara Melayu denganku.
Mendengarkan mereka bicara benar-benar terasa sehat di telinga.
Karena banyak waktu yang sering kuhabiskan bersama mereka,
Aku, Mpit, dan Dini pun jadi suka ikut-ikutan pakai logat dan bahasa mereka.
Aku memutuskan membuat novel tentang mereka, tetang kami.
Dengan segala informasi yang aku punya, aku memberanikan diri.
Sayangnya saat dikirim ke penerbit, tidak lolos :(
Kecewaku terbayar karena mereka semua penasaran dan membaca karyaku yang seadanya itu.
Intinya, aku senang berada di tengah-tengah perbedaan budaya itu.
Sunda dan Melayu yang menyatu padu, menurutku itu dua hal yang sangat indah.
Tak jarang aku terinspirasi dari mereka :)
-d-
Identik dengan Upin-Ipin dan Malaysia?
Kalau kita ingat, sebenarnya Indonesia penduduknya berasal dari berbagai ras, termasuk Melayu.
Dulu, aku mikirnya juga seperti itu.
Sampai akhirnya aku bertemu dengan orang-orang yang sangat kental logat dan budaya Melayu-nya.
Di perkuliahan, ada beberapa orang yang masuk UPI karena kerja sama dari pemerintah daerahnya.
Yaitu Natuna dan Tanjung Pinang, Kepulauan Riau.
Seperti Sindy, Yum, Dian, Faridh, John, Alfian, Rossi, Eza, Rino, dan lainnya.
Kepulauan Riau di sini juga berbeda dari Riau yang biasa kita dengar.
Kalau Riau ibukotanya Pekanbaru, sedangkan Kepulauan Riau ibukotanya Tanjung Pinang yang dipenuhi oleh lautan dan pulau-pulau, hanya sedikit daratan di sana.
Nah, aku mengenal Melayu dan budayanya dari mereka.
Aku merasa benar-benar exited.
Karena mendengar mereka saling bercengkrama dengan bahasa Melayu membuat aku merasa sangat nyaman.
Perlahan, aku mulai mempelajari budaya mereka.
Dari bahasa dan logatnya terutama, walau terkadang logatku suka terdengar maksa, haha.
Pernah sekali waktu aku saling bertukar pesan dan gaya-gayaan pakai bahasa Melayu.
Pada akhirnya?
Aku benar-benar dijadikan bahan tertawaan oleh mereka karena bahasaku yang rancu.
Suka senyum-senyum sendiri kalau teringat kisah itu.
Makanya walau tinggal di Bandung, aku jauh lebih familiar dengan bahasa Melayu dibanding bahasa Sunda.
Sedikit demi sedikit aku mulai mengerti jika mereka saling bercengkrama dengan bahasa Melayu.
Mereka juga tidak ragu untuk berbicara Melayu denganku.
Mendengarkan mereka bicara benar-benar terasa sehat di telinga.
Karena banyak waktu yang sering kuhabiskan bersama mereka,
Aku, Mpit, dan Dini pun jadi suka ikut-ikutan pakai logat dan bahasa mereka.
Aku memutuskan membuat novel tentang mereka, tetang kami.
Dengan segala informasi yang aku punya, aku memberanikan diri.
Sayangnya saat dikirim ke penerbit, tidak lolos :(
Kecewaku terbayar karena mereka semua penasaran dan membaca karyaku yang seadanya itu.
Intinya, aku senang berada di tengah-tengah perbedaan budaya itu.
Sunda dan Melayu yang menyatu padu, menurutku itu dua hal yang sangat indah.
Tak jarang aku terinspirasi dari mereka :)
-d-
It's Just Another Story About . . . Inspiration ^^
Seperti yang sudah aku ceritakan sebelumnya, aku mengenal dunia tulis menulis saat aku duduk di bangku SMP.
Aku sering menulis puisi dan naskah untuk pentas drama.
Aku mulai mengumpulkan puisi dari para pecinta sastra.
