Postingan ini ditulis di tengah-tengah kegiatan KKN.
Kegiatan dan perkuliahan paling hectic karena lokasinya pun beragam, juga dengan orang-orang yang beragam dari berbagai jurusan.
Dapat dipastikan tidak ada yang melebihi satu orang dari perwakilan setiap jurusan dalam satu kelompok KKN.
Aku pun juga menjadi salah satu delegasi dari jurusanku, Pendidikan Matematika.
Di awal, masih terlihat banyak yang menutup diri tanpa mengungkapkan jati diri sebenarnya.
Tapi, kami akan tinggal bersama selama kurang lebih 40 hari, waktu yang menurutku tidak sebentar untuk ukuran perkuliahan dalam bentuk pengabdian.
Tempat KKN aku sendiri berlokasi di Desa Krimun, Kecamatan Losarang, Kabupaten Indramayu.
Awal dapat di Indramayu, sungguh aku merasa benar-benar terpuruk.
Aku merasa lebih baik mengundurkan diri dari perkuliahan ini.
Tetapi saat diingatkan oleh Ibu, dan saat bertemu dengan teman-teman kelompok, entah mengapa keresahan dan kekhawatiran tersebut hilang bagai debu tertiup angin.
Aku justru jadi menggebu-gebu untuk mengerahkan segala kemampuan terbaikku dalam KKN ini.
Aku ingin menorehkan sejarah bahwa sosok aku, yang selalu mendeklarasikan diri pada siapa pun dan di mana pun kalau aku ini gadis yang cepat pulih dengan kepribadian di atas rata-rata, mampu bertahan dalam situasi dan kondisi apa pun.
Aku ingin melahirkan sosok aku yang baru tanpa harus dibayang-bayangi aku yang sesungguhnya.
Oke, aku rasa sudah cukup cerita tentang diriku sendiri menghadapi KKN di Indramayu ini.
Mari kita berlanjut ke tahap pelaksanaan.
Dalam suatu kelompok, tentu perlu adanya seorang pemimpin.
Sudah menjadi hal yang seharusnya agar kelompok KKN aku tidak bertransformasi menjadi kelompok yang barbar dan liar.
Maka, terpilihlah struktur organisasi dengan nama-nama berikut.
Ketua : Ilham Muzakki, jurusan Pendidikan Kimia.
Sekretaris : Vini Fatmawati, jurusan Pendidikan Luar Sekolah.
Bendahara : Gadis Adhistria, jurusan Pendidikan Seni Tari.
Dengan pertimbangan ingin menghasilkan kepengurusan yang efektif dan efisien, maka Ilham, meminta agar sekretaris dan bendahara masing-masing menjadi dua orang.
Dan saat itulah, Ilham memilih aku untuk menjadi sekretaris kedua dan Himmah Rahmawati dari jurusan Pendidikan Sastra dan Bahasa Indonesia sebagai bendahara.
Saat bertemu dengan dosen pembimbing lapangan, tiba-tiba Vini bilang kami harus mencari sekretaris yang lain lagi karena ia dipindahkan ke daerah Sumedang dengan beberapa alasan.
Maka dari itu, secara otomatis aku menjadi sekretaris dan dicarilah sekretaris baru yaitu Yulqi Azka Shiyami dari Pendidikan Teknik Agro Industri.
Oke, itu hanya beberapa hal mengenai struktur kepengurusan yang Alhamdulillah sudah fix.
Berlanjut ke packing barang-barang kelompok yang akan kami bawa ke Indramayu.
Setelah memutuskan kami akan mengumpulkan barang-barangnya di kosan aku dengan pertimbangan lebih dekat dari lokasi pemberangkatan, maka mereka semua datanglah ke kosan aku.
Ada Febi, Kiki, Yulqi, Himmah, dan tentu saja Pak Ketua, Ilham.
Selesai mengepak dan hanya tinggal aku berdua dengan ketuaku itu, dia tiba-tiba bertanya.
“Saya orangnya nyebelin ya?”
Aku sedikit tercenung mendengar pertanyaannya tetapi aku menggeleng mantap. “Enggak. Emang kenapa?”
“Kamu pikir saya nggak tau kalian menganggap saya orang yang menyebalkan. Iya, kan? Mereka menganggapnya gitu, kan?”
“Ah, enggak juga.”
“Kalau di mata kamu, bagaimana?”
“Biasa saja. Aku orangnya nggak mudah terpancing, Ham.”
“Oke, kita buktiin nanti. Saya bersikap nyebelin begini sengaja. Karena saya ingin nguji loyalitas mereka ke kelompok. Nanti selama di sana, lima hari pertama, juga akan saya diamkan. Saya biarkan mereka ingin melakukan apa. Kita lihat bagaimana sifat asli mereka. Kamu pun juga ada gilirannya. Jadi, kalau saya berubah jadi menyebalkan, bagaimana?”
Aku hanya mengangkat bahu. “Ya silahkan saja. Tidak akan berpengaruh apa-apa ke aku. Aku nggak akan mengeluhkan apa pun.”
Dia ketawa. “Yakin?”
Aku mengangguk pasti. “Iya. Dicoba saja. Paling aku cuma bisa nangis nanti.”
Nah, itu hanya sekelebat percakapan selama kemas-kemas.
Sedangkan saat hari kedua pelaksanaan KKN, dia benar-benar mulai berubah.
Dari yang awalnya cerewet dan ceria, langsung bersikap dingin dan tidak menegur kita semua kecuali memang ada hal yang perlu dibicarakan.
Nah, jelas hal tersebut memberikan efek samping padaku.
Aku merasa benar-benar depresi menghadapi sikapnya padaku, aku mencoba mencari pelarian ke mana-mana tetapi hasilnya nihil dan berujung dengan siksaan batin yang aku rasakan.
Semuanya aku tahan, aku pendam berhari-hari dan meluapkannya, seperti yang sudah aku bilang, hanya dengan menangis.
Entah sudah berapa kali aku menyendiri dan menangis kejer sambil menggigit baju untuk membungkam suaraku keluar.
Puncaknya adalah saat main kartu UNO, dan sungguh hal ini merupakan hal paling kekanak-kanakan yang pernah aku lakukan sepanjang hidup.
Ceritanya begini, petanding bersisa dua, aku dan Yulqi.
Ilham yang sudah menang pun memutuskan membantu Yulqi dan ia menyarankan untuk mengeluarkan kartu cermin, yang artinya pemain harus bertukar kartu yang dimiliki dengan lawan.
Sedangkan kartu ditanganku merupakan kartu yang sangat menguntungkan dan tinggal selangkah lagi menuju UNO Games.
Karena kesal itulah, aku langsung mengacak-acak kartu UNO yang ada dan nangis di tempat.
Bukan karena permainan UNOnya, tetapi mungkin karena sudah terlalu banyak hal yang aku pendam.
Seperti, salah satunya, merasa seperti tidak dianggap oleh Ilham sendiri.
Aku seperti butiran debu yang dapat terhempas angin kapan pun dia ingin meniup aku.
Aku jadi merasa benar-benar tersiksa dan ingin teriak sekencangnya.
Tak jarang aku melakukan hal-hal yang menunjukkan kalau aku itu ADA, tetapi olehnya dihempas lagi dan lagi sampai pada akhirnya, aku lelah.
Sungguh, aku merasa depresi, frustasi, lelah lahir dan batin, dan sebagainya sampai-sampai aku merasa terpuruk.
Jadi aku berusaha untuk membiarkan dia semaunya pada diriku.
Tapi aku berpikir, hal tersebut justru hanya akan merugikan diriku sendiri yang selalu merasa canggung dan tidak nyaman berada di sekitarnya sedangkan hari yang tersisa masih banyak untuk KKN ini.
Jadi, aku kembali gencar melakukan aksi apa pun kalau aku itu ADA dan dianggap olehnya.
Jika dia tidak bereaksi dan tidak ada perubahan?
Malam hari saat semuanya sudah sibuk dengan kegiatan masing-masing, aku menyendiri di teras dan menangis.
Yah, apalagi yang bisa aku lakukan selain menangis?
Bicara padanya untuk menganggap kehadiranku sebagai sekretarisnya?
Menurutku itu sama sekali bukan suatu solusi penyelesaian masalah karena justru kami akan menjadi semakin canggung dan asing satu sama lain.
Jadi? Bagaimana?
Aku harap keadaan ini akan semakin membaik seiring dengan hari-hari yang sudah terlewati.
Aku harap aku bisa melewatkan, satu hari saja, tanpa air mata.
Karena aku sudah bertekad untuk menghidupkan hidupku di KKN ini.
Terlalu rugi rasanya hanya berfokus pada satu orang sedangkan masih ada 8 orang lainnya yang peduli padaku.
Seperti Kiki, Febi, Gadis, Yulqi, Himmah, Reza, Lutfi, dan Deni yang selalu menjadi sandaran hati setiap harinya selama 40 hari ini.
Keep proactive, Dina!
-d-
Bismillahirrohmanirrohiim
Bismillahirrohmaanirrohiim
Maka, nikmat Tuhanmu yang manakah yang engkau dustakan?
Maka, nikmat Tuhanmu yang manakah yang engkau dustakan?
