Bandung.
Sungguh, sejujurnya tidak ada yang salah dengan kota ini.
Sejuknya menawan hati, rindangnya mendamaikan pikiran, hijaunya pun menyehatkan penglihatan sejauh mata memandang.
Tapi entah kenapa, sudah dua tahun tinggal di kota ini, aku tidak bisa ‘kerasan’ di sini.
Aku memang pernah mengatakan, Bandung is growing on me.
Dan tahu kapan aku mengatakannya?
Sesaat setelah aku pulang dari Jakarta, di mana kondisi apa pun pasti tersembuhkan, terobati, jika sudah dari sana.
Mulai dari kepenatan, kerinduan, kecanduan, bahkan kepekatan.
Jakarta membuat aku menjadi baru saat kembali lagi ke Bandung.
Jadi kondisi dan suasana hati, otak, serta pikiran pun masih netral dan sejernih air.
Lambat laun, aku baru menyadari satu hal.
Bukan Bandung yang salah.
Bukan lingkungan dan sistem kampus yang bermasalah.
Justru pusat dari segala ketidakbetahan ini dibuat oleh diriku sendiri.
Mungkin karena memang aku tidak ingin beradaptasi dan beramah tamah dengan lingkungan di sini.
Dengan kata lain, usahaku belum maksimal untuk membuka hati dengan lingkungan di sini.
Sekarang aku mengerti apa yang sering orang-orang sebut sebagai zona nyaman.
Zona nyamanku adalah Jakarta beserta kepingan-kepingan kenangan dengan orang-orang di dalamnya.
Baik itu orang-orang dari masa lalu, saat ini, atau mungkin masa depan.
Dan seharusnya aku bertahan saat aku mulai keluar dari zona itu untuk menjadi pribadi yang lebih hidup.
Setidaknya dengan begitu, aku bisa melihat kehidupan Jakarta dari luar daerah itu sendiri.
Karena aku akan mengupayakan apa pun, aku akan berusaha sekeras mungkin, untuk tetap kembali ke sana dengan meninggalkan jejak baik dan bersahabat terhadap Bandung.
Aku tahu aku akan menyesal jika tidak memberikan kesempatan bagi Bandung dan isinya untuk sedikit saja menempati hatiku.
Namun, aku sudah mengetahui resikonya, aku siap untuk itu, aku siap untuk menyesal.
Maka, aku membiarkan Bandung sendiri yang perlahan membuka hatiku dan bersedia menyediakan ruang.
Aku masih memiliki kesempatan, dan aku akan berusaha sekeras mungkin menyatukan hatiku dengan kota ini beserta isinya.
Aku tidak akan menyerah, karena aku percaya aku memiliki kepribadian di atas rata-rata sehingga hal tersebut bukanlah hal yang tidak mungkin.
Sehingga Bandung dan Jakarta benar-benar sama hidupnya dalam hatiku.
-d-
Bismillahirrohmanirrohiim
Bismillahirrohmaanirrohiim
Maka, nikmat Tuhanmu yang manakah yang engkau dustakan?
Maka, nikmat Tuhanmu yang manakah yang engkau dustakan?
Sabtu, 21 Desember 2013
Badai Pasti Berlalu :)
Minggu ini merupakan minggu yang cukup hectic bagiku.
Dua minggu yang lalu pun sama hectic-nya seperti minggu ini.
Menantang dan melelahkan, kalau aku boleh jujur.
Karena biasanya pulang ke kosan sebelum pukul enam sore, sedangkan dua minggu lalu tiada hari tanpa pulang ke kosan setelah pukul delapan malam.
Tetapi, minggu hectic itu pun terlewati dengan sukses tanpa kekurangan suatu apa pun.
Maka aku percaya minggu ini pasti akan terlewati juga.
Terbukti dengan adanya postingan ini, di mana aku sedang hibernasi seharian di kosan tanpa melangkahkan kaki ke mana pun selain membeli makanan.
Dua minggu lalu, aku sebut menantang karena aku, untuk pertama dan terakhir kalinya dalam hidupku, membolos salah satu praktikum mata kuliah dan datang ke perkuliahan hanya untuk mengisi absen saja.
Ya mungkin aku berani karena bukan hanya aku yang seperti itu :D
Dua minggu lalu, kami, aku dan teman-teman sekelasku, berkutat di bengkel media pembelajaran untuk membuat alat peraga manual.
Penjelasan lebih lanjut, silahkan mengunjungi blog salah satu korban seperjuanganku untuk melihat kecaprukannya :D
Seperti hari ini, setelah minggu itu terlewati, di weekend aku sama sekali tidak menginjakkan kakiku ke mana pun selain membeli makanan.
Di sini, aku akan menjelaskan alasan mengapa minggu ini pun aku jadikan minggu yang hectic.
Pertama, dua minggu yang lalu juga, dengan asumsi ini merupakan sebuah kabar yang sangat baik, seorang dosen salah satu mata kuliah memberikan kami kesempatan untuk ‘menabung nilai.’
Menabung nilai di sini tentu mempunyai definisi tersendiri, di mana kami para mahasiswa yang mengontrak mata kuliahnya, diberi kesempatan untuk mengikuti ujian sebelum tanggal Ujian Akhir Semester yang sesungguhnya.
Selain ujian, kami pun diberi tugas yang mesti kudu harus wajib dikumpulkan paling lambat sebelum ujian ‘menabung nilai’ ini dimulai, yaitu tanggal 20 Desember 2013.
Sebut saja mata kuliahnya Geometri Transformasi, di mana kami harus berkutat dengan garis sejajar, garis tegak lurus, vektor, sudut, dan properti pelengkap lainnya yang cukup menguras otak untuk menyatupadukan mereka menjadi sebuah konstruksi transformasi yang diinginkan.
Kemudian, di mata kuliah lainnya, sebut saja Analisis Real, dosen yang diyakini sebagai ‘Malaikat Tanpa Sayap’ minggu lalu saat kuis tiba-tiba lupa untuk membawa soal Ujian Akhir Semester kami yang notabene memang didedikasikan sebagai ujian take home.
Alhasil, kami baru diberikan soal dan materi tambahan hari Rabu kemarin tanggal 18 Desember 2013 sedangkan deadline yang diberikan sama seperti deadline awal, yaitu 20 Desember 2013.
Tentu mata kuliah lain pun tidak ingin kalah untuk dapat berpartisipasi memeriahkan ke-hectic-an minggu ini.
Mata kuliah PLSBT juga diputuskan untuk mengadakan UAS hanya dengan observasi ke tempat-tempat kontroversi seperti tempat pembuatan tato, rehabilitasi narkoba atau HIV/AIDS, diskotik, dan lain sebagainya.
Kapan dikumpulnya? Tak lain dan tak bukan 20 Desember 2013, Pemirsah.
Mata kuliah media pembelajaran pun, lagi dan lagi, masih menginginkan perhatian dari kami semua bagi yang belum melakukan finishing touch agar dapat dinilai mempunyai harga jual yang tinggi.
Aku dituntut untuk semakin piawai membuat jadwal dan membuat to-do-list.
Sambil mengatur napas perlahan untuk menenangkan diri, tersusunlah jadwal dan to-do-list yang juga merupakan hasil diskusi antara beberapa teman satu kelompok.
Puncak hectic minggu ini adalah Kamis, sesaat sebelum esoknya ujian dan deadline mengumpulkan UAS yang take home.
Karena tidak kuat lagi, aku meletakkan pensilku, melepas kacamataku, dan aku mendengar suara isakanku sendiri yang lama kelamaan semakin kencang seiring dengan bertambah sesaknya dadaku.
My head is going to explode, batinku.
Sampai akhirnya, seorang sahabat SMA anggota Paskibra Angkatan 21, one of My Precious yang memberikanku pelajaran mengenai kehidupan dan membuatku percaya karena bukti nyata yang dia tunjukkan di hadapanku bahwa bumi ini berputar, sebut saja namanya Muhammad Irfan Zidni, bertanya ‘Kenapa?’ padaku.
Aku langsung menceritakan semua kondisi yang sedang aku hadapi tanpa adanya sedikit pun tabir, termasuk kondisi yang aku hadapi saat aku semester tiga dulu, membuatku semakin tidak dewasa sama sekali.
Aku mengaku padanya bahwa aku butuh banyak tips, saran dan nasihat agar aku tidak mudah goyah, karena aku tidak sekuat Della, aku tidak semandiri Rahma, aku tidak sedewasa Siti, dan aku tidak setangguh Aini yang mampu bertahan di segala kondisi.
Dan dia dapat menenangkan aku hanya dengan kurang lebih berkata:
Face it, Honey :) Jangan mau kalah sama keadaan apa pun. Ingat sama Mama, ya? :) ({}) Jalan kamu sebentar lagi, Din. Ibaratnya, sudah tinggal 5 meter lagi mencapai garis finish. Kamu harus kuat, harus bisa menyelesaikan apa yang sudah kamu mulai, ingat berapa banyak pengorbanan yang sudah kamu terima, jangan biarkan angin-angin itu memadamkan lilin semangat kamu :) Tidak ada yang menuntut kamu untuk jadi seperti Della, Rahma, Siti, dan Aini. Kita semua punya kekuatan dan keunikan masing-masing :) Seseorang bisa saja terlihat kuat dari luar, tapi kita tidak tahu, di balik kekuatan itu mungkin dia menyembunyikan kelemahan terbesarnya. Begitu juga sebaliknya :) Keep smile ya :)
Sungguh aku benar-benar langsung tersenyum mendengar nasihatnya.
Karena yang aku butuhkan bukan sebuah dorongan atau asupan semangat yang secara gamblang diucapkan.
Aku membutuhkan orang yang bersedia menyejajarkan matanya dengan mataku, kemudian bicara seolah ia merengkuh bahuku.
Dan orang-orang itu adalah orang-orang yang entah kenapa hanya bisa aku temukan di Jakarta.
Orang-orang yang mengerti bagaimana cara paling anggun dan tepat untuk bicara di berbagai situasi dan kondisi yang aku hadapi.
Orang-orang yang akan menyambutku jika aku mencapai puncak, tetapi juga orang-orang yang siap membangunkan aku saat aku terjatuh, di mana mereka pun sedang mendaki bersamaku.
Mulai dari Ibuku, keluarga ArFat-ku, dan Angkatan 21-ku.
Bukan orang-orang yang bisa dan biasa aku temukan di Bandung, yang notabene juga sedang mengalami ruang, masa, kesulitan, dan keresahan sepertiku.
Dan, minggu ini pun pada akhirnya berlalu, badai pun pasti berlalu, bukan?
Hal ini membuatku belajar untuk semakin siap dan percaya diri menghadapi hari-hari esok menyambut sinar mentari pagi :)))
Fabiayyi alaai Rabbi kuma tukadzdzibaan?
Maka, nikmat Tuhanmu yang manakah yang engkau dustakan?
Fa inna ma’al usri yusraan, inna ma’al usri yusraan.
Sesungguhnya di balik kesukaran, ada kemudahan. Di balik kesukaran, ada kemudahan.
-d-
Dua minggu yang lalu pun sama hectic-nya seperti minggu ini.
Menantang dan melelahkan, kalau aku boleh jujur.
Karena biasanya pulang ke kosan sebelum pukul enam sore, sedangkan dua minggu lalu tiada hari tanpa pulang ke kosan setelah pukul delapan malam.
Tetapi, minggu hectic itu pun terlewati dengan sukses tanpa kekurangan suatu apa pun.
Maka aku percaya minggu ini pasti akan terlewati juga.
Terbukti dengan adanya postingan ini, di mana aku sedang hibernasi seharian di kosan tanpa melangkahkan kaki ke mana pun selain membeli makanan.
Dua minggu lalu, aku sebut menantang karena aku, untuk pertama dan terakhir kalinya dalam hidupku, membolos salah satu praktikum mata kuliah dan datang ke perkuliahan hanya untuk mengisi absen saja.
Ya mungkin aku berani karena bukan hanya aku yang seperti itu :D
Dua minggu lalu, kami, aku dan teman-teman sekelasku, berkutat di bengkel media pembelajaran untuk membuat alat peraga manual.
Penjelasan lebih lanjut, silahkan mengunjungi blog salah satu korban seperjuanganku untuk melihat kecaprukannya :D
Seperti hari ini, setelah minggu itu terlewati, di weekend aku sama sekali tidak menginjakkan kakiku ke mana pun selain membeli makanan.
Di sini, aku akan menjelaskan alasan mengapa minggu ini pun aku jadikan minggu yang hectic.
Pertama, dua minggu yang lalu juga, dengan asumsi ini merupakan sebuah kabar yang sangat baik, seorang dosen salah satu mata kuliah memberikan kami kesempatan untuk ‘menabung nilai.’
Menabung nilai di sini tentu mempunyai definisi tersendiri, di mana kami para mahasiswa yang mengontrak mata kuliahnya, diberi kesempatan untuk mengikuti ujian sebelum tanggal Ujian Akhir Semester yang sesungguhnya.
Selain ujian, kami pun diberi tugas yang mesti kudu harus wajib dikumpulkan paling lambat sebelum ujian ‘menabung nilai’ ini dimulai, yaitu tanggal 20 Desember 2013.
Sebut saja mata kuliahnya Geometri Transformasi, di mana kami harus berkutat dengan garis sejajar, garis tegak lurus, vektor, sudut, dan properti pelengkap lainnya yang cukup menguras otak untuk menyatupadukan mereka menjadi sebuah konstruksi transformasi yang diinginkan.
Kemudian, di mata kuliah lainnya, sebut saja Analisis Real, dosen yang diyakini sebagai ‘Malaikat Tanpa Sayap’ minggu lalu saat kuis tiba-tiba lupa untuk membawa soal Ujian Akhir Semester kami yang notabene memang didedikasikan sebagai ujian take home.