Hingga saat memasuki SMA, aku mulai terketuk untuk menulis berbagai cerita.
Mulai dari cerpen sampai novel.
Dan alasan mengapa aku memutuskan untuk seberani itu menuangkan segala untaian cerita ibarat benang kusut dalam pikiranku yang liar ini?
Aku akan memulai dari ekstrakurikuler yang aku ikuti di SMA, yaitu Paskibra.
Setelah proyek pertama kami, yaitu Upacara Hari Kemerdekaan 17 Agustus, seniorku memberikan tugas untuk angkatanku sebagai calon anggota.
Yaitu membuat buku yang disampul bewarna merah- putih dan membuat surat cinta.
Kami yang perempuan diharuskan mengirim surat ke senior laki-laki dan yang laki-laki diharuskan mengirim surat ke senior perempuan.
Nah, aku tertarik dengan tugas ini karena pada dasarnya aku suka bermain dengan diksi.
Aku mendedikasikan surat cintaku untuk Kak Prinzy yang ternyata menjadi satu-satunya surat untuknya, karena teman-temanku yang lainnya janjian untuk mengirim ke Kak Rheza, Kak Rizha, atau Kak Panca.
Aku sendiri random memilih Kak Prinzy sebagai penerima surat karena aku suka dengan namanya yang unik.
Saat pelantikan, aku pun dipilih menjadi satu-satunya junior yang membacakan surat itu di hadapannya.
Tanganku gemetar, tentu saja.
Surat yang aku buat dan aku jadikan sebagai sarana untuk menyalurkan hobi pun mulai dianggap serius isinya.
Setelah pelantikan, hubungan angkatanku dengan angkatan Kak Prinzy pun mulai dingin, layaknya junior-senior yang belakangan aku tahu adanya pembagian karakter sesuai dengan tugas kepengurusan di Paskibra.
Aku merasa masih banyak yang mengganjal, maka aku mulai menulis kata per kata untuk melunaskan segala rasa penasaranku pada Kak Prinzy dan angkatannya.
Sampai akhirnya, jadilah novel pertamaku berjudul A Guardian Angel.
Cerita tentang Paskibra, Angkatan 21-ku, senior Angkatan 20-ku.
Kak Prinzy memang inspirasi pertamaku untuk mulai berani menulis cerita.
Tetapi hari-hariku bersama angkatan 21-ku adalah sumber inspirasi terbesar dan memberikan cahaya hangat layaknya matahari dalam warna kehidupanku.
Ini hanyalah sebuah cerita tentang inspirasi.
Yang sampai saat ini masih membuatku menggantungkan mimpi itu.
Yang sampai kini dan selamanya akan membuatku semakin jatuh cinta dengan sastra.
-d-
Aku sering menulis puisi dan naskah untuk pentas drama.
Aku mulai mengumpulkan puisi dari para pecinta sastra.
Hingga saat memasuki SMA, aku mulai terketuk untuk menulis berbagai cerita.
Mulai dari cerpen sampai novel.
Dan alasan mengapa aku memutuskan untuk seberani itu menuangkan segala untaian cerita ibarat benang kusut dalam pikiranku yang liar ini?
Aku akan memulai dari ekstrakurikuler yang aku ikuti di SMA, yaitu Paskibra.
Setelah proyek pertama kami, yaitu Upacara Hari Kemerdekaan 17 Agustus, seniorku memberikan tugas untuk angkatanku sebagai calon anggota.
Yaitu membuat buku yang disampul bewarna merah- putih dan membuat surat cinta.
Kami yang perempuan diharuskan mengirim surat ke senior laki-laki dan yang laki-laki diharuskan mengirim surat ke senior perempuan.
Nah, aku tertarik dengan tugas ini karena pada dasarnya aku suka bermain dengan diksi.