Rabu, 02 Juli 2014
Minggu, 22 Juni 2014
Mimpi :)
“Apa yang orang bilang realistis, belum tentu sama dengan apa yang kita pikirin. Ujung-ujungnya kita tahu, mana diri kita sebenarnya, mana yang bukan diri kita. Kita juga tahu, apa yang pengin kita jalanin.”
Kata-kata yang paling membuat aku bereaksi dan benar-benar tercenung saat mendengarnya.
Ya, kata-kata Keenan pada Kugy di Perahu Kertas, sosok yang awalnya mencoba untuk bersikap realistis karena tidak percaya bahkan sama mimpinya sendiri, sampai akhirnya memperjuangkan mimpi itu mati-matian karena perkataan Keenan tadi.
Sedangkan aku? Apa sebenarnya impian terbesarku?
Kalau aku boleh jujur, aku ingin menjadi seorang penulis ternama dengan buku-buku aku berada di deretan best seller :)
Aku juga ingin menjadi seorang pendidik, ranah untukku dapat saling berbagi ilmu di bidang apa pun.
Sekali waktu aku pernah juga ingin menjadi seorang penyiar radio.
Dengan alasan yang sangat simpel, bahwa aku sangat ingin mendengar cerita dari banyak pendengar misterius, dan aku akan menjadikan cerita-cerita itu sebagai inspirasiku dalam menulis.
Ya intinya, sejauh apa pun aku berkelana, hal tersebut justru akan membawa aku kembali ke titik permulaan, yaitu menulis.
Tentu mood-ku dalam menulis sangat random, naik dan turun.
Karena jujur aku harus benar-benar menyamankan diriku sendiri untuk menjemput datangnya inspirasi.
Sekali waktu terkadang inspirasi tersebut yang dengan baik hati menghampiriku, memenuhi otak dan pikiranku hingga ingin meledak, dan saat itulah giliranku yang jadi kelabakan karena aku juga masih sulit untuk menguraikannya dalam bentuk permainan diksi.
Inspirasi tanpa diksi, apa jadinya? Bagai sayur tanpa garam.
Diksi tanpa inspirasi, apa gunanya? Bagai seonggok jiwa tak bernyawa.
Lantas, apa aku pernah berada dalam kondisi terpuruk-terpuruknya dalam menulis?
Jelas pernah, saat pertama kali aku mengirim naskah novelku dan langsung ditolak dengan banyak revisi.
Aku benar-benar shock, down, dan bahkan phobia dengan Ms. Words.
Efeknya benar-benar mengerikan, bukan?
Tapi aku kembali bangkit, karena seseorang, layaknya sosok Keenan dalam dunia dan mimpi Kugy.
Dia memang tidak menghiburku dengan kata-kata yang menenangkan, bisa dibilang dia tidak pandai untuk itu.
Tetapi dia membangkitkanku dengan terus menerus menanyakan perkembangan novelku, seolah ia akan membacanya setiap hari bagai asupan gizi untuk dirinya.
Ya, satu-satunya orang yang ada bahkan di saat terpurukku itu.
Membuatku berjanji pada diriku sendiri, aku tidak akan pernah berhenti untuk menulis.
Sejak itulah, sejak vakum cukup lama dari dunia tulis menulis, aku memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam, dan jari-jariku mulai menari bebas di atas keyboard itu.
Aku juga mulai mencari info mengenai ajang lomba menulis, aku berpartisipasi mewakili kelasku dalam kompetisi bertema sastra, aku memberanikan dan menawarkan diriku menulis naskah drama tugas akhir Bahasa Indonesia, aku mulai blogwalking dan saling sharing dengan banyak orang, juga banyak hal lainnya.
Aku begitu menggebu-gebu dan begitu hidup hanya karena orang tersebut.
Orang tersebut membuatku percaya, segalanya mungkin, segalanya ada, segalanya terasa benar, jika terkait tentang dia.
Dia membuatku percaya, sama seperti Kugy yang percaya pada Keenan, bahwa bumi hanyalah sebutir debu di bawah telapak kaki kita.
Sampai kapan pun, aku berhutang budi padanya.
Ya, it’s him.
Tubagus Fadillah Setyabudi Leksana :')
-d-
Kata-kata yang paling membuat aku bereaksi dan benar-benar tercenung saat mendengarnya.
Ya, kata-kata Keenan pada Kugy di Perahu Kertas, sosok yang awalnya mencoba untuk bersikap realistis karena tidak percaya bahkan sama mimpinya sendiri, sampai akhirnya memperjuangkan mimpi itu mati-matian karena perkataan Keenan tadi.
Sedangkan aku? Apa sebenarnya impian terbesarku?
Kalau aku boleh jujur, aku ingin menjadi seorang penulis ternama dengan buku-buku aku berada di deretan best seller :)
Aku juga ingin menjadi seorang pendidik, ranah untukku dapat saling berbagi ilmu di bidang apa pun.
Sekali waktu aku pernah juga ingin menjadi seorang penyiar radio.
Dengan alasan yang sangat simpel, bahwa aku sangat ingin mendengar cerita dari banyak pendengar misterius, dan aku akan menjadikan cerita-cerita itu sebagai inspirasiku dalam menulis.
Ya intinya, sejauh apa pun aku berkelana, hal tersebut justru akan membawa aku kembali ke titik permulaan, yaitu menulis.
Tentu mood-ku dalam menulis sangat random, naik dan turun.
Karena jujur aku harus benar-benar menyamankan diriku sendiri untuk menjemput datangnya inspirasi.
Sekali waktu terkadang inspirasi tersebut yang dengan baik hati menghampiriku, memenuhi otak dan pikiranku hingga ingin meledak, dan saat itulah giliranku yang jadi kelabakan karena aku juga masih sulit untuk menguraikannya dalam bentuk permainan diksi.
Inspirasi tanpa diksi, apa jadinya? Bagai sayur tanpa garam.
Diksi tanpa inspirasi, apa gunanya? Bagai seonggok jiwa tak bernyawa.
Lantas, apa aku pernah berada dalam kondisi terpuruk-terpuruknya dalam menulis?
Jelas pernah, saat pertama kali aku mengirim naskah novelku dan langsung ditolak dengan banyak revisi.
Aku benar-benar shock, down, dan bahkan phobia dengan Ms. Words.
Efeknya benar-benar mengerikan, bukan?
Tapi aku kembali bangkit, karena seseorang, layaknya sosok Keenan dalam dunia dan mimpi Kugy.
Dia memang tidak menghiburku dengan kata-kata yang menenangkan, bisa dibilang dia tidak pandai untuk itu.
Tetapi dia membangkitkanku dengan terus menerus menanyakan perkembangan novelku, seolah ia akan membacanya setiap hari bagai asupan gizi untuk dirinya.
Ya, satu-satunya orang yang ada bahkan di saat terpurukku itu.
Membuatku berjanji pada diriku sendiri, aku tidak akan pernah berhenti untuk menulis.
Sejak itulah, sejak vakum cukup lama dari dunia tulis menulis, aku memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam, dan jari-jariku mulai menari bebas di atas keyboard itu.
Aku juga mulai mencari info mengenai ajang lomba menulis, aku berpartisipasi mewakili kelasku dalam kompetisi bertema sastra, aku memberanikan dan menawarkan diriku menulis naskah drama tugas akhir Bahasa Indonesia, aku mulai blogwalking dan saling sharing dengan banyak orang, juga banyak hal lainnya.
Aku begitu menggebu-gebu dan begitu hidup hanya karena orang tersebut.
Orang tersebut membuatku percaya, segalanya mungkin, segalanya ada, segalanya terasa benar, jika terkait tentang dia.
Dia membuatku percaya, sama seperti Kugy yang percaya pada Keenan, bahwa bumi hanyalah sebutir debu di bawah telapak kaki kita.
Sampai kapan pun, aku berhutang budi padanya.
Ya, it’s him.
Tubagus Fadillah Setyabudi Leksana :')
-d-
Jumat, 20 Juni 2014
Arti Sebuah Nilai
Semester ini, mata kulih Fungsi Variabel Kompleks dan Seminar Pendidikan Matematika sangat mendominasi sehingga aku memutuskan mereka adalah bintang atau pemeran utama semester enam perkuliahan.
Sistem Geometri dan Pengantar Topologi merupakan mata kuliah yang aku paksa ambil di semester ini, karena targetku yang ingin prematur dari perkuliahan.
Tapi di sini aku perlu mengingatkan bahwa aku paksa ambil bukan berarti karena aku terpaksa ya hehe.
Jadi aku benar-benar, istilahnya, bertaruh di dua mata kuliah tersebut dan dapat dipastikan aku ikhlas lahir batin apa pun hasilnya nanti asalkan aku masih tergolong kriteria mahasiswa yang lulus mata kuliah tersebut.
Mata kuliah lain pun, seperti Kuliah Kerja Nyata, Perencanaan Pembelajaran Matematika dan Seminar Pedidikan Agama Islam, sama-sama memiliki peran dan bobot yang penting dalam menentukan nilai akhir semesterku ini.
Tapi anehnya, aku merasa ada yang salah dengan diriku.
Tidak biasanya aku sesantai ini dalam menunggu, menanti, kehadiran sang nilai untuk setiap mata kuliah di semester ini.