Alhasil, kami baru diberikan soal dan materi tambahan hari Rabu kemarin tanggal 18 Desember 2013 sedangkan deadline yang diberikan sama seperti deadline awal, yaitu 20 Desember 2013.
Tentu mata kuliah lain pun tidak ingin kalah untuk dapat berpartisipasi memeriahkan ke-hectic-an minggu ini.
Mata kuliah PLSBT juga diputuskan untuk mengadakan UAS hanya dengan observasi ke tempat-tempat kontroversi seperti tempat pembuatan tato, rehabilitasi narkoba atau HIV/AIDS, diskotik, dan lain sebagainya.
Kapan dikumpulnya? Tak lain dan tak bukan 20 Desember 2013, Pemirsah.
Mata kuliah media pembelajaran pun, lagi dan lagi, masih menginginkan perhatian dari kami semua bagi yang belum melakukan finishing touch agar dapat dinilai mempunyai harga jual yang tinggi.
Aku dituntut untuk semakin piawai membuat jadwal dan membuat to-do-list.
Sambil mengatur napas perlahan untuk menenangkan diri, tersusunlah jadwal dan to-do-list yang juga merupakan hasil diskusi antara beberapa teman satu kelompok.
Puncak hectic minggu ini adalah Kamis, sesaat sebelum esoknya ujian dan deadline mengumpulkan UAS yang take home.
Karena tidak kuat lagi, aku meletakkan pensilku, melepas kacamataku, dan aku mendengar suara isakanku sendiri yang lama kelamaan semakin kencang seiring dengan bertambah sesaknya dadaku.
My head is going to explode, batinku.
Sampai akhirnya, seorang sahabat SMA anggota Paskibra Angkatan 21, one of My Precious yang memberikanku pelajaran mengenai kehidupan dan membuatku percaya karena bukti nyata yang dia tunjukkan di hadapanku bahwa bumi ini berputar, sebut saja namanya Muhammad Irfan Zidni, bertanya ‘Kenapa?’ padaku.
Aku langsung menceritakan semua kondisi yang sedang aku hadapi tanpa adanya sedikit pun tabir, termasuk kondisi yang aku hadapi saat aku semester tiga dulu, membuatku semakin tidak dewasa sama sekali.
Aku mengaku padanya bahwa aku butuh banyak tips, saran dan nasihat agar aku tidak mudah goyah, karena aku tidak sekuat Della, aku tidak semandiri Rahma, aku tidak sedewasa Siti, dan aku tidak setangguh Aini yang mampu bertahan di segala kondisi.
Dan dia dapat menenangkan aku hanya dengan kurang lebih berkata:
Face it, Honey :) Jangan mau kalah sama keadaan apa pun. Ingat sama Mama, ya? :) ({}) Jalan kamu sebentar lagi, Din. Ibaratnya, sudah tinggal 5 meter lagi mencapai garis finish. Kamu harus kuat, harus bisa menyelesaikan apa yang sudah kamu mulai, ingat berapa banyak pengorbanan yang sudah kamu terima, jangan biarkan angin-angin itu memadamkan lilin semangat kamu :) Tidak ada yang menuntut kamu untuk jadi seperti Della, Rahma, Siti, dan Aini. Kita semua punya kekuatan dan keunikan masing-masing :) Seseorang bisa saja terlihat kuat dari luar, tapi kita tidak tahu, di balik kekuatan itu mungkin dia menyembunyikan kelemahan terbesarnya. Begitu juga sebaliknya :) Keep smile ya :)
Sungguh aku benar-benar langsung tersenyum mendengar nasihatnya.
Karena yang aku butuhkan bukan sebuah dorongan atau asupan semangat yang secara gamblang diucapkan.
Aku membutuhkan orang yang bersedia menyejajarkan matanya dengan mataku, kemudian bicara seolah ia merengkuh bahuku.
Dan orang-orang itu adalah orang-orang yang entah kenapa hanya bisa aku temukan di Jakarta.
Orang-orang yang mengerti bagaimana cara paling anggun dan tepat untuk bicara di berbagai situasi dan kondisi yang aku hadapi.
Orang-orang yang akan menyambutku jika aku mencapai puncak, tetapi juga orang-orang yang siap membangunkan aku saat aku terjatuh, di mana mereka pun sedang mendaki bersamaku.
Mulai dari Ibuku, keluarga ArFat-ku, dan Angkatan 21-ku.
Bukan orang-orang yang bisa dan biasa aku temukan di Bandung, yang notabene juga sedang mengalami ruang, masa, kesulitan, dan keresahan sepertiku.
Dan, minggu ini pun pada akhirnya berlalu, badai pun pasti berlalu, bukan?
Hal ini membuatku belajar untuk semakin siap dan percaya diri menghadapi hari-hari esok menyambut sinar mentari pagi :)))
Fabiayyi alaai Rabbi kuma tukadzdzibaan?
Maka, nikmat Tuhanmu yang manakah yang engkau dustakan?
Fa inna ma’al usri yusraan, inna ma’al usri yusraan.
Sesungguhnya di balik kesukaran, ada kemudahan. Di balik kesukaran, ada kemudahan.
-d-
Kamis, 28 November 2013
Penyegaran Diri :D
Ceritanya, hari ini dapet beberapa hal menarik yang menambah warna dalam hariku.
Kejadian pertama.
Saat mata pelajaran Kapita Selekta Matematika II.
“Dina, kamu bawa BSE yang tentang materi Turunan nggak?” tanya Dini.
Iseng, aku menekuk wajahku, menjawab tanpa senyum dan dingin.
“Enggak. Memang kenapa? Kamu mau ngapain sih, Din? Mau tanya apa?” nada bicaraku datar, tapi sikap dan gesturku jauh dari kata ramah.
“Biasa aja kali mukanya, Din. Seyum coba.” Mpit yang ada di hadapanku menyeletuk, bukti nyata bahwa sedari tadi dia memperhatikan dengan seksama.
“Gitu ya?” Aku tertawa dan memasang wajah yang aku harap semanis mungkin lalu menatap Dini.
“Memang kenapa, Din? Mau tanya apa?” Aku kembali bertanya dengan nada dan gestur, bahkan raut wajah yang berbeda seratus delapan puluh derajat dari sebelumnya.
Dini dan Mpit tertawa bersamaan. “Nah, gitu kan enak dilihatnya!” seru Dini.
Kejadian Kedua.
Sesaat setelah pelajaran Kapita Selekta Matematika II berakhir.
Aku menghampiri sosok pria yang duduk di pojok belakang.
“Teh Dina, masa power bank-nya nggak masuk ke hp aku. Jadi aku pakai kabel datanya aja, pasang di laptop Parlin.” Aku disambut hangat dengan suara khas melayu milik Faridhul.
“Ah, masa? Coba sini aku lihat.”
Dia menyerahkan power bank dan hp-nya padaku, memperhatikan setiap gerak-gerikku.
“Iya, kan? Bener, kan? Nggak masuk.”
Aku mengangkat wajah untuk menatap matanya dan nyengir. “Iya, tadi sebentar doang masuknya. Terus nggak bisa lagi. Tapi di hp aku bisa. Nih,” Aku menunjukkan layar ponselku padanya dan dia langsung keheranan, mungkin bertanya-tanya apa yang salah dengan hp-nya.
“Sebenarnya, power bank itu nggak bagus buat hp kita tahu.” Mpit yang notabene ada di sampingku ikut angkat suara. “Karena bukan sumber utama. Sama kayak kalau hp kita merek BB, tapi kita pakai charger Samsung, itu juga bakal ngerusak.”
Aku dan Faridh langsung ber-Oh ria :D
Kemudian aku mulai meneliti suasana sekitarku, dan aku merasa saat ini merupakan momen yang pas untuk bicara dengan Faridh.
Akhirnya, aku tarik tas Faridh keluar kelas, Mpit yang memperhatikan kami langsung berseru padaku.
“Mau ke mana, Hey? Idul kan nggak ngontrak GeoTrans.”
Faridh juga hanya mengikuti dan rautnya penuh tanya. “Mende, ha?” tanya dia saat aku masih belum juga melepaskan tasnya.
“Aku harus ngomong sama kamu.”
“Ngomong apa? Ngomong lah.”
“Tapi aku takut.”
Dia memasang wajah sok serius. “Memang aku makan kamu? Apa kamu mau aku makan?”
Aku hanya memainkan jemari untuk menutupi kegugupanku. Faridh tersenyum dan menungguku bicara.
“Aku mimpi.” Aku memberanikan diri memulai.
“Mimpi apa?” tanya dia dengan gestur dan nada yang sabar.
“Aku mimpi kamu benci sama aku. Makanya sikap aku beberapa hari ini aneh ke kamu. Aku takut.”
Dia menahan tawa dan membalikan badannya. “Iya, aku benci sama kamu.”
Belum juga pembicaraan kami mencapai tuntas, Ira menghampiri kami dan bicara dengan Faridh mengenai presentasi. Kemudian datang Alfian dan Mpit yang ingin menukar uang padaku.
“Alfian, kau benci kan dengan Teh Dina?” tanya Idul dari belakangku pada Alfian.
Aku hanya nyengir dan bingung bagaimana melanjutkan pembicaraan ini. Maka aku mulai mengobrol dengan Mpit sampai akhirnya Faridh pergi dengan Alfian.
“Kami duluan ya,” Pamit mereka padaku dan Mpit.
Aku menghela napas, tidak tahu kapan bisa melanjutkan pembicaraan ini, fiuhh.
Kemudian kejadian ketiga, yang juga kejadian terakhir.
Sesaat sebelum pergi ke SMAN 3 Bandung, di depan ruang dosen Media Pembelajaran.
“Dina tuh ya, kalau marah ciri-cirinya nggak ada senyumnya sama sekali.” Komentar Dini.
“Iya betul. Kayak kemarin, dateng-dateng ke asrama ngebuat aku berspekulasi macem-macem. Ini anak marah atau kenapa? Makanya tadi pagi aku tegur aja.”
Aku tertawa seiring dengan komentar mereka tentangku, lumayan untuk dijadikan bahan evaluasi diri :D
“Tadi ya, pas kamu nanya pakai senyum, sumpah enak banget ngeliatnya, ke hati juga adem.”
Entah ini komentar jujur dan tulus seorang Dini atau memang dia sedang memberikan sugesti untukku agar selalu tersenyum.
“Kenapa? Kalau aku kayak begitu, kalian rasanya mau nonjok aku ya?” tanyaku tersenyum lebar dan sangat ingin tahu.
“Ya enggak sih. Aku kan udah biasa ngeliatnya. Tapi kalau orang baru? Kesel lah kalau berhadapan sama kamu yang kayak gitu.”
Nah, yang di atas tadi komentar Mpit, dan aku menerimanya dengan sangat lapang dada :D
Jadi intinya, aku beranggapan, setiap hari merupakan suatu kesempatan bagiku, bagi siapa pun, untuk menjadikan diri lebih baik dari sebelumnya.
Menjadi baru merupakan salah satu bentuk penyegaran diri.
Aku pun baru menyadari hal ini siang tadi.
Aku senang dikelilingi oleh orang-orang yang berani mengeluarkan pendapatnya mengenai aku.
Karena aku sudah terbiasa dengan kultur itu sejak SMA.
Dan juga, aku bukan tipe orang yang tidak mau dengar.
Bukan berarti aku tidak bisa menjadi diriku sendiri.
Tapi untuk menjadikan diri lebih baik, kenapa tidak? :)
-d-
Kejadian pertama.
Saat mata pelajaran Kapita Selekta Matematika II.
“Dina, kamu bawa BSE yang tentang materi Turunan nggak?” tanya Dini.
Iseng, aku menekuk wajahku, menjawab tanpa senyum dan dingin.
“Enggak. Memang kenapa? Kamu mau ngapain sih, Din? Mau tanya apa?” nada bicaraku datar, tapi sikap dan gesturku jauh dari kata ramah.
“Biasa aja kali mukanya, Din. Seyum coba.” Mpit yang ada di hadapanku menyeletuk, bukti nyata bahwa sedari tadi dia memperhatikan dengan seksama.
“Gitu ya?” Aku tertawa dan memasang wajah yang aku harap semanis mungkin lalu menatap Dini.
“Memang kenapa, Din? Mau tanya apa?” Aku kembali bertanya dengan nada dan gestur, bahkan raut wajah yang berbeda seratus delapan puluh derajat dari sebelumnya.
Dini dan Mpit tertawa bersamaan. “Nah, gitu kan enak dilihatnya!” seru Dini.
Kejadian Kedua.
Sesaat setelah pelajaran Kapita Selekta Matematika II berakhir.
Aku menghampiri sosok pria yang duduk di pojok belakang.
“Teh Dina, masa power bank-nya nggak masuk ke hp aku. Jadi aku pakai kabel datanya aja, pasang di laptop Parlin.” Aku disambut hangat dengan suara khas melayu milik Faridhul.
“Ah, masa? Coba sini aku lihat.”
Dia menyerahkan power bank dan hp-nya padaku, memperhatikan setiap gerak-gerikku.
“Iya, kan? Bener, kan? Nggak masuk.”
Aku mengangkat wajah untuk menatap matanya dan nyengir. “Iya, tadi sebentar doang masuknya. Terus nggak bisa lagi. Tapi di hp aku bisa. Nih,” Aku menunjukkan layar ponselku padanya dan dia langsung keheranan, mungkin bertanya-tanya apa yang salah dengan hp-nya.
“Sebenarnya, power bank itu nggak bagus buat hp kita tahu.” Mpit yang notabene ada di sampingku ikut angkat suara. “Karena bukan sumber utama. Sama kayak kalau hp kita merek BB, tapi kita pakai charger Samsung, itu juga bakal ngerusak.”