Aku mendedikasikan surat cintaku untuk Kak Prinzy yang ternyata menjadi satu-satunya surat untuknya, karena teman-temanku yang lainnya janjian untuk mengirim ke Kak Rheza, Kak Rizha, atau Kak Panca.
Aku sendiri random memilih Kak Prinzy sebagai penerima surat karena aku suka dengan namanya yang unik.
Saat pelantikan, aku pun dipilih menjadi satu-satunya junior yang membacakan surat itu di hadapannya.
Tanganku gemetar, tentu saja.
Surat yang aku buat dan aku jadikan sebagai sarana untuk menyalurkan hobi pun mulai dianggap serius isinya.
Setelah pelantikan, hubungan angkatanku dengan angkatan Kak Prinzy pun mulai dingin, layaknya junior-senior yang belakangan aku tahu adanya pembagian karakter sesuai dengan tugas kepengurusan di Paskibra.
Aku merasa masih banyak yang mengganjal, maka aku mulai menulis kata per kata untuk melunaskan segala rasa penasaranku pada Kak Prinzy dan angkatannya.
Sampai akhirnya, jadilah novel pertamaku berjudul A Guardian Angel.
Cerita tentang Paskibra, Angkatan 21-ku, senior Angkatan 20-ku.
Kak Prinzy memang inspirasi pertamaku untuk mulai berani menulis cerita.
Tetapi hari-hariku bersama angkatan 21-ku adalah sumber inspirasi terbesar dan memberikan cahaya hangat layaknya matahari dalam warna kehidupanku.
Ini hanyalah sebuah cerita tentang inspirasi.
Yang sampai saat ini masih membuatku menggantungkan mimpi itu.
Yang sampai kini dan selamanya akan membuatku semakin jatuh cinta dengan sastra.
-d-
Cozy Breakfast Ever :')
Rutinitas ini dimulai pertama kali saat semester tiga.
Bersama Dini, Mpit, Sindy, Yum, Dian, Parlin, Faridh, Alfian, dan Rino.
Ceritanya panjang kenapa sampai akhirnya bisa terbentuk lingkaran ini.
Sekali waktu setelah kelas PKn, kami memutuskan untuk sarapan di kantin kampus sambil menunggu jam mata kuliah selanjutnya, yaitu Program Komputer , yang hanya berjarak 50 menit.
Saat sarapan, kami benar-benar hanya membicarakan obrolan ringan yang dapat mencairkan suasana dan membuat siapa pun yang terlibat dalam cengkrama itu menjadi sangat rileks.
Orang sepertiku, yang memang membutuhkan suasana seperti ini, jelas langsung merasa candu.
Tetapi rutinitas ini pun terus berulang setiap minggunya, bahkan terkadang di hari lain.
Mungkin mereka dan suasana makan pagi inilah yang akan paling aku rindukan dari Bandung.
Intinya, mereka mampu menyebar cahaya matahari dalam hari-hariku selama di Bandung.
-d-
Bersama Dini, Mpit, Sindy, Yum, Dian, Parlin, Faridh, Alfian, dan Rino.
Ceritanya panjang kenapa sampai akhirnya bisa terbentuk lingkaran ini.
Sekali waktu setelah kelas PKn, kami memutuskan untuk sarapan di kantin kampus sambil menunggu jam mata kuliah selanjutnya, yaitu Program Komputer , yang hanya berjarak 50 menit.
Saat sarapan, kami benar-benar hanya membicarakan obrolan ringan yang dapat mencairkan suasana dan membuat siapa pun yang terlibat dalam cengkrama itu menjadi sangat rileks.
Orang sepertiku, yang memang membutuhkan suasana seperti ini, jelas langsung merasa candu.
Tetapi rutinitas ini pun terus berulang setiap minggunya, bahkan terkadang di hari lain.
Mungkin mereka dan suasana makan pagi inilah yang akan paling aku rindukan dari Bandung.
Intinya, mereka mampu menyebar cahaya matahari dalam hari-hariku selama di Bandung.
-d-
Langganan:
Komentar (Atom)