Kebetulan ada mata kuliah yang sudah keluar nilainya, yaitu Sistem Geometri dan Seminar Pendidikan Matematika.
Syukur alhamdulillah, kedua mata kuliah tersebut jauh di atas ekspektasi harapanku.
Semester-semester sebelumnya, mood-ku akan rusak dan hancur jika nilai yang keluar tidak sesuai dengan harapanku, A.
Bahkan saat dapat B pun, aku pernah menangis seharian dan tidak dapat berhenti memikirkannya.
Saat ini, aku justru menertawai sikap kekanakanku itu yang bisa dibilang, istilahnya, tidak pandai bersyukur, hehe.
Tapi entah kenapa sekarang aku sedang dalam kondisi lapang selapang lapangnya untuk menanti nilai-nilai berikutnya, apa pun hasilnya.
Entah tekanan apa yang aku dapatkan dulu sampai-sampai aku seperti tercekik jika nilai yang keluar tidak sesuai harapanku.
Ya, aku tidak mungkir bahwa aku masih mementingkan nilai yang aku dapatkan, walau aku tahu ilmu yang aku dapatkan jauh tak ternilai dan tak terhingga harganya jika aku mampu, tepat, dan benar dalam menyampaikannya.
Aku berprinsip, ilmu dan nilai sama-sama berharga di perkuliahan, jadi aku tidak boleh menyia-nyiakannya.
Maka dari itu, aku selalu tidak santai setiap kali memasuki fase menunggu nilai.
Berbeda dengan saat ini, rasanya hatiku pun selapang jalan tol Cipularang hehe.
Entahlah, mungkin memang seharusnya semakin ke sini aku harus semakin pandai untuk bersyukur.
Bahwa aku masih memiliki kesempatan untuk berbagi ilmu dengan siapa saja, baik itu untuk urusan akhirat atau pun dunia.
Bahwa semester ini dapat terlewati tanpa halangan suatu apa pun.
Atas segala nikmat-Mu Ya Allah Ya Robb, atas segala nikmat Islam dan Iman dari Engkau, hamba benar-benar berterima kasih untuk hidup ini :’)
Aku bahagia :D
-d-
Sistem Geometri dan Pengantar Topologi merupakan mata kuliah yang aku paksa ambil di semester ini, karena targetku yang ingin prematur dari perkuliahan.
Tapi di sini aku perlu mengingatkan bahwa aku paksa ambil bukan berarti karena aku terpaksa ya hehe.
Jadi aku benar-benar, istilahnya, bertaruh di dua mata kuliah tersebut dan dapat dipastikan aku ikhlas lahir batin apa pun hasilnya nanti asalkan aku masih tergolong kriteria mahasiswa yang lulus mata kuliah tersebut.
Mata kuliah lain pun, seperti Kuliah Kerja Nyata, Perencanaan Pembelajaran Matematika dan Seminar Pedidikan Agama Islam, sama-sama memiliki peran dan bobot yang penting dalam menentukan nilai akhir semesterku ini.
Tapi anehnya, aku merasa ada yang salah dengan diriku.
Tidak biasanya aku sesantai ini dalam menunggu, menanti, kehadiran sang nilai untuk setiap mata kuliah di semester ini.
Kebetulan ada mata kuliah yang sudah keluar nilainya, yaitu Sistem Geometri dan Seminar Pendidikan Matematika.
Syukur alhamdulillah, kedua mata kuliah tersebut jauh di atas ekspektasi harapanku.
Semester-semester sebelumnya, mood-ku akan rusak dan hancur jika nilai yang keluar tidak sesuai dengan harapanku, A.
Bahkan saat dapat B pun, aku pernah menangis seharian dan tidak dapat berhenti memikirkannya.
Saat ini, aku justru menertawai sikap kekanakanku itu yang bisa dibilang, istilahnya, tidak pandai bersyukur, hehe.
Tapi entah kenapa sekarang aku sedang dalam kondisi lapang selapang lapangnya untuk menanti nilai-nilai berikutnya, apa pun hasilnya.
Entah tekanan apa yang aku dapatkan dulu sampai-sampai aku seperti tercekik jika nilai yang keluar tidak sesuai harapanku.
Ya, aku tidak mungkir bahwa aku masih mementingkan nilai yang aku dapatkan, walau aku tahu ilmu yang aku dapatkan jauh tak ternilai dan tak terhingga harganya jika aku mampu, tepat, dan benar dalam menyampaikannya.
Aku berprinsip, ilmu dan nilai sama-sama berharga di perkuliahan, jadi aku tidak boleh menyia-nyiakannya.
Maka dari itu, aku selalu tidak santai setiap kali memasuki fase menunggu nilai.
Berbeda dengan saat ini, rasanya hatiku pun selapang jalan tol Cipularang hehe.
Entahlah, mungkin memang seharusnya semakin ke sini aku harus semakin pandai untuk bersyukur.
Bahwa aku masih memiliki kesempatan untuk berbagi ilmu dengan siapa saja, baik itu untuk urusan akhirat atau pun dunia.
Bahwa semester ini dapat terlewati tanpa halangan suatu apa pun.
Atas segala nikmat-Mu Ya Allah Ya Robb, atas segala nikmat Islam dan Iman dari Engkau, hamba benar-benar berterima kasih untuk hidup ini :’)
Aku bahagia :D
-d-
Jumat, 28 Februari 2014
An Afternoon in Bandung.
Orang yang sama seperti postingan sebelumnya.
Namanya Muhammad Firdaus, anaknya kakak Ibuku yang kedua dari tiga bersaudara.
Satu dari 18 sepupu yang aku miliki.
Iya, keluargaku merupakan sebuah keluarga besar dan Alhamdulillah selalu memegang teguh untuk berkomunikasi atau berhubungan dengan baik satu sama lain.
Jadi walaupun aku tidak memiliki kakak atau adik kandung, aku merasa tetap utuh untuk menjadi seorang kakak atau adik bagi sepupu-sepupuku.
Kenapa sekarang aku ingin membahas tentang Abangku yang satu ini?
Karena kebetulan beberapa bulan lalu ia mengunjungiku ke Bandung dan kami memiliki waktu berdua untuk menikmati siang dan hampir senja kota ini.
Sejak dulu, prestasi dia yang aku jadikan acuan dan motivasi untukku meraih mimpi.
Aku tahu dia sangat mengenalku, mengerti latar belakang dan sifatku.
Mengingat dia sama sekali tidak melewatkan pertumbuhan dan perkembanganku sedikit pun tanpa cela.
Aku jadi suka tersenyum sendiri mengingat beberapa kejadian unik antara kami.
Dulu sewaktu kecil, liburan sekolah, kami dan sepupu yang lain sekali waktu suka bermalam dari satu rumah ke rumah yang lain.
Aku yang terbilang masih sangat kecil, kelas 4 SD, keras kepala dan ingin tidur satu kamar dengan sepupu-sepupuku lainnya, termasuk dia.
Tetapi karena ulahku itu, dia justru tidak mendapatkan tempat untuk tidur.
Dan apa yang dia lakukan, kalian bisa menebak?
Dia menungguku tertidur dan membopongku dengan sangat lembut dan hati-hati ke kamar tanteku.
Aku tahu kejadian ini karena aku terbangun tetapi bertahan dengan pejaman mataku.
Sampai di kamar tante, dia menyelimutiku dan aku benar-benar tidak bisa tidur setelah dia tak terlihat lagi di balik pintu.
Itulah kejadian yang paling melekat di memoriku sampai saat ini.
Kemudian, saat aku kelas tiga SMA, waktunya tepat ketika hari raya Idul Adha.
Aku sedang berleha-leha di kamar, kemudian dia masuk ke kamarku, mengambil buku les dan buku cetak Fisika-ku, lalu digojlok habislah aku dengan pelajaran itu olehnya.
Aku hanya bisa geleng-geleng kepala setelahnya.
Bahkan pernah di hari Sabtu atau Minggu, jam enam pagi, aku dipanggil karena ada yang meneleponku.
Seseorang meneleponku ke rumah? Siapa? Ada apa? Pikirku sambil terhuyung mengangkat telepon.
Dan ternyata, yang menelepon adalah Abangku itu untuk membahas soal Fisika via telepon sampai tuntas yang baru semalam aku tanyakan.
Totalitasnya membuatku ternganga dan menjadikanku semakin respect padanya, terlepas dari perbedaan usia kami yang terpaut lima tahun.
Mulai masuk kuliah, dia sering mengajakku sharing tentang hal-hal yang tidak pernah ia bicarakan denganku sebelumnya.
Seperti pekerjaan, perkuliahan, keluarga kami, masa depan, bahkan kehidupan.
Ini yang membuatku merasa istimewa, seolah pandangannya terhadapku telah berubah.
Walau aku tidak tahu apa di matanya aku sudah dewasa, tetapi setidaknya dia memperlakukan aku sebagai seorang gadis, bukan sebagai anak kecil yang sering dia gendong dulu.
Sudah sepantasnya aku bersyukur karena dikaruniai seorang Ibu dan sebuah keluarga besar yang luar biasa hebatnya.
Seolah kasih sayang mereka terhadapku benar-benar begitu terasa ada dan nyata.