Aku dan Faridh langsung ber-Oh ria :D
Kemudian aku mulai meneliti suasana sekitarku, dan aku merasa saat ini merupakan momen yang pas untuk bicara dengan Faridh.
Akhirnya, aku tarik tas Faridh keluar kelas, Mpit yang memperhatikan kami langsung berseru padaku.
“Mau ke mana, Hey? Idul kan nggak ngontrak GeoTrans.”
Faridh juga hanya mengikuti dan rautnya penuh tanya. “Mende, ha?” tanya dia saat aku masih belum juga melepaskan tasnya.
“Aku harus ngomong sama kamu.”
“Ngomong apa? Ngomong lah.”
“Tapi aku takut.”
Dia memasang wajah sok serius. “Memang aku makan kamu? Apa kamu mau aku makan?”
Aku hanya memainkan jemari untuk menutupi kegugupanku. Faridh tersenyum dan menungguku bicara.
“Aku mimpi.” Aku memberanikan diri memulai.
“Mimpi apa?” tanya dia dengan gestur dan nada yang sabar.
“Aku mimpi kamu benci sama aku. Makanya sikap aku beberapa hari ini aneh ke kamu. Aku takut.”
Dia menahan tawa dan membalikan badannya. “Iya, aku benci sama kamu.”
Belum juga pembicaraan kami mencapai tuntas, Ira menghampiri kami dan bicara dengan Faridh mengenai presentasi. Kemudian datang Alfian dan Mpit yang ingin menukar uang padaku.
“Alfian, kau benci kan dengan Teh Dina?” tanya Idul dari belakangku pada Alfian.
Aku hanya nyengir dan bingung bagaimana melanjutkan pembicaraan ini. Maka aku mulai mengobrol dengan Mpit sampai akhirnya Faridh pergi dengan Alfian.
“Kami duluan ya,” Pamit mereka padaku dan Mpit.
Aku menghela napas, tidak tahu kapan bisa melanjutkan pembicaraan ini, fiuhh.
Kemudian kejadian ketiga, yang juga kejadian terakhir.
Sesaat sebelum pergi ke SMAN 3 Bandung, di depan ruang dosen Media Pembelajaran.
“Dina tuh ya, kalau marah ciri-cirinya nggak ada senyumnya sama sekali.” Komentar Dini.
“Iya betul. Kayak kemarin, dateng-dateng ke asrama ngebuat aku berspekulasi macem-macem. Ini anak marah atau kenapa? Makanya tadi pagi aku tegur aja.”
Aku tertawa seiring dengan komentar mereka tentangku, lumayan untuk dijadikan bahan evaluasi diri :D
“Tadi ya, pas kamu nanya pakai senyum, sumpah enak banget ngeliatnya, ke hati juga adem.”
Entah ini komentar jujur dan tulus seorang Dini atau memang dia sedang memberikan sugesti untukku agar selalu tersenyum.
“Kenapa? Kalau aku kayak begitu, kalian rasanya mau nonjok aku ya?” tanyaku tersenyum lebar dan sangat ingin tahu.
“Ya enggak sih. Aku kan udah biasa ngeliatnya. Tapi kalau orang baru? Kesel lah kalau berhadapan sama kamu yang kayak gitu.”
Nah, yang di atas tadi komentar Mpit, dan aku menerimanya dengan sangat lapang dada :D
Jadi intinya, aku beranggapan, setiap hari merupakan suatu kesempatan bagiku, bagi siapa pun, untuk menjadikan diri lebih baik dari sebelumnya.
Menjadi baru merupakan salah satu bentuk penyegaran diri.
Aku pun baru menyadari hal ini siang tadi.
Aku senang dikelilingi oleh orang-orang yang berani mengeluarkan pendapatnya mengenai aku.
Karena aku sudah terbiasa dengan kultur itu sejak SMA.
Dan juga, aku bukan tipe orang yang tidak mau dengar.
Bukan berarti aku tidak bisa menjadi diriku sendiri.
Tapi untuk menjadikan diri lebih baik, kenapa tidak? :)
-d-
Senin, 25 November 2013
Berawal Dari Sebuah Mimpi
"Muhammad Faridhul Akbar."
"Mbehal?"
". . ."
Begitu banyak hal yang tiba-tiba terpikirkan pagi ini.
Memimpikan orang yang dekat dengan kita berujung dengan membenci kita cukup untuk memberi label nightmare pada mimpiku.
Dulu, bahkan terkadang mimpi tersebut masih suka menghinggapi,
Aku memimpikan pemegang hatiku sejak delapan tahun lalu itu membenciku.
Aku menyuarakan apa yang ada dipiranku.
Aku bertanya tanpa tedeng aling-aling padanya, "Apa kamu membenciku?"
Dia hanya merespon dengan membercandai aku dan berakhir dengan suasana hatiku yang membaik karena polahnya.
Kali ini, malamku dihinggapi mimpi yang sama.
Sudah dua malam berturut-turut.
Hanya saja aku memimpikan Faridh yang membenci aku.
Maka dari itu sejak pagi aku begitu takut menatap wajah apalagi matanya.
Aku tidak ingin melakukan hal-hal yang tanpa aku sadari membuat dia membenciku seperti di mimpi itu.
Karena bagiku, mengetahui ada seseorang yang membenciku merupakan hal yang tidak mudah, aku harus mencari cara agar orang tersebut tak lagi mempunyai rasa benci itu terhadapku.
Dulu Faridh memang pernah berjanji, apa pun yang terjadi antara kami, tidak akan membuat dia berujung dengan membenciku.
Aku yang membuatnya berjanji seperti itu.
Walau aku menemukan keseriusan saat dia berjanji, aku masih dihinggapi rasa takut dan aku butuh memastikan sekali lagi setelah datangnya mimpi ini.
Maka aku ingin tahu apa dia masih ingat dengan janjinya dulu.
Banyak kata-kata yang sudah aku rangkum untuk dibicarakan dengannya.
Tetapi saat aku hendak bicara, keberanian dalam diriku menghilang dan menciut entah ke mana.
Saat aku berhadapan dengannya pun, mulutku terkunci rapat-rapat untuk menahanku bicara selain apa yang memang perlu dibicarakan dengannya.
Bahkan saat dia mulai membercandai aku dengan mengukur tinggi badanku menggunakan rentangan tangannya, berusaha untuk mencairkan suasana.
Ya mungkin aku memang tidak diberikan kesempatan bicara mengenai mimpiku ini dengannya.
Karena memang bukan sesuatu yang penting untuk dibicarakan dan bukanlah sesuatu yang penting untuk dikhawatirkan.
Mengingat dia sudah berjanji padaku . . .
NB : Oh ya, ngomong-ngomong siapa itu Muhammad Faridhul Akbar a.k.a Faridh atau Idhul?
Ladies and gentlemen, please welcome a friend of mine, my classmate in college, the most handsome island boys, and the best guy of this world have ever had.
-d-
"Mbehal?"
". . ."
Begitu banyak hal yang tiba-tiba terpikirkan pagi ini.
Memimpikan orang yang dekat dengan kita berujung dengan membenci kita cukup untuk memberi label nightmare pada mimpiku.
Dulu, bahkan terkadang mimpi tersebut masih suka menghinggapi,
Aku memimpikan pemegang hatiku sejak delapan tahun lalu itu membenciku.
Aku menyuarakan apa yang ada dipiranku.
Aku bertanya tanpa tedeng aling-aling padanya, "Apa kamu membenciku?"
Dia hanya merespon dengan membercandai aku dan berakhir dengan suasana hatiku yang membaik karena polahnya.
Kali ini, malamku dihinggapi mimpi yang sama.
Sudah dua malam berturut-turut.
Hanya saja aku memimpikan Faridh yang membenci aku.
Maka dari itu sejak pagi aku begitu takut menatap wajah apalagi matanya.
Aku tidak ingin melakukan hal-hal yang tanpa aku sadari membuat dia membenciku seperti di mimpi itu.
Karena bagiku, mengetahui ada seseorang yang membenciku merupakan hal yang tidak mudah, aku harus mencari cara agar orang tersebut tak lagi mempunyai rasa benci itu terhadapku.
Dulu Faridh memang pernah berjanji, apa pun yang terjadi antara kami, tidak akan membuat dia berujung dengan membenciku.
Aku yang membuatnya berjanji seperti itu.
Walau aku menemukan keseriusan saat dia berjanji, aku masih dihinggapi rasa takut dan aku butuh memastikan sekali lagi setelah datangnya mimpi ini.
Maka aku ingin tahu apa dia masih ingat dengan janjinya dulu.
Banyak kata-kata yang sudah aku rangkum untuk dibicarakan dengannya.
Tetapi saat aku hendak bicara, keberanian dalam diriku menghilang dan menciut entah ke mana.
Saat aku berhadapan dengannya pun, mulutku terkunci rapat-rapat untuk menahanku bicara selain apa yang memang perlu dibicarakan dengannya.
Bahkan saat dia mulai membercandai aku dengan mengukur tinggi badanku menggunakan rentangan tangannya, berusaha untuk mencairkan suasana.
Ya mungkin aku memang tidak diberikan kesempatan bicara mengenai mimpiku ini dengannya.
Karena memang bukan sesuatu yang penting untuk dibicarakan dan bukanlah sesuatu yang penting untuk dikhawatirkan.
Mengingat dia sudah berjanji padaku . . .
NB : Oh ya, ngomong-ngomong siapa itu Muhammad Faridhul Akbar a.k.a Faridh atau Idhul?
Ladies and gentlemen, please welcome a friend of mine, my classmate in college, the most handsome island boys, and the best guy of this world have ever had.
-d-
Kamis, 21 November 2013
Moes Sore Hari
Saat baru saja menapaki Gang Darmawinata karena ingin langsung pulang, tiba-tiba aku mendapat pesan dari seorang teman, anggap namanya Ehom.
"dmn na?"
Tanpa berpikir, aku balik belakang dan kembali ke kampusku yang terjangkau hanya dalam beberapa langkah itu.
"Di depan JICA hooom. Hehe."
Tak lama ponselku bergetar lagi. "tungguuu."
Aku pun terduduk dan memijit-mijit kakiku yang habis menjadi korban diriku sendiri, entah kenapa tidak ada angin tidak ada hujan, terkilir karena terjatuh dari tangga.
Untungnya Ehom tidak membiarkanku menunggu lama.
"Moes, yuk."
Aku hanya mengangguk dan berjalanlah kami ke warung yang menyediakan rendang, soto, kari, dan ayam bawang dalam bentuk mie itu.
Makanan favorit dan menjadi satu-satunya makanan mahasiswa di akhir bulan.
Singkat cerita kami memesan dua mie goreng telur, dimulailah percakapan random, yang kalau dulu dibicarakan akan langsung membuatku berpikir dan bertindak gegabah, sedangkan sekarang bagiku cukup hanya dengan menghela napas.
Karena bagiku, oknum yang jadi bahan pembicaraan kita bukanlah siapa-siapa, bukanlah apa-apa.
Sekali waktu aku bilang ke Ehom di suatu lorong bernama Geometri Transformasi.
"Kamu kemarin bilang, itu caranya dia untuk membuat aku netral. Dengan menjauhi dan sama sekali tidak bicara denganku. Dan pada akhirnya dia akan kembali saat aku benar-benar sudah netral seperti saat ini. Makanya dia mulai berani bicara padaku lagi. Begitu kan pendapatmu? Tapi menurutku, diamnya dan menjauhnya dia dari aku bukan untuk menunggu aku netral, tapi untuk membuat aku justru jadi segan mau bicara sama dia. Dia yang sudah membuat aku jadi malas berbincang dengannya."
Itu yang kurang lebih terucap atau mungkin yang ingin aku sampaikan ke Ehom.
Aku yakin teman-temanku mengerti betapa tersiksanya aku, betapa benar-benar tersudutkannya aku, saat mereka bisa bercanda tawa dengannya tetapi aku benar-benar kasat mata di hadapannya.
Jujur masa-masa saat dia mulai beraksi tidak jelas dan bertingkah seenaknya merupakan masa-masa yang sulit bagiku.
Karena hidup dengan beranggapan atau berspkulasi ada orang yang membenciku tidaklah mudah.
Aku selalu bertanya-tanya, sebenci apakah dia sama aku?
Kesalahan apa yang aku perbuat padanya? Sampai-sampai dia bersikap seolah aku ini semut yang bisa terinjak kapan saja.
Dulu aku selalu berharap, akan jauh lebih baik setidaknya, kalau dia meluapkan amarahnya padaku sehingga tidak meninggalkan jejak luka apa pun di hati kami.
Saat itu, satu alasan kenapa aku bertahan, teman-temanku sama sekali tidak meninggalkan aku.
Kemudian, seiring dengan berkurangnya frekuensi dia memunculkan wajah di hadapanku, aku menjadi semakin ringan melangkah, merasa matahari mulai menyinari dan menghangati hari-hariku.
Tetapi seperti siang lalu, setelah melewatkan banyak perkuliahan, akhirnya dia muncul kembali.
Awalnya melihat dia, aku lega.
Tapi lama kelamaan emosi menggerogoti diriku.
Ini dia maksudnya apa? Kenapa? Kok bisa?
Segala pertanyaan yang tidak mungkin dan tidak butuh terjawab membuatku sama sekali tidak bisa berpikir dan benar-benar ingin meninjunya, menendang perutnya, meneriakinya, membenturkan kepalanya ke tembok, atau apapun yang bisa melampiaskan emosiku padanya.
Tapi aku sadar, aku sudah bertekad tidak akan pernah melakukan hal yang tidak ber-etika dan tidak elegan seperti itu.
Jadi seperti yang aku bilang sebelumnya, saat ini menghela napas sudah lebih dari cukup bagiku terkait dia untuk membuatku terhindar dari perbuatan-perbuatan tadi.