Inilah yang sekarang sedang aku pikirkan dan akan terus aku laksanakan.
Untuk menjadi sosok yang bisa bersyukur baik dalam keadaan suka maupun duka.
Anyway, makasih untuk kunjungannya ya, Bang Daus :)
-d-
Sebuah Kriteria :)
Sekali waktu Mama pernah lihat foto di bawah ini jadi wallpaper di ponselku.
Dan sesaat Mama berkata, “Terobsesi banget kamu sama dia,”
Aku hanya tertawa miris.
"Mama, kalau aku terobsesi sama dia, nanti mamanya dia ngamuk."
Mama ikut tertawa dan meninggalkan kamarku.
Dan sejenak aku berpikir, sambil menekuri layar ponsel, menatap fotoku bersamanya.
Silaturahmi kami begitu dekat, sangat dekat sehingga apa yang keluarga kami inginkan adalah memperluasnya.
Jelas sekali maksud mereka dengan memperluas silaturahmi ini dengan cara seperti apa.
Kami harus menikah dengan orang di luar silaturahmi ini.
Saat aku memasang foto kami di BBM pun, seseorang langsung mengirim pesan,
"Din, kalau lihat mukanya dia adem ya :D Laki-laki sholeh banget,"
Aku hanya tersenyum dan membalas,
"Iya gitu, Mba? Hehe. Aku pun jadiin dia kriteria minimal calon suami aku."
"Semoga ya Din,"
Ya memang begitulah pandangan orang-orang tentang dia, Alhamdulillah.
Jika ditanya kriteria dan dipaksa menjawabnya,
Aku pun akan mengakui aku ingin mempunyai pasangan hidup seperti dia.
Penuh semangat, selalu menomorsatukan orang tua, dan tentu cinta Alloh SWT dan Rasululloh SAW :)
Tapi, ikatan silaturahmi di antara kami sangat tidak memungkinkan walau “bukan muhrim” terpampang jelas di anatara kami.
Lagipula, dia sudah mempunyai calon yang sangat rupawan.
Dan bisa dipastikan aku dengan calon kakak ku itu bisa berkomunikasi dengan sangat baik, hehe.
Aku iri dengan semangat hidupnya untuk meraih akhirat juga dunianya,
Dan agar tidak menimbulkan spekulasi lagi,
Aku mencintai dia dengan amat sangat.
Tetapi rasa cinta ini bukan rasa seorang wanita kepada pria.
Rasa cinta ini murni seperti rasa cinta seorang adik pada kakaknya.
Rasa cinta ini murni sebagai bentuk penghormatanku padanya.
Lagipula, cinta yang ada di hatiku sudah pasti,
Dengan pria sama sejak delapan tahun lalu itu.
Yang jelas, untuk pria yang sejak delapan tahun bersemayam dalam relung hati terdalamku,
Aku hanya bisa menyebut namanya dalam setiap doa-doaku,
Hanya bisa menyampaikan rasa cintaku pada Sang Pencinta,
Hanya bisa menyampaikan rinduku lewat rintik hujan atau hembusan angin,
Dan hanya bisa bersikap seolah tidak merasakan apa-apa jika di hadapannya.
Sampai kapan?
Biar Alloh SWT yang menjawabnya :)
-d-
Dan sesaat Mama berkata, “Terobsesi banget kamu sama dia,”
Aku hanya tertawa miris.
"Mama, kalau aku terobsesi sama dia, nanti mamanya dia ngamuk."
Mama ikut tertawa dan meninggalkan kamarku.
Dan sejenak aku berpikir, sambil menekuri layar ponsel, menatap fotoku bersamanya.
Silaturahmi kami begitu dekat, sangat dekat sehingga apa yang keluarga kami inginkan adalah memperluasnya.
Jelas sekali maksud mereka dengan memperluas silaturahmi ini dengan cara seperti apa.
Kami harus menikah dengan orang di luar silaturahmi ini.
Saat aku memasang foto kami di BBM pun, seseorang langsung mengirim pesan,
"Din, kalau lihat mukanya dia adem ya :D Laki-laki sholeh banget,"
Aku hanya tersenyum dan membalas,
"Iya gitu, Mba? Hehe. Aku pun jadiin dia kriteria minimal calon suami aku."
"Semoga ya Din,"
Ya memang begitulah pandangan orang-orang tentang dia, Alhamdulillah.
Jika ditanya kriteria dan dipaksa menjawabnya,
Aku pun akan mengakui aku ingin mempunyai pasangan hidup seperti dia.
Penuh semangat, selalu menomorsatukan orang tua, dan tentu cinta Alloh SWT dan Rasululloh SAW :)
Tapi, ikatan silaturahmi di antara kami sangat tidak memungkinkan walau “bukan muhrim” terpampang jelas di anatara kami.
Lagipula, dia sudah mempunyai calon yang sangat rupawan.
Dan bisa dipastikan aku dengan calon kakak ku itu bisa berkomunikasi dengan sangat baik, hehe.
Aku iri dengan semangat hidupnya untuk meraih akhirat juga dunianya,
Dan agar tidak menimbulkan spekulasi lagi,
Aku mencintai dia dengan amat sangat.
Tetapi rasa cinta ini bukan rasa seorang wanita kepada pria.
Rasa cinta ini murni seperti rasa cinta seorang adik pada kakaknya.
Rasa cinta ini murni sebagai bentuk penghormatanku padanya.
Lagipula, cinta yang ada di hatiku sudah pasti,
Dengan pria sama sejak delapan tahun lalu itu.
Yang jelas, untuk pria yang sejak delapan tahun bersemayam dalam relung hati terdalamku,
Aku hanya bisa menyebut namanya dalam setiap doa-doaku,
Hanya bisa menyampaikan rasa cintaku pada Sang Pencinta,
Hanya bisa menyampaikan rinduku lewat rintik hujan atau hembusan angin,
Dan hanya bisa bersikap seolah tidak merasakan apa-apa jika di hadapannya.
Sampai kapan?
Biar Alloh SWT yang menjawabnya :)
-d-
Tragedi 'Stiletto'
Selasa, 17 September 2013.
Hari ini adalah hari terkonyol.
Mengingat sudah beberapa hari kemarin pakai stiletto,
Maka hari ini meyakinkan diri dan meneguhkan tekad untuk memakainya lagi.
Terlepas dari pikiran tiada hari tanpa jatuh atau keseleo.
Aku membuang jauh-jauh pikiran itu.
Akhirnya, sambil menarik napas dalam-dalam, melangkahlah aku pergi ke kampus.
Satu menit, dua menit, tiga menit, aman terkendali.
Menit keempat, keseimbangan tubuh mulai goyah.
Oke, aku keseleo satu kali, langung disergap rasa malu.
Keseleo dua kali, semakin malu karena hak-nya mulai goyah.
Keseleo tiga kali, BLASSSHHH!!!
Hak-nya beneran copot, Pemirsah!
Mencoba untuk stay cool dan menenangkan diri.
Orang pertama yang terpikirkan, Rizky Fitriani.
Tetapi diduga dia sepertinya sudah sampai di kampus.
Maka langsung merubah haluan dan tujuan.
First, telepon Sindy. Oke, no answer.
Sindyyy, where are you exactly?
Second, telepon Yum. Oh my, no answer.
Oke, pada akhirnya memutuskan untuk mencoba menelepon Rizky.
Langsung lemas saking bahagianya karena saat bunyi nada sambung pertama, terdengar suara
“Halo? Iya, Din?”
Maka terjadilah sebuah dialog singkat saat itu.
“Mpit, sudah di mana?”
“Ini sudah di Gymnas. Ada apa?”
“Mpit, sepatu aku patah. Tapi aku sudah di depan Isola. Mau lanjut kuliah, malu banget. Mau balik ke kosan, kejauhan.”
“Yah, gimana dong? Mpit nggak bawa kunci kosan lagi. Mau pakai sepatu Mpit? Tapi ada hak-nya juga.”
“Itu kan sepatu baru. Aku nggak enak sama kamunya. Sindy sudah berangkat belum, ya? Aku telepon dia sama Yum, nggak ada yang jawab.”
“Mpit nggak tahu, Din. Nggak lihat soalnya.”
“Ya sudah, aku coba telepon Sindy lagi ya. Makasih, Mpit.”
Harapan terakhir, Sindy please angkat …
“Pulsa Anda tidak cukup untuk melakukan panggilan ini …”
Aku kembali menenangkan diri.
Oh, mungkin karena aku dan Sindy beda kartu handphone.
Kalau ke sesama, mungkin akan cukup pulsanya.
Langsunglah menekan tombol hijau pada nama Dini Nurfadilah Ehom.
“Pulsa Anda tidak cukup untuk melakukan panggilan ini …”
Aku menghela napas, pasrah sepasrah-pasrahnya.
BBM-nya Sindy tidak aktif pula.
Tetapi tak lama kemudian, handphone-ku bergetar.
Tertera nama Rizky Fitriani pada layar.
“Halo, Mpit?” jawabku langsung.
“Din, aku balik belakang nih. Pakai sandal aku saja mau nggak? Ada di asrama.”
“Kamu pakai yang ber-hak itu?”
“Nggak, aku tetap pakai sepatu. Ini sandal yang biasa aku pakai. Nggak apa-apa?”