Bahkan kalau bisa, aku tidak ingin mengenalnya, walau hanya namanya saja sekali-pun.
Entah apa ini artinya. Bencikah, kecewakah, aku tidak mengerti.
Yang jelas, orang seperti dia tidak pantas ada dalam ingatanku.
Sarkastis memang, tetapi dia yang sudah membuatku jadi seperti ini.
Ya, sesimpel itu, yang membuat hari-hariku selama ini kembali tersiram sinar mentari, seperti matahari yang mengikuti langkahku dan Ehom sekeluarnya dari Moes ini.
-d-
"dmn na?"
Tanpa berpikir, aku balik belakang dan kembali ke kampusku yang terjangkau hanya dalam beberapa langkah itu.
"Di depan JICA hooom. Hehe."
Tak lama ponselku bergetar lagi. "tungguuu."
Aku pun terduduk dan memijit-mijit kakiku yang habis menjadi korban diriku sendiri, entah kenapa tidak ada angin tidak ada hujan, terkilir karena terjatuh dari tangga.
Untungnya Ehom tidak membiarkanku menunggu lama.
"Moes, yuk."
Aku hanya mengangguk dan berjalanlah kami ke warung yang menyediakan rendang, soto, kari, dan ayam bawang dalam bentuk mie itu.
Makanan favorit dan menjadi satu-satunya makanan mahasiswa di akhir bulan.
Singkat cerita kami memesan dua mie goreng telur, dimulailah percakapan random, yang kalau dulu dibicarakan akan langsung membuatku berpikir dan bertindak gegabah, sedangkan sekarang bagiku cukup hanya dengan menghela napas.
Karena bagiku, oknum yang jadi bahan pembicaraan kita bukanlah siapa-siapa, bukanlah apa-apa.
Sekali waktu aku bilang ke Ehom di suatu lorong bernama Geometri Transformasi.
"Kamu kemarin bilang, itu caranya dia untuk membuat aku netral. Dengan menjauhi dan sama sekali tidak bicara denganku. Dan pada akhirnya dia akan kembali saat aku benar-benar sudah netral seperti saat ini. Makanya dia mulai berani bicara padaku lagi. Begitu kan pendapatmu? Tapi menurutku, diamnya dan menjauhnya dia dari aku bukan untuk menunggu aku netral, tapi untuk membuat aku justru jadi segan mau bicara sama dia. Dia yang sudah membuat aku jadi malas berbincang dengannya."
Itu yang kurang lebih terucap atau mungkin yang ingin aku sampaikan ke Ehom.
Aku yakin teman-temanku mengerti betapa tersiksanya aku, betapa benar-benar tersudutkannya aku, saat mereka bisa bercanda tawa dengannya tetapi aku benar-benar kasat mata di hadapannya.
Jujur masa-masa saat dia mulai beraksi tidak jelas dan bertingkah seenaknya merupakan masa-masa yang sulit bagiku.
Karena hidup dengan beranggapan atau berspkulasi ada orang yang membenciku tidaklah mudah.
Aku selalu bertanya-tanya, sebenci apakah dia sama aku?
Kesalahan apa yang aku perbuat padanya? Sampai-sampai dia bersikap seolah aku ini semut yang bisa terinjak kapan saja.
Dulu aku selalu berharap, akan jauh lebih baik setidaknya, kalau dia meluapkan amarahnya padaku sehingga tidak meninggalkan jejak luka apa pun di hati kami.
Saat itu, satu alasan kenapa aku bertahan, teman-temanku sama sekali tidak meninggalkan aku.
Kemudian, seiring dengan berkurangnya frekuensi dia memunculkan wajah di hadapanku, aku menjadi semakin ringan melangkah, merasa matahari mulai menyinari dan menghangati hari-hariku.
Tetapi seperti siang lalu, setelah melewatkan banyak perkuliahan, akhirnya dia muncul kembali.
Awalnya melihat dia, aku lega.
Tapi lama kelamaan emosi menggerogoti diriku.
Ini dia maksudnya apa? Kenapa? Kok bisa?
Segala pertanyaan yang tidak mungkin dan tidak butuh terjawab membuatku sama sekali tidak bisa berpikir dan benar-benar ingin meninjunya, menendang perutnya, meneriakinya, membenturkan kepalanya ke tembok, atau apapun yang bisa melampiaskan emosiku padanya.
Tapi aku sadar, aku sudah bertekad tidak akan pernah melakukan hal yang tidak ber-etika dan tidak elegan seperti itu.
Jadi seperti yang aku bilang sebelumnya, saat ini menghela napas sudah lebih dari cukup bagiku terkait dia untuk membuatku terhindar dari perbuatan-perbuatan tadi.
Bahkan kalau bisa, aku tidak ingin mengenalnya, walau hanya namanya saja sekali-pun.
Entah apa ini artinya. Bencikah, kecewakah, aku tidak mengerti.
Yang jelas, orang seperti dia tidak pantas ada dalam ingatanku.
Sarkastis memang, tetapi dia yang sudah membuatku jadi seperti ini.
Ya, sesimpel itu, yang membuat hari-hariku selama ini kembali tersiram sinar mentari, seperti matahari yang mengikuti langkahku dan Ehom sekeluarnya dari Moes ini.
-d-
Jumat, 18 Oktober 2013
Hujan di Pelupuk Senja :)
Beberapa hari ini hujan tidak ingin kehilangan eksistensinya dalam peradaban manusia, khususnya manusia Bandung.
Aku tidak mengerti kenapa beberapa orang menyukai hujan.
Dan apa yang terjadi di tengah hujan, identik dengan keromantisan.
Entah itu bahkan hanya menunggu di tempat teduh yang sama saat hujan dan berujung pada perasaan, macam ftv saja.
Aku termasuk salah satu orang yang minoritas karena tidak terlalu menyukai hujan.
Kalau kata Bella Swan dalam film Twilight,
"I don't really like the rain, any cold, or wet things."
Ya kira-kira seperti itulah gambaran aku mengenai hujan di samping alasan takutnya aku terhadap petir.
Walau ada beberapa kisah menarikku, terutama di saat masa kecil, yang mengikutsertakan hujan untuk memberikan kenangan pada memorinya.
Bagiku, dengan adanya hujan, aku kehilangan kesempatan untuk menikmati hadirnya senja.
Jingganya yang mendominasi membuatku merasa damai hingga sukma.
Alasanku menyukai senja adalah senyumannya.
Kami sering bertukar senyum saat senja menampakkan wujudnya.
Berbagi tawa dan kisah yang jauh lebih menyegarkan dari guyuran hujan.
Menikmati hilangnya matahari yang malu-malu ke permukaan seolah begitu merindukan senjanya.
Membuatku merasa, apa aku bisa menjauh dari sosok ini yang bahkan aku tak tahu kapan aku bisa menggenggam hatinya.
Membuatku merasa, apa cinta ini akan ada habisnya?
Sosoknya ibarat candu bagiku, satu-satunya heroin yang paling dan sangat berpengaruh saat malam dan siangku.
Penantian ini, akankah berakhir?
Aku merasa benar-benar jatuh terlalu dalam cintanya.
Sampai-sampai aku merasa yakin.
Dari dunia atau dimensi mana pun,
Seribu tahun atau sejuta tahun lagi pun aku baru dipertemukan dengannya,
Aku akan tetap dan selalu mencintai dia tanpa syarat.
-d-
Aku tidak mengerti kenapa beberapa orang menyukai hujan.
Dan apa yang terjadi di tengah hujan, identik dengan keromantisan.
Entah itu bahkan hanya menunggu di tempat teduh yang sama saat hujan dan berujung pada perasaan, macam ftv saja.
Aku termasuk salah satu orang yang minoritas karena tidak terlalu menyukai hujan.
Kalau kata Bella Swan dalam film Twilight,
"I don't really like the rain, any cold, or wet things."
Ya kira-kira seperti itulah gambaran aku mengenai hujan di samping alasan takutnya aku terhadap petir.
Walau ada beberapa kisah menarikku, terutama di saat masa kecil, yang mengikutsertakan hujan untuk memberikan kenangan pada memorinya.
Bagiku, dengan adanya hujan, aku kehilangan kesempatan untuk menikmati hadirnya senja.
Jingganya yang mendominasi membuatku merasa damai hingga sukma.
Alasanku menyukai senja adalah senyumannya.
Kami sering bertukar senyum saat senja menampakkan wujudnya.
Berbagi tawa dan kisah yang jauh lebih menyegarkan dari guyuran hujan.
Menikmati hilangnya matahari yang malu-malu ke permukaan seolah begitu merindukan senjanya.
Membuatku merasa, apa aku bisa menjauh dari sosok ini yang bahkan aku tak tahu kapan aku bisa menggenggam hatinya.
Membuatku merasa, apa cinta ini akan ada habisnya?
Sosoknya ibarat candu bagiku, satu-satunya heroin yang paling dan sangat berpengaruh saat malam dan siangku.
Penantian ini, akankah berakhir?
Aku merasa benar-benar jatuh terlalu dalam cintanya.
Sampai-sampai aku merasa yakin.
Dari dunia atau dimensi mana pun,
Seribu tahun atau sejuta tahun lagi pun aku baru dipertemukan dengannya,
Aku akan tetap dan selalu mencintai dia tanpa syarat.
-d-
Kebudayaan dan Peradaban
Banyak yang menginginkan untuk menjadi berguna bagi orang-orang atau lingkungan sekitarnya.
Tapi, untuk menjadi pribadi yang terintegritas, janganlah terlalu naif dalam menilai pandangan tersebut.
Karena tukang sapu pun sangat berguna bagi orang-orang dan lingkungan sekitarnya.
Dengan kata lain, jika dipandang dari segala aspek, semua pekerjaan atau profesi, apa pun itu,
Akan memberikan kepuasan tersendiri bagi masing-masing individu dan akan sama terhormatnya di mata Alloh SWT jika diiringi dengan sabar dan syukur.
Jadi yang membedakan memang kualitas dari masing-masing manusianya.
Tadi di kelas ada perbincangan mengenai keterpaduan antara etika, estetika, dan moral dalam suatu individu.
Menurutku sendiri, ketiganya memang berkaitan erat satu sama lain ya.
Dari kecil, setiap individu pasti sudah ditanamkan etika dalam bersikap dan bertingkah laku.
Baik itu berlandaskan religi, hukum, budaya, norma, atau nilai.
Seiring dengan berjalanya waktu, dengan sudah mengertinya kita akan fungsi dari etika-etika tersebut, kita mulai tertantang atau merasa dituntut untuk bersikap dengan anggun dan indah.
Itulah yang kita kenal dengan estetika.
Sebagai gambaran, kita tahu menolong orang yang kesusahan merupakan suatu etika yang baik.
Tetapi dengan estetika, kita jadi mengerti bagaimana cara menolong orang yang kesusahan dengan benar, sesuai pada tempatnya, sesuai dengan siapa lawan bicara kita, sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada, juga dipandang dari sisi lain yang masuk akal atau rasional.
Kemudian moral itu sendiri yang pada akhirnya membatasi segala sikap dan tingkah laku kita.
Titik pusat di mana kita akan memilih apa mau menjadi individu yang terintegrasi, bahasa kasarnya ‘beradab’, atau justru menjadi individu yang dengan segala etika dan keanggunannya justru melakukan hal-hal yang bertentangan dengan nilai dan norma yang berlaku.
Jadi tiga hal tadi memang sangat berkaitan erat satu sama lain untuk memunculkan suatu kebudayaan dan peradaban di tengah-tengah individu.
Kemudian saat perkuliahan tadi ada salah satu teman bertanya,
Apakah cinta merupakan suatu kebudayaan? Lalu bagaimana dengan pengkhianatan?
Bukannya bermaksud ingin menyaingi para sastrawan dan para pujangga,
Juga sama sekali tidak bermaksud merasa lebih tahu dari pakar-pakar cinta yang sekarang sedang eksis.
Tapi menurutku, cinta itu bukan suatu kebudayaan.
Walau kebudayaan memang muncul dari adanya kebiasaan-kebiasaan,
Dan cinta yang memang muncul karena adanya intensitas waktu bersama tidaklah sedikit.
Coba kalau kita pandang dari sisi bagaimana dua hal tersebut bisa muncul.
Untuk menjadi sebuah kebudayaan, jelas suatu kebiasaan tidak melalui proses yang instan.
Kita tidak bisa memilih kebiasaan secara asal untuk dijadikan sebuah kebudayaan karena hanya akan berujung pada kehancuran.
Walau memang masih terkenal sebagai sesuatu yang subjektif, kebudayaan di sini jelas bukan hanya milik satu individu, tetapi milik sekumpulan individu yang memiliki sudut pandang, tujuan, ide atau gagasan yang sama.
Sedangkan kalau cinta, dia tidak pernah sudi memberi tahu ke mana arah dan tujuannya.
Tidak ada kata lain yang dapat mendeskripsikan selain takdir dan fitrah perihal cinta ini.
Karena menurutku, salah satu alasan mengapa individu memiliki keinginan untuk bertahan adalah cinta.
Cinta pada Sang Pencipta, pada orang tua yang telah membesarkannya, atau bahkan pada lawan jenis yang akan menjadi teman hidup sampai akhir hayatnya.
Dan cinta juga identik dengan sensasinya yang tidak unik dan beragam.
Akan berdampak positif jika cinta yang dimiliki oleh seorang individu sejalan dengan pilihannya.
Tetapi kalau cinta tersebut justru berlawanan dengan apa yang diharapkan?
Seolah hal tersebut bahkan dapat membangunkan monster yang sudah lama tidur dalam diri individu tersebut.
Jadi, cinta dan kebudayaan jelas merupakan hal yang berbeda.
Bagaimana dengan pengkhianatan?
Jelas merupakan hal yang menyakitkan ya.
Hanya keikhlasan obat paling ampuh sebagai penangkalnya.
Tentu hal tersebut bukan hal yang mudah, tetapi bukan juga tidak mungkin :D
Nah, itulah sepenggal pendapat dari jiwa melankolis ini.
Yang tertarik dengan berbagai kebudayaan yang beragam dan berbeda-beda.
Karena perbedaan itulah yang memunculkan peradaban ^^
-d-
Tapi, untuk menjadi pribadi yang terintegritas, janganlah terlalu naif dalam menilai pandangan tersebut.
Karena tukang sapu pun sangat berguna bagi orang-orang dan lingkungan sekitarnya.
Dengan kata lain, jika dipandang dari segala aspek, semua pekerjaan atau profesi, apa pun itu,
Akan memberikan kepuasan tersendiri bagi masing-masing individu dan akan sama terhormatnya di mata Alloh SWT jika diiringi dengan sabar dan syukur.
Jadi yang membedakan memang kualitas dari masing-masing manusianya.
Tadi di kelas ada perbincangan mengenai keterpaduan antara etika, estetika, dan moral dalam suatu individu.
Menurutku sendiri, ketiganya memang berkaitan erat satu sama lain ya.
Dari kecil, setiap individu pasti sudah ditanamkan etika dalam bersikap dan bertingkah laku.
Baik itu berlandaskan religi, hukum, budaya, norma, atau nilai.
Seiring dengan berjalanya waktu, dengan sudah mengertinya kita akan fungsi dari etika-etika tersebut, kita mulai tertantang atau merasa dituntut untuk bersikap dengan anggun dan indah.
Itulah yang kita kenal dengan estetika.
Sebagai gambaran, kita tahu menolong orang yang kesusahan merupakan suatu etika yang baik.
Tetapi dengan estetika, kita jadi mengerti bagaimana cara menolong orang yang kesusahan dengan benar, sesuai pada tempatnya, sesuai dengan siapa lawan bicara kita, sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada, juga dipandang dari sisi lain yang masuk akal atau rasional.
Kemudian moral itu sendiri yang pada akhirnya membatasi segala sikap dan tingkah laku kita.
Titik pusat di mana kita akan memilih apa mau menjadi individu yang terintegrasi, bahasa kasarnya ‘beradab’, atau justru menjadi individu yang dengan segala etika dan keanggunannya justru melakukan hal-hal yang bertentangan dengan nilai dan norma yang berlaku.
Jadi tiga hal tadi memang sangat berkaitan erat satu sama lain untuk memunculkan suatu kebudayaan dan peradaban di tengah-tengah individu.
Kemudian saat perkuliahan tadi ada salah satu teman bertanya,
Apakah cinta merupakan suatu kebudayaan? Lalu bagaimana dengan pengkhianatan?
Bukannya bermaksud ingin menyaingi para sastrawan dan para pujangga,
Juga sama sekali tidak bermaksud merasa lebih tahu dari pakar-pakar cinta yang sekarang sedang eksis.
Tapi menurutku, cinta itu bukan suatu kebudayaan.
Walau kebudayaan memang muncul dari adanya kebiasaan-kebiasaan,
Dan cinta yang memang muncul karena adanya intensitas waktu bersama tidaklah sedikit.
Coba kalau kita pandang dari sisi bagaimana dua hal tersebut bisa muncul.
Untuk menjadi sebuah kebudayaan, jelas suatu kebiasaan tidak melalui proses yang instan.
Kita tidak bisa memilih kebiasaan secara asal untuk dijadikan sebuah kebudayaan karena hanya akan berujung pada kehancuran.
Walau memang masih terkenal sebagai sesuatu yang subjektif, kebudayaan di sini jelas bukan hanya milik satu individu, tetapi milik sekumpulan individu yang memiliki sudut pandang, tujuan, ide atau gagasan yang sama.
Sedangkan kalau cinta, dia tidak pernah sudi memberi tahu ke mana arah dan tujuannya.
Tidak ada kata lain yang dapat mendeskripsikan selain takdir dan fitrah perihal cinta ini.
Karena menurutku, salah satu alasan mengapa individu memiliki keinginan untuk bertahan adalah cinta.
Cinta pada Sang Pencipta, pada orang tua yang telah membesarkannya, atau bahkan pada lawan jenis yang akan menjadi teman hidup sampai akhir hayatnya.
Dan cinta juga identik dengan sensasinya yang tidak unik dan beragam.
Akan berdampak positif jika cinta yang dimiliki oleh seorang individu sejalan dengan pilihannya.
Tetapi kalau cinta tersebut justru berlawanan dengan apa yang diharapkan?
Seolah hal tersebut bahkan dapat membangunkan monster yang sudah lama tidur dalam diri individu tersebut.
Jadi, cinta dan kebudayaan jelas merupakan hal yang berbeda.
Bagaimana dengan pengkhianatan?
Jelas merupakan hal yang menyakitkan ya.
Hanya keikhlasan obat paling ampuh sebagai penangkalnya.
Tentu hal tersebut bukan hal yang mudah, tetapi bukan juga tidak mungkin :D
Nah, itulah sepenggal pendapat dari jiwa melankolis ini.
Yang tertarik dengan berbagai kebudayaan yang beragam dan berbeda-beda.
Karena perbedaan itulah yang memunculkan peradaban ^^
-d-
Minggu, 06 Oktober 2013
Dan Tentang Seseorang . . .
Aku ingin bercerita tentang seorang anak manusia.
Terkait sosok adam ini, aku merasa benar-benar percaya dengan kalimat:
Don’t judge a book by its cover.
Awalnya melihat dia, aku yakin dia adalah sosok yang introvert.
Dengan segala diamnya, dengan segala kehati-hatiannya.
Tetapi aku selalu dibuat mengerutkan kening jika mendengar respon dari pertanyaanku tentang dia.
“Apa? Dia pendiam? Kata siapa?!”
Kata-kata itulah yang selalu aku dengar, disertai dengan tertawaan, dari sahabat-sahabatnya sejak SMA.
Karena complicated things yang membuatku sering menghabiskan waktu bersamanya,
Aku mulai merasa ada yang salah dengan sosok ini.
Seonggok nyawa tak berjiwa karena diamnya jika di hadapan semua orang.
Tetapi bisa menjadi orang lain dengan kehangatan jika sudah bersama sahabat-sahabatnya.
Aku benar-benar dibuat tidak mengerti dan mulai merasa kesal.
Karena aku menganggap dia bersembunyi dibalik topengnya.
Sekali waktu, aku diberi kesempatan untuk mengobrol berdua dengannya.
Mungkin karena saat itu di kerumunan orang-orang sekitar kami, hanya aku yang paling dikenalnya.
Aku bertanya satu hal padanya untuk memecah keheningan dan mencairkan suasana.
“Ini luka kenapa?” tanyaku sambil menunjuk kakinya.
Dia tersenyum dan mulai menjelaskan asal-usul dia mendapatkan luka tersebut.
Kemudian menjelaskan tentang luka-lukanya yang lain.
Berujung ke makanan kesukaannya, keadaan keluarga dan rumahnya, dan sebagainya.
Tak terlewatkan pula ia bercerita padaku tentang seorang gadis yang pernah dekat dengannya.
Dari sebuah luka, ke sebuah kehidupan.
Seolah ia mulai membuka jendelanya untukku.
Aku tercenung saat mendengar opininya mengenai satu hal,
Yang aku tahu kontra dengan orang-orang di sekelilingnya.
“Justru, kalau aku tidak melakukan hal itu, aku adalah orang yang paling jahat.”
Aku benar-benar memikirkan kata per kata yang ia uraikan.
Yang semakin lama justru membuatku semakin menciut.
Karena pandanganku mengenai dirinya begitu salah besar.
Aku berani bertaruh orang-orang di sekitar pun berpikiran yang sama sepertiku pada awalnya.
Sejak saat itu, ia benar-benar mencair padaku.
Ia mulai sering melucu dan bernyanyi asal-asalan, bahkan buang gas di depanku.
Ia mulai sering mengeluarkan sifat aslinya.
Tidak perlu aku tanya, jika ia ingin bercerita, ia akan membuka bibirnya untuk itu.
Dan aku selalu siap pasang telinga, berharap berekspresi dan merespon di saat yang tepat.
Saat ini, aku menjadi salah satu orang yang tertawa jika ada yang bertanya,
“Dia pendiam ya orangnya?”
Dia baik, itu sudah jauh lebih dari cukup untukku merasa nyaman berteman dengannya.
Terkadang memang lucu untuk mengambil kesimpulan terlalu cepat.
Tanpa terjun langsung ke TKP dan merasakan sensasinya :)
-d-
Terkait sosok adam ini, aku merasa benar-benar percaya dengan kalimat:
Don’t judge a book by its cover.
Awalnya melihat dia, aku yakin dia adalah sosok yang introvert.
Dengan segala diamnya, dengan segala kehati-hatiannya.
Tetapi aku selalu dibuat mengerutkan kening jika mendengar respon dari pertanyaanku tentang dia.
“Apa? Dia pendiam? Kata siapa?!”
Kata-kata itulah yang selalu aku dengar, disertai dengan tertawaan, dari sahabat-sahabatnya sejak SMA.
Karena complicated things yang membuatku sering menghabiskan waktu bersamanya,
Aku mulai merasa ada yang salah dengan sosok ini.
Seonggok nyawa tak berjiwa karena diamnya jika di hadapan semua orang.
Tetapi bisa menjadi orang lain dengan kehangatan jika sudah bersama sahabat-sahabatnya.
Aku benar-benar dibuat tidak mengerti dan mulai merasa kesal.
Karena aku menganggap dia bersembunyi dibalik topengnya.
Sekali waktu, aku diberi kesempatan untuk mengobrol berdua dengannya.
Mungkin karena saat itu di kerumunan orang-orang sekitar kami, hanya aku yang paling dikenalnya.
Aku bertanya satu hal padanya untuk memecah keheningan dan mencairkan suasana.
“Ini luka kenapa?” tanyaku sambil menunjuk kakinya.
Dia tersenyum dan mulai menjelaskan asal-usul dia mendapatkan luka tersebut.
Kemudian menjelaskan tentang luka-lukanya yang lain.
Berujung ke makanan kesukaannya, keadaan keluarga dan rumahnya, dan sebagainya.
Tak terlewatkan pula ia bercerita padaku tentang seorang gadis yang pernah dekat dengannya.
Dari sebuah luka, ke sebuah kehidupan.
Seolah ia mulai membuka jendelanya untukku.
Aku tercenung saat mendengar opininya mengenai satu hal,
Yang aku tahu kontra dengan orang-orang di sekelilingnya.
“Justru, kalau aku tidak melakukan hal itu, aku adalah orang yang paling jahat.”
Aku benar-benar memikirkan kata per kata yang ia uraikan.
Yang semakin lama justru membuatku semakin menciut.
Karena pandanganku mengenai dirinya begitu salah besar.
Aku berani bertaruh orang-orang di sekitar pun berpikiran yang sama sepertiku pada awalnya.
Sejak saat itu, ia benar-benar mencair padaku.
Ia mulai sering melucu dan bernyanyi asal-asalan, bahkan buang gas di depanku.
Ia mulai sering mengeluarkan sifat aslinya.
Tidak perlu aku tanya, jika ia ingin bercerita, ia akan membuka bibirnya untuk itu.
Dan aku selalu siap pasang telinga, berharap berekspresi dan merespon di saat yang tepat.
Saat ini, aku menjadi salah satu orang yang tertawa jika ada yang bertanya,
“Dia pendiam ya orangnya?”
Dia baik, itu sudah jauh lebih dari cukup untukku merasa nyaman berteman dengannya.
Terkadang memang lucu untuk mengambil kesimpulan terlalu cepat.
Tanpa terjun langsung ke TKP dan merasakan sensasinya :)
-d-
Sabtu, 05 Oktober 2013
Pekat suatu senja jingga . . .
“Kata orang rindu itu indah. Namun bagiku ini menyiksa . . .”
Percayakah kamu dengan bintang jatuh?
Katanya dia bisa mengabulkan pintamu.
Percayakah kamu dengan angin malam?
Katanya dia bisa menyampaikan pesan.
Aku tak percaya.
Kenapa?
Rasa rindu yang begitu mendesak bagai momen impuls ini,
Rasa cinta yang bahkan aku sendiri tak dapat melihat kedalamannya,
Menjadi suatu bukti yang absolut.
Kalau kamu nyata dan akan selalu ada.
Sedangkan bintang jatuh dan angin malam itu?
Mereka identik dengan malam yang akan berganti siang.
Mereka bagian dari kefanaan.
Dan pilihanku hanya dengan mengeluarkan air mata.
Setidaknya untuk mengurangi rasa sesak yang menggebu-gebu ini.
Akan jauh lebih baik jika ruang dalam bagian kecil hatiku kosong.
Jadi aku tidak mempunyai alasan untuk selalu merasa sesak seperti ini.
Terlepas dari segala hal yang aku alami dan aku rasakan pada insan itu,
Aku sangat bersyukur telah dipertemukan olehnya.
Sosok manusia paling dingin tetapi dapat menghangatkan apa pun situasi dan kondisi
yang diri ini rasa.
Ah, bagaimana mungkin aku bisa lupa?
Senyumnya di kala senja jingga itu,
Bagai guyuran hujan bagi hatiku yang telah melewati kemarau panjang.
Malam saja mengerti bahwa ada seorang gadis, diriku,
Menyisipkan simfoni terindah untuknya.
Biar saja rindu ini menyatu dengan pekat! :)
-d-
Percayakah kamu dengan bintang jatuh?
Katanya dia bisa mengabulkan pintamu.
Percayakah kamu dengan angin malam?
Katanya dia bisa menyampaikan pesan.