“Nggak apa-apa, Mpit, sandal aja. Makasih, ya, Mpit.”
Aku menghela napas lagi, kali ini karena lega.
Memang, hari ini Mpit berubah jadi superhero aku.
Terima kasih, Ya Alloh …
Untuk semua teman-temanku, terima kasih ya …
Atas kehadiran kalian yang sudah mewarnai hari-hariku :D
-d-
Hari ini adalah hari terkonyol.
Mengingat sudah beberapa hari kemarin pakai stiletto,
Maka hari ini meyakinkan diri dan meneguhkan tekad untuk memakainya lagi.
Terlepas dari pikiran tiada hari tanpa jatuh atau keseleo.
Aku membuang jauh-jauh pikiran itu.
Akhirnya, sambil menarik napas dalam-dalam, melangkahlah aku pergi ke kampus.
Satu menit, dua menit, tiga menit, aman terkendali.
Menit keempat, keseimbangan tubuh mulai goyah.
Oke, aku keseleo satu kali, langung disergap rasa malu.
Keseleo dua kali, semakin malu karena hak-nya mulai goyah.
Keseleo tiga kali, BLASSSHHH!!!
Hak-nya beneran copot, Pemirsah!
Mencoba untuk stay cool dan menenangkan diri.
Orang pertama yang terpikirkan, Rizky Fitriani.
Tetapi diduga dia sepertinya sudah sampai di kampus.
Maka langsung merubah haluan dan tujuan.
First, telepon Sindy. Oke, no answer.
Sindyyy, where are you exactly?
Second, telepon Yum. Oh my, no answer.
Oke, pada akhirnya memutuskan untuk mencoba menelepon Rizky.
Langsung lemas saking bahagianya karena saat bunyi nada sambung pertama, terdengar suara
“Halo? Iya, Din?”
Maka terjadilah sebuah dialog singkat saat itu.
“Mpit, sudah di mana?”
“Ini sudah di Gymnas. Ada apa?”
“Mpit, sepatu aku patah. Tapi aku sudah di depan Isola. Mau lanjut kuliah, malu banget. Mau balik ke kosan, kejauhan.”
“Yah, gimana dong? Mpit nggak bawa kunci kosan lagi. Mau pakai sepatu Mpit? Tapi ada hak-nya juga.”
“Itu kan sepatu baru. Aku nggak enak sama kamunya. Sindy sudah berangkat belum, ya? Aku telepon dia sama Yum, nggak ada yang jawab.”
“Mpit nggak tahu, Din. Nggak lihat soalnya.”
“Ya sudah, aku coba telepon Sindy lagi ya. Makasih, Mpit.”
Harapan terakhir, Sindy please angkat …
“Pulsa Anda tidak cukup untuk melakukan panggilan ini …”
Aku kembali menenangkan diri.
Oh, mungkin karena aku dan Sindy beda kartu handphone.
Kalau ke sesama, mungkin akan cukup pulsanya.
Langsunglah menekan tombol hijau pada nama Dini Nurfadilah Ehom.
“Pulsa Anda tidak cukup untuk melakukan panggilan ini …”
Aku menghela napas, pasrah sepasrah-pasrahnya.
BBM-nya Sindy tidak aktif pula.
Tetapi tak lama kemudian, handphone-ku bergetar.
Tertera nama Rizky Fitriani pada layar.
“Halo, Mpit?” jawabku langsung.
“Din, aku balik belakang nih. Pakai sandal aku saja mau nggak? Ada di asrama.”
“Kamu pakai yang ber-hak itu?”
“Nggak, aku tetap pakai sepatu. Ini sandal yang biasa aku pakai. Nggak apa-apa?”
“Nggak apa-apa, Mpit, sandal aja. Makasih, ya, Mpit.”
Aku menghela napas lagi, kali ini karena lega.
Memang, hari ini Mpit berubah jadi superhero aku.
Terima kasih, Ya Alloh …
Untuk semua teman-temanku, terima kasih ya …
Atas kehadiran kalian yang sudah mewarnai hari-hariku :D
-d-
Awkward Moment :p
Mungkin beberapa orang sudah bosan dengan, entah ini bisa dibilang ciri khas atau kelemahan aku, ‘hobi’ yang satu ini.
Yup, terjatuh. Baik itu dalam bentuk keseleo, terpeleset, atau jatuh yang benar-benar jatuh.
Aku selalu bertanya-tanya, apa ada yang salah dari sistem koordinasiku.
Sungguh, aku sama sekali tidak ingin seperti ini, karena jadi terlihat konyol dan sangat tidak keren :D
Satu-satunya hal yang aku suka dari ‘hobi’ satu ini yaitu, karakter terfavorit bagiku, Isabella Swan di Twilight Saga, diceritakan juga memiliki ‘hobi’ yang sama sepertiku :D
Sekali waktu, pernah puncak kekhawatiranku melanda.
Saat aku terjatuh di kampus dari tingkat tangga ke-tiga hingga mendarat di dasar dengan posisi berlutut.
Aku tidak memikirkan sakitnya.
Karena sama sekali tidak sebanding dengan malu yang aku rasa.
Bagaimana tidak?
Hal tersebut terjadi bertepatan dengan jam pulang kuliah, hoahhh.
Sampai di kosan aku baru mulai merasakan nyeri di pergelangan kakiku.
Dan aku menemukan kakiku bergetar.
Untungnya keesokan hari kakiku tidak bengkak seperti waktu itu.
Jadi aku merasa, kekhawatiranku tidak beralasan :)
Biar ‘hobi’ ini menjadi ciri khas dari diriku.
Karena aku hanya ingin menjadi seperti aku.
Kecil, mungil, bewarna.
Warna-warni terangi alam jika tergambar baik :)
Aaah, kejadian kemarin bikin aku merindukan sahabat-sahabat SMAku, 21-ku, Paskibraku :)
-d-
Yup, terjatuh. Baik itu dalam bentuk keseleo, terpeleset, atau jatuh yang benar-benar jatuh.
Aku selalu bertanya-tanya, apa ada yang salah dari sistem koordinasiku.
Sungguh, aku sama sekali tidak ingin seperti ini, karena jadi terlihat konyol dan sangat tidak keren :D
Satu-satunya hal yang aku suka dari ‘hobi’ satu ini yaitu, karakter terfavorit bagiku, Isabella Swan di Twilight Saga, diceritakan juga memiliki ‘hobi’ yang sama sepertiku :D
Sekali waktu, pernah puncak kekhawatiranku melanda.
Saat aku terjatuh di kampus dari tingkat tangga ke-tiga hingga mendarat di dasar dengan posisi berlutut.
Aku tidak memikirkan sakitnya.
Karena sama sekali tidak sebanding dengan malu yang aku rasa.
Bagaimana tidak?
Hal tersebut terjadi bertepatan dengan jam pulang kuliah, hoahhh.
Sampai di kosan aku baru mulai merasakan nyeri di pergelangan kakiku.
Dan aku menemukan kakiku bergetar.
Untungnya keesokan hari kakiku tidak bengkak seperti waktu itu.
Jadi aku merasa, kekhawatiranku tidak beralasan :)
Biar ‘hobi’ ini menjadi ciri khas dari diriku.
Karena aku hanya ingin menjadi seperti aku.
Kecil, mungil, bewarna.
Warna-warni terangi alam jika tergambar baik :)
Aaah, kejadian kemarin bikin aku merindukan sahabat-sahabat SMAku, 21-ku, Paskibraku :)
-d-
Ranah Melayu ^^
Apa yang pertama kali terpikirkan jika kalian mendengar kata ‘Melayu’?
Identik dengan Upin-Ipin dan Malaysia?
Kalau kita ingat, sebenarnya Indonesia penduduknya berasal dari berbagai ras, termasuk Melayu.
Dulu, aku mikirnya juga seperti itu.
Sampai akhirnya aku bertemu dengan orang-orang yang sangat kental logat dan budaya Melayu-nya.
Di perkuliahan, ada beberapa orang yang masuk UPI karena kerja sama dari pemerintah daerahnya.
Yaitu Natuna dan Tanjung Pinang, Kepulauan Riau.
Seperti Sindy, Yum, Dian, Faridh, John, Alfian, Rossi, Eza, Rino, dan lainnya.
Kepulauan Riau di sini juga berbeda dari Riau yang biasa kita dengar.
Kalau Riau ibukotanya Pekanbaru, sedangkan Kepulauan Riau ibukotanya Tanjung Pinang yang dipenuhi oleh lautan dan pulau-pulau, hanya sedikit daratan di sana.
Nah, aku mengenal Melayu dan budayanya dari mereka.
Aku merasa benar-benar exited.
Karena mendengar mereka saling bercengkrama dengan bahasa Melayu membuat aku merasa sangat nyaman.
Perlahan, aku mulai mempelajari budaya mereka.
Dari bahasa dan logatnya terutama, walau terkadang logatku suka terdengar maksa, haha.
Pernah sekali waktu aku saling bertukar pesan dan gaya-gayaan pakai bahasa Melayu.
Pada akhirnya?
Aku benar-benar dijadikan bahan tertawaan oleh mereka karena bahasaku yang rancu.
Suka senyum-senyum sendiri kalau teringat kisah itu.
Makanya walau tinggal di Bandung, aku jauh lebih familiar dengan bahasa Melayu dibanding bahasa Sunda.
Sedikit demi sedikit aku mulai mengerti jika mereka saling bercengkrama dengan bahasa Melayu.
Mereka juga tidak ragu untuk berbicara Melayu denganku.
Mendengarkan mereka bicara benar-benar terasa sehat di telinga.
Karena banyak waktu yang sering kuhabiskan bersama mereka,
Aku, Mpit, dan Dini pun jadi suka ikut-ikutan pakai logat dan bahasa mereka.
Aku memutuskan membuat novel tentang mereka, tetang kami.
Dengan segala informasi yang aku punya, aku memberanikan diri.
Sayangnya saat dikirim ke penerbit, tidak lolos :(
Kecewaku terbayar karena mereka semua penasaran dan membaca karyaku yang seadanya itu.
Intinya, aku senang berada di tengah-tengah perbedaan budaya itu.
Sunda dan Melayu yang menyatu padu, menurutku itu dua hal yang sangat indah.
Tak jarang aku terinspirasi dari mereka :)
-d-
Identik dengan Upin-Ipin dan Malaysia?
Kalau kita ingat, sebenarnya Indonesia penduduknya berasal dari berbagai ras, termasuk Melayu.
Dulu, aku mikirnya juga seperti itu.
Sampai akhirnya aku bertemu dengan orang-orang yang sangat kental logat dan budaya Melayu-nya.
Di perkuliahan, ada beberapa orang yang masuk UPI karena kerja sama dari pemerintah daerahnya.
Yaitu Natuna dan Tanjung Pinang, Kepulauan Riau.
Seperti Sindy, Yum, Dian, Faridh, John, Alfian, Rossi, Eza, Rino, dan lainnya.
Kepulauan Riau di sini juga berbeda dari Riau yang biasa kita dengar.
Kalau Riau ibukotanya Pekanbaru, sedangkan Kepulauan Riau ibukotanya Tanjung Pinang yang dipenuhi oleh lautan dan pulau-pulau, hanya sedikit daratan di sana.
Nah, aku mengenal Melayu dan budayanya dari mereka.
Aku merasa benar-benar exited.
Karena mendengar mereka saling bercengkrama dengan bahasa Melayu membuat aku merasa sangat nyaman.
Perlahan, aku mulai mempelajari budaya mereka.
Dari bahasa dan logatnya terutama, walau terkadang logatku suka terdengar maksa, haha.
Pernah sekali waktu aku saling bertukar pesan dan gaya-gayaan pakai bahasa Melayu.
Pada akhirnya?
Aku benar-benar dijadikan bahan tertawaan oleh mereka karena bahasaku yang rancu.
Suka senyum-senyum sendiri kalau teringat kisah itu.
Makanya walau tinggal di Bandung, aku jauh lebih familiar dengan bahasa Melayu dibanding bahasa Sunda.
Sedikit demi sedikit aku mulai mengerti jika mereka saling bercengkrama dengan bahasa Melayu.
Mereka juga tidak ragu untuk berbicara Melayu denganku.
Mendengarkan mereka bicara benar-benar terasa sehat di telinga.
Karena banyak waktu yang sering kuhabiskan bersama mereka,
Aku, Mpit, dan Dini pun jadi suka ikut-ikutan pakai logat dan bahasa mereka.
Aku memutuskan membuat novel tentang mereka, tetang kami.
Dengan segala informasi yang aku punya, aku memberanikan diri.
Sayangnya saat dikirim ke penerbit, tidak lolos :(
Kecewaku terbayar karena mereka semua penasaran dan membaca karyaku yang seadanya itu.
Intinya, aku senang berada di tengah-tengah perbedaan budaya itu.
Sunda dan Melayu yang menyatu padu, menurutku itu dua hal yang sangat indah.
Tak jarang aku terinspirasi dari mereka :)
-d-
It's Just Another Story About . . . Inspiration ^^
Seperti yang sudah aku ceritakan sebelumnya, aku mengenal dunia tulis menulis saat aku duduk di bangku SMP.
Aku sering menulis puisi dan naskah untuk pentas drama.
Aku mulai mengumpulkan puisi dari para pecinta sastra.
Hingga saat memasuki SMA, aku mulai terketuk untuk menulis berbagai cerita.
Mulai dari cerpen sampai novel.
Dan alasan mengapa aku memutuskan untuk seberani itu menuangkan segala untaian cerita ibarat benang kusut dalam pikiranku yang liar ini?
Aku akan memulai dari ekstrakurikuler yang aku ikuti di SMA, yaitu Paskibra.
Setelah proyek pertama kami, yaitu Upacara Hari Kemerdekaan 17 Agustus, seniorku memberikan tugas untuk angkatanku sebagai calon anggota.
Yaitu membuat buku yang disampul bewarna merah- putih dan membuat surat cinta.
Kami yang perempuan diharuskan mengirim surat ke senior laki-laki dan yang laki-laki diharuskan mengirim surat ke senior perempuan.
Nah, aku tertarik dengan tugas ini karena pada dasarnya aku suka bermain dengan diksi.
Aku mendedikasikan surat cintaku untuk Kak Prinzy yang ternyata menjadi satu-satunya surat untuknya, karena teman-temanku yang lainnya janjian untuk mengirim ke Kak Rheza, Kak Rizha, atau Kak Panca.
Aku sendiri random memilih Kak Prinzy sebagai penerima surat karena aku suka dengan namanya yang unik.
Saat pelantikan, aku pun dipilih menjadi satu-satunya junior yang membacakan surat itu di hadapannya.
Tanganku gemetar, tentu saja.
Surat yang aku buat dan aku jadikan sebagai sarana untuk menyalurkan hobi pun mulai dianggap serius isinya.
Setelah pelantikan, hubungan angkatanku dengan angkatan Kak Prinzy pun mulai dingin, layaknya junior-senior yang belakangan aku tahu adanya pembagian karakter sesuai dengan tugas kepengurusan di Paskibra.
Aku merasa masih banyak yang mengganjal, maka aku mulai menulis kata per kata untuk melunaskan segala rasa penasaranku pada Kak Prinzy dan angkatannya.
Sampai akhirnya, jadilah novel pertamaku berjudul A Guardian Angel.
Cerita tentang Paskibra, Angkatan 21-ku, senior Angkatan 20-ku.
Kak Prinzy memang inspirasi pertamaku untuk mulai berani menulis cerita.
Tetapi hari-hariku bersama angkatan 21-ku adalah sumber inspirasi terbesar dan memberikan cahaya hangat layaknya matahari dalam warna kehidupanku.
Ini hanyalah sebuah cerita tentang inspirasi.
Yang sampai saat ini masih membuatku menggantungkan mimpi itu.
Yang sampai kini dan selamanya akan membuatku semakin jatuh cinta dengan sastra.
-d-
Aku sering menulis puisi dan naskah untuk pentas drama.
Aku mulai mengumpulkan puisi dari para pecinta sastra.
Hingga saat memasuki SMA, aku mulai terketuk untuk menulis berbagai cerita.
Mulai dari cerpen sampai novel.
Dan alasan mengapa aku memutuskan untuk seberani itu menuangkan segala untaian cerita ibarat benang kusut dalam pikiranku yang liar ini?
Aku akan memulai dari ekstrakurikuler yang aku ikuti di SMA, yaitu Paskibra.
Setelah proyek pertama kami, yaitu Upacara Hari Kemerdekaan 17 Agustus, seniorku memberikan tugas untuk angkatanku sebagai calon anggota.
Yaitu membuat buku yang disampul bewarna merah- putih dan membuat surat cinta.
Kami yang perempuan diharuskan mengirim surat ke senior laki-laki dan yang laki-laki diharuskan mengirim surat ke senior perempuan.
Nah, aku tertarik dengan tugas ini karena pada dasarnya aku suka bermain dengan diksi.
Aku mendedikasikan surat cintaku untuk Kak Prinzy yang ternyata menjadi satu-satunya surat untuknya, karena teman-temanku yang lainnya janjian untuk mengirim ke Kak Rheza, Kak Rizha, atau Kak Panca.
Aku sendiri random memilih Kak Prinzy sebagai penerima surat karena aku suka dengan namanya yang unik.
Saat pelantikan, aku pun dipilih menjadi satu-satunya junior yang membacakan surat itu di hadapannya.
Tanganku gemetar, tentu saja.
Surat yang aku buat dan aku jadikan sebagai sarana untuk menyalurkan hobi pun mulai dianggap serius isinya.
Setelah pelantikan, hubungan angkatanku dengan angkatan Kak Prinzy pun mulai dingin, layaknya junior-senior yang belakangan aku tahu adanya pembagian karakter sesuai dengan tugas kepengurusan di Paskibra.
Aku merasa masih banyak yang mengganjal, maka aku mulai menulis kata per kata untuk melunaskan segala rasa penasaranku pada Kak Prinzy dan angkatannya.
Sampai akhirnya, jadilah novel pertamaku berjudul A Guardian Angel.
Cerita tentang Paskibra, Angkatan 21-ku, senior Angkatan 20-ku.
Kak Prinzy memang inspirasi pertamaku untuk mulai berani menulis cerita.