Aku tak percaya.
Kenapa?
Rasa rindu yang begitu mendesak bagai momen impuls ini,
Rasa cinta yang bahkan aku sendiri tak dapat melihat kedalamannya,
Menjadi suatu bukti yang absolut.
Kalau kamu nyata dan akan selalu ada.
Sedangkan bintang jatuh dan angin malam itu?
Mereka identik dengan malam yang akan berganti siang.
Mereka bagian dari kefanaan.
Dan pilihanku hanya dengan mengeluarkan air mata.
Setidaknya untuk mengurangi rasa sesak yang menggebu-gebu ini.
Akan jauh lebih baik jika ruang dalam bagian kecil hatiku kosong.
Jadi aku tidak mempunyai alasan untuk selalu merasa sesak seperti ini.
Terlepas dari segala hal yang aku alami dan aku rasakan pada insan itu,
Aku sangat bersyukur telah dipertemukan olehnya.
Sosok manusia paling dingin tetapi dapat menghangatkan apa pun situasi dan kondisi
yang diri ini rasa.
Ah, bagaimana mungkin aku bisa lupa?
Senyumnya di kala senja jingga itu,
Bagai guyuran hujan bagi hatiku yang telah melewati kemarau panjang.
Malam saja mengerti bahwa ada seorang gadis, diriku,
Menyisipkan simfoni terindah untuknya.
Biar saja rindu ini menyatu dengan pekat! :)
-d-
Jumat, 04 Oktober 2013
A - K- U - D - I - N - A :)))
Chairil Anwar mempunyai deskripsi mengenai dirinya di buku ‘AKU’
Dan aku ingin kembali mendeskripsikan mengenai diriku lewat blog ini.
Terdengar ekstrovert, ya?
Tapi aku merasa ini perlu, untuk mempunyai penilaian terhadap diri sendiri.
Aku orangnya terlalu sarkastik.
Dalam artian, terlalu lugas dalam menyatakan sesuatu.
Terlalu jelas mana hal yang aku suka, mana hal yang tidak aku suka.
Tidak pernah ragu untuk mengungkapkan dua hal yang saling melawan itu.
Tanpa memikirkan apa yang mungkin tertangkap dan langsung berkelana dalam pemikiran orang-orang di sekitarku mengenai aku.
Dalam dimensi waktu dan ruang masa kini, aku ingin belajar satu hal.
Untuk mulai mempertimbangkan spekulasi orang-orang terhadap perkataan dan perbuatanku.
In other words, I named it with ‘behave’.
Karena selama ini, aku yakin aku adalah aku.
Aku sedikit tidak memberikan perhatian lebih pada tafsiran orang-orang tentang aku.
Karena aku sadar aku tidak akan pernah tahu apa yang terjadi esok atau bahkan sepersekian detik yang akan datang.
Sehingga susah untuk menunjukkan apa yang sebenarnya bersemayam dan terpatri dalam benak, pikiran, dan hatiku jika aku harus mengubah persepi atau pandangan orang-orang tentang aku.
It doesn’t mean I have to be another one.
I’m still being me, and always it.
Walau aku terlalu lugas dalam mengungkapkan sesuatu,
Behave di sini hanya aku artikan sebagai cara agar pandangan orang-orang di sekitar mengenai aku sesuai dengan the real me.
Segala pendapat atau kesan pesan untuk menjadikan aku seorang individu yang lebih baik,
Kenapa tidak? :)))
I’ve always been the kind of girl that hid my face.
So afraid to tell the world, what I’ve got to say.
But I have this dream, bright inside of me.
I’m gonna let it show, it’s time to let you know, to let you know.
This is real, this is me.
I’m exactly where I’m supposed to be.
Now, gonna let the light shine on me.
Now, I found who I am, there’s no way to hold it in.
No more hiding who I wanna be, This is me . . .
Do you know what it is likes? To feel so in the dark.
To dream about a life, where you’re the shining stars.
Eventhough it seems, like it’s too far away.
I have to believe in myself, it’s the only way.
-d-
Dan aku ingin kembali mendeskripsikan mengenai diriku lewat blog ini.
Terdengar ekstrovert, ya?
Tapi aku merasa ini perlu, untuk mempunyai penilaian terhadap diri sendiri.
Aku orangnya terlalu sarkastik.
Dalam artian, terlalu lugas dalam menyatakan sesuatu.
Terlalu jelas mana hal yang aku suka, mana hal yang tidak aku suka.
Tidak pernah ragu untuk mengungkapkan dua hal yang saling melawan itu.
Tanpa memikirkan apa yang mungkin tertangkap dan langsung berkelana dalam pemikiran orang-orang di sekitarku mengenai aku.
Dalam dimensi waktu dan ruang masa kini, aku ingin belajar satu hal.
Untuk mulai mempertimbangkan spekulasi orang-orang terhadap perkataan dan perbuatanku.
In other words, I named it with ‘behave’.
Karena selama ini, aku yakin aku adalah aku.
Aku sedikit tidak memberikan perhatian lebih pada tafsiran orang-orang tentang aku.
Karena aku sadar aku tidak akan pernah tahu apa yang terjadi esok atau bahkan sepersekian detik yang akan datang.
Sehingga susah untuk menunjukkan apa yang sebenarnya bersemayam dan terpatri dalam benak, pikiran, dan hatiku jika aku harus mengubah persepi atau pandangan orang-orang tentang aku.
It doesn’t mean I have to be another one.
I’m still being me, and always it.
Walau aku terlalu lugas dalam mengungkapkan sesuatu,
Behave di sini hanya aku artikan sebagai cara agar pandangan orang-orang di sekitar mengenai aku sesuai dengan the real me.
Segala pendapat atau kesan pesan untuk menjadikan aku seorang individu yang lebih baik,
Kenapa tidak? :)))
I’ve always been the kind of girl that hid my face.
So afraid to tell the world, what I’ve got to say.
But I have this dream, bright inside of me.
I’m gonna let it show, it’s time to let you know, to let you know.
This is real, this is me.
I’m exactly where I’m supposed to be.
Now, gonna let the light shine on me.
Now, I found who I am, there’s no way to hold it in.
No more hiding who I wanna be, This is me . . .
Do you know what it is likes? To feel so in the dark.
To dream about a life, where you’re the shining stars.
Eventhough it seems, like it’s too far away.
I have to believe in myself, it’s the only way.
-d-
Karya . . . Sastra :)
“Bukan maksudku mau berbagi nasib, nasib adalah kesunyian masing-masing.”
“Aku susah tidur. Orang ngomong, anjing gonggong, dunia jauh mengabur.”
Dua penggal kata-kata yang dikutip dari buku Aku-nya Suman Djaja tentang Chairil Anwar.
Di dalam film Ada Apa Dengan Cinta.
Film lama banget, dulu nonton saat aku kelas tiga SD, satu deret sama keluarga besar.
“Lo mau diwawancara sekarang? Basi! Madingnya udah siap terbit!”
“Terus kalau lo ngerasa aneh di tengah keramaian begini, salah siapa? Salah gue? Salah temen-temen gue? Gue tanya!”
Itulah dialog-dialog yang aku ambil dari film tersebut.
Dua insan yang sama-sama menyukai karya sastra.
Dulu, bagiku pribadi, mengenal sastra ketika disuruh membuat puisi.
Entah mengapa, aku langsung terkagum-kagum dengan diksi.
Aku terpesona dengan perpaduan kata-kata harmonis.
Dan pada akhirnya membentuk barisan-barisan kalimat manis yang begitu menggoda.
Di situlah, aku mulai mempelajari sastrawan-sastrawan Indonesia.
Berawal dari mempelajari puisi-puisi mereka.
Dari Chairil Anwar, Rendra, Taufiq A Ismail, dan lain-lainnya.
Menurutku, mereka bergitu cerdas dalam menyatupadukan diksi-diksi tersebut.
Tidak dapat dijelaskan bahkan jika ditinjau dari segi majas atau tanda baca juga irama.
Kemudian, aku mulai memaknai film Ada Apa Dengan Cinta.
Puisi-puisinya yang begitu memukau alasan utamaku.
Dan aku juga mulai mengerti makna dari setiap dialog yang terucap.
Tidak puas kalau hanya membaca dan mengagumi karya sastra,
Aku memberanikan diriku untuk membuat puisi-puisi .
Jelas tidak sebanding dengan apa yang sudah para sastrawan itu perkenalkan.
Tetapi setidaknya, aku menemukan diriku begitu bernyawa,
Ingin menghabiskan waktuku untuk berkarya sastra.
Aku tidak heran jika orang-orang menganggap aku aneh,
Dengan segala ucapan, tulisan, juga tingkah laku aku.
Aku cukup mengerti saat banyak yang berpaling dari tulisan-tulisanku,
Atau bahkan dari diriku.
Justru dari semua itu aku dibanjiri oleh berbagai inspirasi.
Dan aku mulai belajar, tulisanku sama sekali tidak berarti,
Jika aku hanya mencoba menulis.
Maka aku mulai mencoba mendengarkan.
Apa pun yang semua orang ingin katakan,
Baik tentang diri mereka sendiri, maupun tentangku.
Aku dengarkan mereka dengan harapan aku berekspresi dan merespon di saat yang tepat.
Sehingga mereka dapat menemukan kenyamanan saat bercerita denganku.
Perlahan-lahan, kujadikan cerita-cerita mereka sebagai bahan tulisanku.
Dan aku harap apa yang aku lakukan tidak menjadi sebuah pengkhianatan.
Karena terkadang aku hanya ingin menuangkan apa yang sedang berkelumat,
Baik dalam pikiran maupun otakku.
Pada dasarnya aku hanya manusia biasa yang punya batasan untuk merasa lelah :)
Dan aku merasa jauh lebih dari cukup, aku bahagia.
Dengan Alloh SWT sebagai satu-satunya pendengar paling baik yang aku miliki.
Walau seharusnya aku merasa malu mengadukan segala keluh kesahkum
Dengan segala simbah dosa yang aku punya.
Fabiayyi alaai Robbi kuma tukadzdzibaan?
Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang engkau dustakan?
Fainna ma’al ‘usri yusran. Inna ma’al ‘usri yusran.
Sesungguhnya di balik kesulitan ada kemudahan. Di balik kesulitan ada kemudahan.
-d-
“Aku susah tidur. Orang ngomong, anjing gonggong, dunia jauh mengabur.”
Dua penggal kata-kata yang dikutip dari buku Aku-nya Suman Djaja tentang Chairil Anwar.
Di dalam film Ada Apa Dengan Cinta.
Film lama banget, dulu nonton saat aku kelas tiga SD, satu deret sama keluarga besar.
“Lo mau diwawancara sekarang? Basi! Madingnya udah siap terbit!”
“Terus kalau lo ngerasa aneh di tengah keramaian begini, salah siapa? Salah gue? Salah temen-temen gue? Gue tanya!”
Itulah dialog-dialog yang aku ambil dari film tersebut.
Dua insan yang sama-sama menyukai karya sastra.
Dulu, bagiku pribadi, mengenal sastra ketika disuruh membuat puisi.
Entah mengapa, aku langsung terkagum-kagum dengan diksi.
Aku terpesona dengan perpaduan kata-kata harmonis.
Dan pada akhirnya membentuk barisan-barisan kalimat manis yang begitu menggoda.
Di situlah, aku mulai mempelajari sastrawan-sastrawan Indonesia.
Berawal dari mempelajari puisi-puisi mereka.
Dari Chairil Anwar, Rendra, Taufiq A Ismail, dan lain-lainnya.
Menurutku, mereka bergitu cerdas dalam menyatupadukan diksi-diksi tersebut.
Tidak dapat dijelaskan bahkan jika ditinjau dari segi majas atau tanda baca juga irama.
Kemudian, aku mulai memaknai film Ada Apa Dengan Cinta.
Puisi-puisinya yang begitu memukau alasan utamaku.
Dan aku juga mulai mengerti makna dari setiap dialog yang terucap.
Tidak puas kalau hanya membaca dan mengagumi karya sastra,
Aku memberanikan diriku untuk membuat puisi-puisi .
Jelas tidak sebanding dengan apa yang sudah para sastrawan itu perkenalkan.
Tetapi setidaknya, aku menemukan diriku begitu bernyawa,
Ingin menghabiskan waktuku untuk berkarya sastra.
Aku tidak heran jika orang-orang menganggap aku aneh,
Dengan segala ucapan, tulisan, juga tingkah laku aku.
Aku cukup mengerti saat banyak yang berpaling dari tulisan-tulisanku,
Atau bahkan dari diriku.
Justru dari semua itu aku dibanjiri oleh berbagai inspirasi.
Dan aku mulai belajar, tulisanku sama sekali tidak berarti,
Jika aku hanya mencoba menulis.
Maka aku mulai mencoba mendengarkan.
Apa pun yang semua orang ingin katakan,
Baik tentang diri mereka sendiri, maupun tentangku.
Aku dengarkan mereka dengan harapan aku berekspresi dan merespon di saat yang tepat.
Sehingga mereka dapat menemukan kenyamanan saat bercerita denganku.
Perlahan-lahan, kujadikan cerita-cerita mereka sebagai bahan tulisanku.
Dan aku harap apa yang aku lakukan tidak menjadi sebuah pengkhianatan.
Karena terkadang aku hanya ingin menuangkan apa yang sedang berkelumat,
Baik dalam pikiran maupun otakku.
Pada dasarnya aku hanya manusia biasa yang punya batasan untuk merasa lelah :)
Dan aku merasa jauh lebih dari cukup, aku bahagia.
Dengan Alloh SWT sebagai satu-satunya pendengar paling baik yang aku miliki.
Walau seharusnya aku merasa malu mengadukan segala keluh kesahkum
Dengan segala simbah dosa yang aku punya.