Tetapi hari-hariku bersama angkatan 21-ku adalah sumber inspirasi terbesar dan memberikan cahaya hangat layaknya matahari dalam warna kehidupanku.
Ini hanyalah sebuah cerita tentang inspirasi.
Yang sampai saat ini masih membuatku menggantungkan mimpi itu.
Yang sampai kini dan selamanya akan membuatku semakin jatuh cinta dengan sastra.
-d-
Cozy Breakfast Ever :')
Rutinitas ini dimulai pertama kali saat semester tiga.
Bersama Dini, Mpit, Sindy, Yum, Dian, Parlin, Faridh, Alfian, dan Rino.
Ceritanya panjang kenapa sampai akhirnya bisa terbentuk lingkaran ini.
Sekali waktu setelah kelas PKn, kami memutuskan untuk sarapan di kantin kampus sambil menunggu jam mata kuliah selanjutnya, yaitu Program Komputer , yang hanya berjarak 50 menit.
Saat sarapan, kami benar-benar hanya membicarakan obrolan ringan yang dapat mencairkan suasana dan membuat siapa pun yang terlibat dalam cengkrama itu menjadi sangat rileks.
Orang sepertiku, yang memang membutuhkan suasana seperti ini, jelas langsung merasa candu.
Tetapi rutinitas ini pun terus berulang setiap minggunya, bahkan terkadang di hari lain.
Mungkin mereka dan suasana makan pagi inilah yang akan paling aku rindukan dari Bandung.
Intinya, mereka mampu menyebar cahaya matahari dalam hari-hariku selama di Bandung.
-d-
Bersama Dini, Mpit, Sindy, Yum, Dian, Parlin, Faridh, Alfian, dan Rino.
Ceritanya panjang kenapa sampai akhirnya bisa terbentuk lingkaran ini.
Sekali waktu setelah kelas PKn, kami memutuskan untuk sarapan di kantin kampus sambil menunggu jam mata kuliah selanjutnya, yaitu Program Komputer , yang hanya berjarak 50 menit.
Saat sarapan, kami benar-benar hanya membicarakan obrolan ringan yang dapat mencairkan suasana dan membuat siapa pun yang terlibat dalam cengkrama itu menjadi sangat rileks.
Orang sepertiku, yang memang membutuhkan suasana seperti ini, jelas langsung merasa candu.
Tetapi rutinitas ini pun terus berulang setiap minggunya, bahkan terkadang di hari lain.
Mungkin mereka dan suasana makan pagi inilah yang akan paling aku rindukan dari Bandung.
Intinya, mereka mampu menyebar cahaya matahari dalam hari-hariku selama di Bandung.
-d-
Senin, 06 Januari 2014
Tidak Menyangka :')
Liburan minggu tenang kali ini benar-benar membuatku lupa dengan segala urusan di Bandung.
Saking tenangnya, sampai-sampai lupa bahwa liburan ini seharusnya diperuntukkan untuk mempersiapkan UAS.
Aku kembali ke Jakarta setelah perkuliahan berakhir satu tahun yang lalu, 25 Desember 2013.
Sesampainya di rumah, aku disuruh untuk mengepak baju oleh Ibuku karena kami akan pergi ke Puncak sampai tanggal 27 Desember 2013.
Tanggal 28 Desember 2013, aku seharian di rumah, kebetulan salah satu sepupuku bersama keponakan dan Ibunya datang.
Jadi hari itu aku khususkan untuk bercengkrama bersama mereka, juga menyalin ulang catatan-catatan sebagai salah satu upayaku menghadapi UAS mata kuliah Metode Numerik.
Esoknya, 29 Desember 2013, aku bersama Ibu, dua orang tanteku, dan satu orang sepupuku pergi belanja berburu jilbab, pakaian, dan lain sebagainya di Thamrin City.
Sepulangnya dari sana, kami mampir untuk makan siang di Sroto Eling-Eling (salah satu makanan yang akan aku rindukan jika aku berkelana di benua Eropa, aamiin :D) juga ke Mall Kelapa Gading untuk menyantap Waffle dan berburu pernak-pernik.
Kemudian, tanggal 30 Desember 2013, masih bersama orang yang sama, kami pergi ke Tambun untuk mengantar kakak Ibuku mengurut kakiknya, lalu ke Depok, kemudian hinggap di Puri Bali untuk bermalam di sana.
Sepulang dari Puri Bali, 31 Desember 2013, kami pergi ke Tanah Abang untuk kembali berburu pakaian, jilbab, bahan perlengkapan menjahit Ibuku, dan sebagainya.
Sisi wanita yang pada dasarnya memang gila berbelanja di diriku terbukti secara klinis, absolut, dan tunggal kebenarannya di tengah-tengah tumpukan baju-baju yang kubeli dengan uangku sendiri.
Aku bukan tipe orang yang terlalu memiliki banyak syarat perihal pakaian.
Asal menutup aurat dengan baik dan benar, akan aku pakai.
Dan selama ini selalu Ibuku yang berperan aktif mengenai pakaianku, mulai dari rok, baju, gamis, jilbab, dan sebagainya.
Terkadang beliau membuatkan sehelai atau dua helai atau tiga helai gamis untukku :D
Atau terkadang beliau beli di Tanah Abang sekali waktu saat ia mencari keperluan menjahitnya.
Sehingga aku hanya terima jadi saja mengenai pakaian, karena Ibuku pun mengerti seleraku dan tidak ambil pusing dengan pilihanku.
Aku suka, silahkan pakai. Aku tidak suka, Ibuku yang memakai. Begitu juga sebaliknya :D
Saat berbelanja di Tanah Abang 31 Desember 2013 lalu, aku tahu aku benar-benar kalap.
Ibuku membiarkan karena awalnya, uang yang kupunya akan aku gunakan untuk perawatan diri, seperti creambath, pedicure menicure, make a new hair cut, dan sebagainya.
Tetapi Ibuku melarang habis-habisan rencana itu, beliau lebih prefer uang itu dijadikan barang-barang, dan aku memutuskan untuk membeli banyak baju, hehe.
Oh, di sini aku tidak akan bercerita mengenai malam pergantian tahun.
Karena sama sekali tidak ada yang spesial dari malam itu.
Aku hanya terus mengucapkan rasa syukur karena masih diberikan nikmat yang tiada tara ini, dan aku berharap aku dapat menjadi hamba Alloh SWT yang pandai bersyukur baik dalam keadaan suka maupun duka, aamiin :)
Tanggal 1 Januari 2014, aku pergi ke rumah sepupuku yang masih kecil-kecil dan menggemaskan itu :)
Mengingat kami sudah berjanji untuk mengunjunginya karena mereka sedang libur sekolah dan tidak diperbolehkan untuk jalan-jalan sebelum Babehnya pulang dari Arab.
Selama perjalanan aku kontek-kontekan dengan Abangku dan membuat janji untuk bertemu di sana.
Rencana awal, mereka merengek minta berenang.
Tanteku, Enyak dari cilik-cilik itu, langsung menghubungi suaminya untuk mengijinkan anak-anaknya pergi, karena kebetulan di rumah pun sedang mati lampu.
Syukurnya, Babeh mengijinkan dan kami memutuskan hanya pergi ke Plaza Cibubur untuk makan siang di tempat yang diidamkan anak-anak selama ini.
Saat sedang berjalan, aku melintasi sebuah toko pernak-pernik dan mendapatkan apa yang selama ini aku cari. Here it is :))
Tanggal 2 Januari 2013 dan 3 Januari 2013, aku menghabiskan waktu di rumah karena kebetulan ada tukang sedang merapikan tanjakan rumah yang jalanannya habis diperbaiki.
Aku gunakan waktu itu untuk menulis dan membaca.
Lalu, tanggal 4 Desember 2013. Aku bersama rekan-rekan 21ku, Della dan Irfan, pergi kondangan ke pernikahan Kak Adit Angkatan 18.
Di sana, kami berjumpa banyak kakak-kakak senior kami yang secara otomatis langsung berkumpul per angkatan.
Setelah dari kondangan, kami memutuskan untuk nonton di Mall Kelapa Gading, Mall-ya sejuta umat Tanjung Priok :D
Saat menonton, Tubagus ikut serta dan setelahnya kami langsung membahas mengenai rencana perjalanan liburan kami di rentang pertengahan sampai akhir Januari.
Opsi pertama, kami akan pergi rafting di Sukabumi.
Opsi kedua, kami akan pergi naik balon udara di Taman Mini Indonesia Idah.
Opsi ketiga, kami akan bermain ice-skeating di Mall Taman Anggrek.
Opsi ke empat, bakar-bakaran di rumahku, hehe.
Entah opsi apa yang nanti akan terpilih, dari aku pribadi, Insya Alloh bisa mengikuti perjalanan liburan ini, yang refleks sering kami lakukan setelah berhasilnya kami pergi ke pulau Tidung bersama Agustus lalu :)
Asal bersama mereka, aku tidak keberatan pergi ke mana saja, bahkan ke ujung dunia :)
Dan, tanggal 4 Januari 2014 itulah di mana hari minggu tenangku berakhir.
Karena tanggal 5 Januari 2014 aku sudah harus kembali ke Bandung untuk keberangkatan travel yang jam tujuh pagi.