Fabiayyi alaai Robbi kuma tukadzdzibaan?
Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang engkau dustakan?
Fainna ma’al ‘usri yusran. Inna ma’al ‘usri yusran.
Sesungguhnya di balik kesulitan ada kemudahan. Di balik kesulitan ada kemudahan.
-d-
Rabu, 04 September 2013
Breaking Point :)
Woahh, it's been a long time I haven't write in this page.
Sorry, Blogger :D
Well, sudah semester lima saat ini.
Semakin mendekati dunia pekerjaan.
Semakin mendekati bagaimana rasanya telah benar-benar dilahirkan di dunia kehidupan nyata.
I write in this page randomly.
Sometimes about college.
Sometimes about a story.
Or maybe sometimes about someone I love the most :D
Well, in a few days, I will turn 20.
Ouch, what a not-young anymore :D
And now, what am I supposed to write now?
Love?
Haha, it will always interesting to talk about.
But here, I just want to talk about friendship.
Terkadang zona pertemanan merupakan satu-satunya zona paling nyaman yang pernah ada.
Tapi apa jadinya kalau sahabat jadi cinta?
Kemarin baru saja nanya ke salah satu senior di Paskibra dulu, angkatan 20.
Me : How does it feels? Being in love with one of your bestfriend? Hurt?
Him : Haha hard to say yaa, but it doesn't matter :)
Oke, mungkin menurut dia aku tidak bertanya-tanya lagi karena dia tidak menjelaskan apa-apa.
Tapi bagi aku, jawaban dia menjelaskan banyak hal ke aku.
Pertama, aku tahu dia pasti merasa sakit.
Kedua, aku tahu dia masih cinta sama sahabatnya sendiri itu.
Ketiga, aku tahu dia susah move on dari sahabatnya itu.
Dan masih banyak hal lainnya yang dapat dipahami dari jawaban itu.
Karena apa?
Karena aku mengalami hal yang sama.
Aku tahu bagaimana sakitnya.
Aku tahu bagaimana aku tetap bertahan mencintainya.
Aku tahu bagaimana susahnya menghilangkan perasaan yang tidak seharusnya ada.
Ada yang bilang, jika seorang cewek dan cowok bersahabat,
Salah satu di antara mereka pasti menginginkan hal lebih.
Dulu aku merasa ini konyol.
Tetapi saat merasakannya sendiri, aku justru menjadi takut.
Dari yang bersahabat, karena aku menganggapnya lebih dari sahabat,
Dan BANG! Berakhir menjadi bukan siapa-siapa.
Entahlah, aku tidak dapat menyimpulkan apa-apa tentang hal ini.
Karena aku sendiri belum menemukan solusi.
Salah seorang penulis bilang,
"Jodoh paling dekat adalah sahabat, tidak perlu jauh-jauh mencarinya."
Intinya, jangan pernah silaturahmi yang terjalin rusak karena hal apa pun dan sampai kapan pun :D
-d-
Sorry, Blogger :D
Well, sudah semester lima saat ini.
Semakin mendekati dunia pekerjaan.
Semakin mendekati bagaimana rasanya telah benar-benar dilahirkan di dunia kehidupan nyata.
I write in this page randomly.
Sometimes about college.
Sometimes about a story.
Or maybe sometimes about someone I love the most :D
Well, in a few days, I will turn 20.
Ouch, what a not-young anymore :D
And now, what am I supposed to write now?
Love?
Haha, it will always interesting to talk about.
But here, I just want to talk about friendship.
Terkadang zona pertemanan merupakan satu-satunya zona paling nyaman yang pernah ada.
Tapi apa jadinya kalau sahabat jadi cinta?
Kemarin baru saja nanya ke salah satu senior di Paskibra dulu, angkatan 20.
Me : How does it feels? Being in love with one of your bestfriend? Hurt?
Him : Haha hard to say yaa, but it doesn't matter :)
Oke, mungkin menurut dia aku tidak bertanya-tanya lagi karena dia tidak menjelaskan apa-apa.
Tapi bagi aku, jawaban dia menjelaskan banyak hal ke aku.
Pertama, aku tahu dia pasti merasa sakit.
Kedua, aku tahu dia masih cinta sama sahabatnya sendiri itu.
Ketiga, aku tahu dia susah move on dari sahabatnya itu.
Dan masih banyak hal lainnya yang dapat dipahami dari jawaban itu.
Karena apa?
Karena aku mengalami hal yang sama.
Aku tahu bagaimana sakitnya.
Aku tahu bagaimana aku tetap bertahan mencintainya.
Aku tahu bagaimana susahnya menghilangkan perasaan yang tidak seharusnya ada.
Ada yang bilang, jika seorang cewek dan cowok bersahabat,
Salah satu di antara mereka pasti menginginkan hal lebih.
Dulu aku merasa ini konyol.
Tetapi saat merasakannya sendiri, aku justru menjadi takut.
Dari yang bersahabat, karena aku menganggapnya lebih dari sahabat,
Dan BANG! Berakhir menjadi bukan siapa-siapa.
Entahlah, aku tidak dapat menyimpulkan apa-apa tentang hal ini.
Karena aku sendiri belum menemukan solusi.
Salah seorang penulis bilang,
"Jodoh paling dekat adalah sahabat, tidak perlu jauh-jauh mencarinya."
Intinya, jangan pernah silaturahmi yang terjalin rusak karena hal apa pun dan sampai kapan pun :D
-d-
Senin, 11 Maret 2013
Divortiare, In Loving Memory :')
Kisah lucu, bikin gemas, inspiratif, dan tentu saja bikin iri antara Beno dan Alexandra di dalam novel Divortiare karya Ika Natassa.
Singkat cerita, Beno adalah seorang Dokter dan Alexandra adalah seorang Banker.
Kehidupan Dokter yang tak pernah lepas dari pasien dan seorang Banker yang sudah harus stand by di kantor pagi-pagi sekali membuat mereka lama kelamaan kurang mempunyai waktu untuk berdua.
Entah itu hanya untuk sekadar makan malam.
Tapi Beno terlalu pintar untuk menunjukkan rasa sayang dan cintanya pada Alexandra.
Gestur pria tersebut tak pernah membuat Alexandra ragu akan dirinya, akan cintanya.
Pernah ada suatu kejadian lucu ketika Beno baru saja pulang dari rumah sakit.
Alex melihat jam dan ternyata sudah pukul satu malam.
"Beno! Kalau kamu pulang jam segini lagi, aku nggak mau tidur di sini!" seru Alexandra dengan ketus tetapi manja.
Dengan santainya Beno duduk di ranjang sambil membuka dasinya.
"Terus, mau tidur di mana?" tanya Beno tanpa dosa.
"Di mana saja, di hotel paling mahal pakai credit card kamu!"
"Oooh, ya sudah. Nanti kabarin aku, aku nyusul." Beno bicara dengan nada lempeng, selempeng jalan tol di malam hari.
Alex langsung memasang tampang kusut. "Kok jawabnya gitu sih? Aku kan ceritanya lagi marah, Ben!"
Beno menghentikan kegiatannya melepas dasi, memandang Alex dengan tatapan yang selalu membuat Alex tak berkutik, dan menyelipkan poni Alex yang terjuntai di dahinya seperti biasa ia lakukan saat Alex membaca buku sebelum tidur.
"Lex, kamu kenapa marah terus sih? Nanti cepat tua lho."
Kali ini suaranya sama sekali tidak lempeng, bahkan selembut kapas. Membuat Alex diam.
"Ya sudah, aku mandi dulu"
Alex pasrah dan hanya bisa . . . "Benooo,,"
Tapi setelah dua tahun, Alex merasa tidak tahan hidup dengan seseorang yang bahkan lebih cinta rumah sakit dibanding rumahnya sendiri.
Puncaknya ketika malam Annivesary mereka.
Alex sudah merelakan ambil cuti untuk memasak makan malam nanti.
Satu-satunya hal yang baru pertama kali ia lakukan.
Tapi nyatanya malam itu Alex berujung tertidur di meja makan menunggu Beno sampai jam dua malam.
Alex hanya bisa tersenyum miris ketika membuka pintu untuk Beno.
"Lex, Lex, Lex, aku bisa jelasin. Sayang, dengarin aku dulu, dong."
"Dengarin apalagi sih, Ben? Sudah dua tahun, Ben. Dua tahun aku rela kamu pulang malem karena aku tahu itu memang pekerjaan dan impian kamu. Tapi kamu pikir aku tetap bisa sabar kalau di malam anniversary kita, kamu lebih memilih pulang telat malam tanpa ngasih kabar? Kamu kira aku nggak capek? Nggak capek nungguin kamu?"
"Lex, aku telat bukan karena aku lupa. Bukan karena aku nggak tahu kamu sudah susah payah masak. Tapi karena aku ada urusan yang lebih penting yang memang harus aku kerjakan, Lex."
Alex tersenyum sinis. "Oh jadi gitu? Semua itu buat kamu lebih penting selain aku? Lebih penting selain pernikahan kita? Diam saja deh, Ben!"
"Nggak, nggak, nggak, aku nggak akan diam kali ini. Aku capek dengarin kamu complain terus tentang pekerjaan aku. Kamu ngertiin aku juga dong, malam ini aku ada pasien penting yang harus aku bedah. Masa aku tinggalin?"
Oke, suara Beno meninggi kali ini. Alex menatapnya dengan amarah, gusar.
"Ini bukan soal malam ini doang. Kamu ngerti nggak sih? Ini soal setiap malam semenjak kita nikah. Aku tuh hampir merasa nggak punya suami tahu nggak, karena kamu nggak pernah pulang lebih dari jam sepuluh malam. Dan kamu, hari libur juga tetep kerja, kan? Aku cuma minta satu malam doang, Ben. Satu malam saja!"
"Kenapa sih, semua harus tentang kamu?!"
"Yaiyalah, Ben! Aku ini istri kamu! Kalau kamu pulang malam, yang kesepian itu aku. Kalau kamu nggak pulang, yang nungguin kamu sampai subuh itu aku. Kalau kamu pergi nggak ngasih kabar, yang khawatir itu aku. Jadi nggak usah tanya kenapa semua ini harus tentang aku!"
Beno menarik tangan Alexandra untuk mendekat padanya.
"Lex, aku minta maaf. Tapi aku nggak bisa apa-apa. Aku akan selalu punya pasien, dan kamu sudah tau itu dari sebelum kita nikah. Sekarang, kamu mau aku ninggalin pasien ku, dan mereka meninggal, cuma gara-gara aku di rumah untuk jadi suami kamu? Ngertiin aku juga dong, Lex, jangan egois."
Alex pergi ke kamar, keluar dengan bantal dan selimut yang dikasihnya dengan kasar ke Beno.
"Aku mau cerai!"
Secercah keterkejutan hinggap di wajah Beno.
"Kamu bercanda?"
"Aku mau cerai, Ben!"
Ya, akhirnya mereka memang bercerai. Setelah sekian lama mereka bertahan, menenggelamkan keegoisan dan segala perasaan juga emosi.
Alex sedih? Jangan ditanya sedihnya kayak apa. Melarikannya pada kesibukan di kantor.
Beno? Dia selalu tahu bagaimana menyembunyikan apa yang dirasa.
And after all this time, lagu Alter Bridge dengan judul In Loving Memory sangat bisa mewakili keadaan mereka :D
Alter Bridge - In Loving Memory
Thanks for all you’ve done
I’ve missed you for so long
I cant believe you’re gone and
You still live in me
I feel you in the wind
You guide me constantly
I never knew what it was to be alone
No, cause you we’re always there for me
You we’re always home waiting
But now I come home and I miss your face so
Smiling down on me
I close my eyes to see
And I know you’re a part of me
And it’s your song that sets me free
I sing it while I feel I cant hold on
I sing tonight cause it comforts me
I carry the things that remind me of you
In loving memory of
the one that was so true
You were as kind as you could be
And even thought your gone
You still mean the world to me
I never knew what it was to be alone
No, cause you we’re always there for me
You we’re always home waiting
But now I come home and it’s not the same
No, it feels empty and along
I just can’t believe your gone
And I know you’re a part of me
And its your song that sets me free
I sing it while I feel I cant hold on
I sing tonight cause it comforts me
I’m glad he set you free from sorrow
but I’ll still love you more tomorrow
And you’ll be here with me still
All you did you did with feeling
And you always found a meaning
And you always will
And you always will
And you always will
And I know you’re a part of me
And it’s your song that sets me free
I sing it while I feel I can’t hold on
I sing tonight cause it comforts me
Itulah, dua insan yang kelanjutan kisahnya ada di Twivortiare karya Ika Natassa juga :D
Kalau aku, aku pribadi memilih bertahan jika berada dalam posisi Alexandra :D
Tapi, pergerakan dan pengambilan keputusan yang jitu dalam berkeluarga memang perlu.
Karena kita punya teman hidup yang menjadi tanggung jawab kita juga.
Tidak ada lagi kamu.
Tidak ada lagi aku.
Yang ada adalah kita.
Yang ada adalah bersama.
Pedihmu, pedihku. Pedihku, pedihmu.
Bahagiamu, bahagiaku. Bahagiaku, bahagiamu.
Tangismu, tangisku. Tangisku, tangismu.
Senyummu, senyumku. Senyumku, senyummu.
Sakitmu, sakitku. Sakitku, sakitmu.
Detak jantungmu, detak jantungku. Detak jantungku, detak jantungmu.
Waktumu, waktuku. Waktuku, waktumu.
Senangmu, senangku. Senangku, senangmu.
Sedihmu, sedihku. Sedihku, sedihmu.
Auramu, auraku. Auraku, auramu.
Hidupmu, hidupku. Hidupku, hidupmu.
Ya, saya memang bukan tipe orang yang tidak memandang remeh sebuah konsep dalam berkeluarga.