Sesampainya di Bandung, aku sama sekali tidak menyangka akan bertemu dengan sekumpulan mobil plat D lagi, aku tidak menyangka berjumpa kembali dengan kamar kosanku lagi, aku tidak menyangka aku tertidur menggunakan selimut lagi.
Esoknya pun, aku masih tidak menyangka bertemu kembali dengan teman-teman sekelas untuk mengumpulkan tugas, dan aku berguyon.
“Aku hampir lupa loh jalan dari kosan ke JICA.”
Aku pun tidak menyangka sedang menulis postingan ini di kamar kosanku.
Semalam, Dini sms aku, “Naa mbandung naa. Jangan lupa hehe.”
Aku hanya merespon, “Waduh untung diingetin :D.”
Pagi ini pun, saat bertukar kisah dengannya, aku kembali mengulang apa yang aku rasakan.
“Aku benar-benar tidak menyangka loh ada di sini lagi.”
Sehebat itukah pengaruh Jakarta padaku? Entahlah.
Yang jelas aku benar-benar fresh dan ringan melangkah saat menginjakkan kaki di kota Bandung ini.
Seringan saat aku tertawa bersama Dini, Mpit, Parlin, dan Faridhul di kamar asrama putra nomor 20 sepulang dari Borma tadi saat memainkan dan menyusun tempelan Glow in The Dark yang aku beli :)
-d-
Saking tenangnya, sampai-sampai lupa bahwa liburan ini seharusnya diperuntukkan untuk mempersiapkan UAS.
Aku kembali ke Jakarta setelah perkuliahan berakhir satu tahun yang lalu, 25 Desember 2013.
Sesampainya di rumah, aku disuruh untuk mengepak baju oleh Ibuku karena kami akan pergi ke Puncak sampai tanggal 27 Desember 2013.
Tanggal 28 Desember 2013, aku seharian di rumah, kebetulan salah satu sepupuku bersama keponakan dan Ibunya datang.
Jadi hari itu aku khususkan untuk bercengkrama bersama mereka, juga menyalin ulang catatan-catatan sebagai salah satu upayaku menghadapi UAS mata kuliah Metode Numerik.
Esoknya, 29 Desember 2013, aku bersama Ibu, dua orang tanteku, dan satu orang sepupuku pergi belanja berburu jilbab, pakaian, dan lain sebagainya di Thamrin City.
Sepulangnya dari sana, kami mampir untuk makan siang di Sroto Eling-Eling (salah satu makanan yang akan aku rindukan jika aku berkelana di benua Eropa, aamiin :D) juga ke Mall Kelapa Gading untuk menyantap Waffle dan berburu pernak-pernik.
Kemudian, tanggal 30 Desember 2013, masih bersama orang yang sama, kami pergi ke Tambun untuk mengantar kakak Ibuku mengurut kakiknya, lalu ke Depok, kemudian hinggap di Puri Bali untuk bermalam di sana.
Sepulang dari Puri Bali, 31 Desember 2013, kami pergi ke Tanah Abang untuk kembali berburu pakaian, jilbab, bahan perlengkapan menjahit Ibuku, dan sebagainya.
Sisi wanita yang pada dasarnya memang gila berbelanja di diriku terbukti secara klinis, absolut, dan tunggal kebenarannya di tengah-tengah tumpukan baju-baju yang kubeli dengan uangku sendiri.
Aku bukan tipe orang yang terlalu memiliki banyak syarat perihal pakaian.
Asal menutup aurat dengan baik dan benar, akan aku pakai.
Dan selama ini selalu Ibuku yang berperan aktif mengenai pakaianku, mulai dari rok, baju, gamis, jilbab, dan sebagainya.
Terkadang beliau membuatkan sehelai atau dua helai atau tiga helai gamis untukku :D
Atau terkadang beliau beli di Tanah Abang sekali waktu saat ia mencari keperluan menjahitnya.
Sehingga aku hanya terima jadi saja mengenai pakaian, karena Ibuku pun mengerti seleraku dan tidak ambil pusing dengan pilihanku.
Aku suka, silahkan pakai. Aku tidak suka, Ibuku yang memakai. Begitu juga sebaliknya :D
Saat berbelanja di Tanah Abang 31 Desember 2013 lalu, aku tahu aku benar-benar kalap.
Ibuku membiarkan karena awalnya, uang yang kupunya akan aku gunakan untuk perawatan diri, seperti creambath, pedicure menicure, make a new hair cut, dan sebagainya.
Tetapi Ibuku melarang habis-habisan rencana itu, beliau lebih prefer uang itu dijadikan barang-barang, dan aku memutuskan untuk membeli banyak baju, hehe.
Oh, di sini aku tidak akan bercerita mengenai malam pergantian tahun.
Karena sama sekali tidak ada yang spesial dari malam itu.
Aku hanya terus mengucapkan rasa syukur karena masih diberikan nikmat yang tiada tara ini, dan aku berharap aku dapat menjadi hamba Alloh SWT yang pandai bersyukur baik dalam keadaan suka maupun duka, aamiin :)
Tanggal 1 Januari 2014, aku pergi ke rumah sepupuku yang masih kecil-kecil dan menggemaskan itu :)
Mengingat kami sudah berjanji untuk mengunjunginya karena mereka sedang libur sekolah dan tidak diperbolehkan untuk jalan-jalan sebelum Babehnya pulang dari Arab.
Selama perjalanan aku kontek-kontekan dengan Abangku dan membuat janji untuk bertemu di sana.
Rencana awal, mereka merengek minta berenang.
Tanteku, Enyak dari cilik-cilik itu, langsung menghubungi suaminya untuk mengijinkan anak-anaknya pergi, karena kebetulan di rumah pun sedang mati lampu.
Syukurnya, Babeh mengijinkan dan kami memutuskan hanya pergi ke Plaza Cibubur untuk makan siang di tempat yang diidamkan anak-anak selama ini.
Saat sedang berjalan, aku melintasi sebuah toko pernak-pernik dan mendapatkan apa yang selama ini aku cari. Here it is :))
Tanggal 2 Januari 2013 dan 3 Januari 2013, aku menghabiskan waktu di rumah karena kebetulan ada tukang sedang merapikan tanjakan rumah yang jalanannya habis diperbaiki.
Aku gunakan waktu itu untuk menulis dan membaca.
Lalu, tanggal 4 Desember 2013. Aku bersama rekan-rekan 21ku, Della dan Irfan, pergi kondangan ke pernikahan Kak Adit Angkatan 18.
Di sana, kami berjumpa banyak kakak-kakak senior kami yang secara otomatis langsung berkumpul per angkatan.
Setelah dari kondangan, kami memutuskan untuk nonton di Mall Kelapa Gading, Mall-ya sejuta umat Tanjung Priok :D
Saat menonton, Tubagus ikut serta dan setelahnya kami langsung membahas mengenai rencana perjalanan liburan kami di rentang pertengahan sampai akhir Januari.
Opsi pertama, kami akan pergi rafting di Sukabumi.
Opsi kedua, kami akan pergi naik balon udara di Taman Mini Indonesia Idah.
Opsi ketiga, kami akan bermain ice-skeating di Mall Taman Anggrek.
Opsi ke empat, bakar-bakaran di rumahku, hehe.
Entah opsi apa yang nanti akan terpilih, dari aku pribadi, Insya Alloh bisa mengikuti perjalanan liburan ini, yang refleks sering kami lakukan setelah berhasilnya kami pergi ke pulau Tidung bersama Agustus lalu :)
Asal bersama mereka, aku tidak keberatan pergi ke mana saja, bahkan ke ujung dunia :)
Dan, tanggal 4 Januari 2014 itulah di mana hari minggu tenangku berakhir.
Karena tanggal 5 Januari 2014 aku sudah harus kembali ke Bandung untuk keberangkatan travel yang jam tujuh pagi.
Sesampainya di Bandung, aku sama sekali tidak menyangka akan bertemu dengan sekumpulan mobil plat D lagi, aku tidak menyangka berjumpa kembali dengan kamar kosanku lagi, aku tidak menyangka aku tertidur menggunakan selimut lagi.
Esoknya pun, aku masih tidak menyangka bertemu kembali dengan teman-teman sekelas untuk mengumpulkan tugas, dan aku berguyon.
“Aku hampir lupa loh jalan dari kosan ke JICA.”
Aku pun tidak menyangka sedang menulis postingan ini di kamar kosanku.
Semalam, Dini sms aku, “Naa mbandung naa. Jangan lupa hehe.”
Aku hanya merespon, “Waduh untung diingetin :D.”
Pagi ini pun, saat bertukar kisah dengannya, aku kembali mengulang apa yang aku rasakan.
“Aku benar-benar tidak menyangka loh ada di sini lagi.”
Sehebat itukah pengaruh Jakarta padaku? Entahlah.
Yang jelas aku benar-benar fresh dan ringan melangkah saat menginjakkan kaki di kota Bandung ini.
Seringan saat aku tertawa bersama Dini, Mpit, Parlin, dan Faridhul di kamar asrama putra nomor 20 sepulang dari Borma tadi saat memainkan dan menyusun tempelan Glow in The Dark yang aku beli :)
-d-
Langganan:
Komentar (Atom)