Tipe orang pemikir "Nanti bagaimana?" dan bukan "Bagaimana nanti?" hehe.
Saya hanya bisa menyertakan doa di setiap langkah saya dalam segala aspek fana ini :D
Hanya mengharap ridho-Nya semata.
Hingga bisa mengecap manisnya surga.
Aamiin Ya Robbal Alamin :)
-d-
Singkat cerita, Beno adalah seorang Dokter dan Alexandra adalah seorang Banker.
Kehidupan Dokter yang tak pernah lepas dari pasien dan seorang Banker yang sudah harus stand by di kantor pagi-pagi sekali membuat mereka lama kelamaan kurang mempunyai waktu untuk berdua.
Entah itu hanya untuk sekadar makan malam.
Tapi Beno terlalu pintar untuk menunjukkan rasa sayang dan cintanya pada Alexandra.
Gestur pria tersebut tak pernah membuat Alexandra ragu akan dirinya, akan cintanya.
Pernah ada suatu kejadian lucu ketika Beno baru saja pulang dari rumah sakit.
Alex melihat jam dan ternyata sudah pukul satu malam.
"Beno! Kalau kamu pulang jam segini lagi, aku nggak mau tidur di sini!" seru Alexandra dengan ketus tetapi manja.
Dengan santainya Beno duduk di ranjang sambil membuka dasinya.
"Terus, mau tidur di mana?" tanya Beno tanpa dosa.
"Di mana saja, di hotel paling mahal pakai credit card kamu!"
"Oooh, ya sudah. Nanti kabarin aku, aku nyusul." Beno bicara dengan nada lempeng, selempeng jalan tol di malam hari.
Alex langsung memasang tampang kusut. "Kok jawabnya gitu sih? Aku kan ceritanya lagi marah, Ben!"
Beno menghentikan kegiatannya melepas dasi, memandang Alex dengan tatapan yang selalu membuat Alex tak berkutik, dan menyelipkan poni Alex yang terjuntai di dahinya seperti biasa ia lakukan saat Alex membaca buku sebelum tidur.
"Lex, kamu kenapa marah terus sih? Nanti cepat tua lho."
Kali ini suaranya sama sekali tidak lempeng, bahkan selembut kapas. Membuat Alex diam.
"Ya sudah, aku mandi dulu"
Alex pasrah dan hanya bisa . . . "Benooo,,"
Tapi setelah dua tahun, Alex merasa tidak tahan hidup dengan seseorang yang bahkan lebih cinta rumah sakit dibanding rumahnya sendiri.
Puncaknya ketika malam Annivesary mereka.
Alex sudah merelakan ambil cuti untuk memasak makan malam nanti.
Satu-satunya hal yang baru pertama kali ia lakukan.
Tapi nyatanya malam itu Alex berujung tertidur di meja makan menunggu Beno sampai jam dua malam.
Alex hanya bisa tersenyum miris ketika membuka pintu untuk Beno.
"Lex, Lex, Lex, aku bisa jelasin. Sayang, dengarin aku dulu, dong."
"Dengarin apalagi sih, Ben? Sudah dua tahun, Ben. Dua tahun aku rela kamu pulang malem karena aku tahu itu memang pekerjaan dan impian kamu. Tapi kamu pikir aku tetap bisa sabar kalau di malam anniversary kita, kamu lebih memilih pulang telat malam tanpa ngasih kabar? Kamu kira aku nggak capek? Nggak capek nungguin kamu?"
"Lex, aku telat bukan karena aku lupa. Bukan karena aku nggak tahu kamu sudah susah payah masak. Tapi karena aku ada urusan yang lebih penting yang memang harus aku kerjakan, Lex."
Alex tersenyum sinis. "Oh jadi gitu? Semua itu buat kamu lebih penting selain aku? Lebih penting selain pernikahan kita? Diam saja deh, Ben!"
"Nggak, nggak, nggak, aku nggak akan diam kali ini. Aku capek dengarin kamu complain terus tentang pekerjaan aku. Kamu ngertiin aku juga dong, malam ini aku ada pasien penting yang harus aku bedah. Masa aku tinggalin?"
Oke, suara Beno meninggi kali ini. Alex menatapnya dengan amarah, gusar.
"Ini bukan soal malam ini doang. Kamu ngerti nggak sih? Ini soal setiap malam semenjak kita nikah. Aku tuh hampir merasa nggak punya suami tahu nggak, karena kamu nggak pernah pulang lebih dari jam sepuluh malam. Dan kamu, hari libur juga tetep kerja, kan? Aku cuma minta satu malam doang, Ben. Satu malam saja!"
"Kenapa sih, semua harus tentang kamu?!"
"Yaiyalah, Ben! Aku ini istri kamu! Kalau kamu pulang malam, yang kesepian itu aku. Kalau kamu nggak pulang, yang nungguin kamu sampai subuh itu aku. Kalau kamu pergi nggak ngasih kabar, yang khawatir itu aku. Jadi nggak usah tanya kenapa semua ini harus tentang aku!"
Beno menarik tangan Alexandra untuk mendekat padanya.
"Lex, aku minta maaf. Tapi aku nggak bisa apa-apa. Aku akan selalu punya pasien, dan kamu sudah tau itu dari sebelum kita nikah. Sekarang, kamu mau aku ninggalin pasien ku, dan mereka meninggal, cuma gara-gara aku di rumah untuk jadi suami kamu? Ngertiin aku juga dong, Lex, jangan egois."
Alex pergi ke kamar, keluar dengan bantal dan selimut yang dikasihnya dengan kasar ke Beno.
"Aku mau cerai!"
Secercah keterkejutan hinggap di wajah Beno.
"Kamu bercanda?"
"Aku mau cerai, Ben!"
Ya, akhirnya mereka memang bercerai. Setelah sekian lama mereka bertahan, menenggelamkan keegoisan dan segala perasaan juga emosi.
Alex sedih? Jangan ditanya sedihnya kayak apa. Melarikannya pada kesibukan di kantor.
Beno? Dia selalu tahu bagaimana menyembunyikan apa yang dirasa.
And after all this time, lagu Alter Bridge dengan judul In Loving Memory sangat bisa mewakili keadaan mereka :D
Alter Bridge - In Loving Memory
Thanks for all you’ve done
I’ve missed you for so long
I cant believe you’re gone and
You still live in me
I feel you in the wind
You guide me constantly
I never knew what it was to be alone
No, cause you we’re always there for me
You we’re always home waiting
But now I come home and I miss your face so
Smiling down on me
I close my eyes to see
And I know you’re a part of me
And it’s your song that sets me free
I sing it while I feel I cant hold on
I sing tonight cause it comforts me
I carry the things that remind me of you
In loving memory of
the one that was so true
You were as kind as you could be
And even thought your gone
You still mean the world to me
I never knew what it was to be alone
No, cause you we’re always there for me
You we’re always home waiting
But now I come home and it’s not the same
No, it feels empty and along
I just can’t believe your gone
And I know you’re a part of me
And its your song that sets me free
I sing it while I feel I cant hold on
I sing tonight cause it comforts me
I’m glad he set you free from sorrow
but I’ll still love you more tomorrow
And you’ll be here with me still
All you did you did with feeling
And you always found a meaning
And you always will
And you always will
And you always will
And I know you’re a part of me
And it’s your song that sets me free
I sing it while I feel I can’t hold on
I sing tonight cause it comforts me
Itulah, dua insan yang kelanjutan kisahnya ada di Twivortiare karya Ika Natassa juga :D
Kalau aku, aku pribadi memilih bertahan jika berada dalam posisi Alexandra :D
Tapi, pergerakan dan pengambilan keputusan yang jitu dalam berkeluarga memang perlu.
Karena kita punya teman hidup yang menjadi tanggung jawab kita juga.
Tidak ada lagi kamu.
Tidak ada lagi aku.
Yang ada adalah kita.
Yang ada adalah bersama.
Pedihmu, pedihku. Pedihku, pedihmu.
Bahagiamu, bahagiaku. Bahagiaku, bahagiamu.
Tangismu, tangisku. Tangisku, tangismu.
Senyummu, senyumku. Senyumku, senyummu.
Sakitmu, sakitku. Sakitku, sakitmu.
Detak jantungmu, detak jantungku. Detak jantungku, detak jantungmu.
Waktumu, waktuku. Waktuku, waktumu.
Senangmu, senangku. Senangku, senangmu.
Sedihmu, sedihku. Sedihku, sedihmu.
Auramu, auraku. Auraku, auramu.
Hidupmu, hidupku. Hidupku, hidupmu.
Ya, saya memang bukan tipe orang yang tidak memandang remeh sebuah konsep dalam berkeluarga.
Tipe orang pemikir "Nanti bagaimana?" dan bukan "Bagaimana nanti?" hehe.
Saya hanya bisa menyertakan doa di setiap langkah saya dalam segala aspek fana ini :D
Hanya mengharap ridho-Nya semata.
Hingga bisa mengecap manisnya surga.
Aamiin Ya Robbal Alamin :)
-d-
Jumat, 08 Maret 2013
The Twilight Saga Dialog :)
Aku suka film Twilight Saga.
Tidak hanya dari segi cerita yang memang romantis.
Memang semua bagian dalam film itu sangat tidak mungkin dan sangat tidak masuk akal.
But, who cares? Hehe.
Sama saja dengan film seri Harry Potter.
Terlalu banyak ketidakmungkinan yang ada.
Tetapi tetap sangat menghibur, bukan?
Beberapa dialognya pun sangat menunjang untuk dikatakan romantis dan tidak kacangan.Hehe.
This is in my 'sotoy' opinion loh yaaaa :D
"Hello, I'm sorry I didn't get a chance to introduce myself last week. I'm Edward Cullen. You're Bella?"
"Yes."
"Ladies First."
"You were gone."
"Yeah. I was out of town for a couple of days. Personal reasons."
"Prophase."
"Do you mind if I look?" . . . "It's Prophase."
"Like I said."
"So, are you enjoying the rain?"
"You're asking me about the weather?"
"Yeah, I guess i am."
"Well, I don't really like the rain. Any cold, wet things, I don't really."
This is the dialogue when the first time Bella talks to Edward ^^
"I can read every mind in this room. Apart from yours. There's money, sex, money, sex, cat. And then you, nothing. It's very frustrating."
"Is there something wrong with me?"
"See, I tell you I can read minds, and you think there's something wrong with you?"
"What is it?"
"I don't have the strength to far away from you anymore."
"Then don't."
This is the dialogue when Bella had dinner with Edward :D
"Everything about me, invites you in. My face, my voice, even my smell. But it's you. Your scent, it's like a drug to me. You're like my own personal brand of heroin."
This is the dialogue whey they were at the park. And I think this is sweet :)
About three things I was absolutely positives.
First, Edward was a vampire.
Second, there was a part of him, but I didn't know how dominant that part might be, that thirst for my blood.
Third, I was unconditionally, and irrevocably, in love with him.
"If it's about my soul, just take it. I don't want it without you."
Bella said when Edward wanted to leave her in New Moon.
"I would've got down on one knee, and I would presented you with a ring. Isabella Marie Swan, I promise to love you every moment forever. And would you do me the extraordinary honor of marrying me?"
This is when Edward asked Bella to marry him in Eclipse. How sweet!!! :D
"You imprinted on my daughter?"
"It was not my choice."
"She's a baby."
"It's not like that. You think Edward would let me live if it was?"
"I've held her once. One time, Jacob! And already you think that you have some moronic Wolfy claim o her? She's mine!"
"You're gonna stay away from her."
"You know I can't do that. Do you remember how much you wanted to be around me three days ago? That's gone now, right?"
"Long gone."
"Because it was her. From the beginning it was Nessi who wanted me there."
"Nessie? You nicknamed my daughter after the Loch Ness monster?"
This is when Bella knew Jacob imprinted on Renesmee. How cool! :D
"I'll never let anybody hurt you."
Bella really wanted to protect her daughter. So do I if I was :D
Well, that's all I can share. As soon as possible I will improve this post if I found any other sweet moment :D
-d-
Tidak hanya dari segi cerita yang memang romantis.
Memang semua bagian dalam film itu sangat tidak mungkin dan sangat tidak masuk akal.
But, who cares? Hehe.
Sama saja dengan film seri Harry Potter.
Terlalu banyak ketidakmungkinan yang ada.
Tetapi tetap sangat menghibur, bukan?
Beberapa dialognya pun sangat menunjang untuk dikatakan romantis dan tidak kacangan.Hehe.
This is in my 'sotoy' opinion loh yaaaa :D
"Hello, I'm sorry I didn't get a chance to introduce myself last week. I'm Edward Cullen. You're Bella?"
"Yes."
"Ladies First."
"You were gone."
"Yeah. I was out of town for a couple of days. Personal reasons."
"Prophase."
"Do you mind if I look?" . . . "It's Prophase."
"Like I said."
"So, are you enjoying the rain?"
"You're asking me about the weather?"
"Yeah, I guess i am."
"Well, I don't really like the rain. Any cold, wet things, I don't really."
This is the dialogue when the first time Bella talks to Edward ^^
"I can read every mind in this room. Apart from yours. There's money, sex, money, sex, cat. And then you, nothing. It's very frustrating."
"Is there something wrong with me?"
"See, I tell you I can read minds, and you think there's something wrong with you?"
"What is it?"
"I don't have the strength to far away from you anymore."
"Then don't."
This is the dialogue when Bella had dinner with Edward :D
"Everything about me, invites you in. My face, my voice, even my smell. But it's you. Your scent, it's like a drug to me. You're like my own personal brand of heroin."
This is the dialogue whey they were at the park. And I think this is sweet :)
About three things I was absolutely positives.
First, Edward was a vampire.
Second, there was a part of him, but I didn't know how dominant that part might be, that thirst for my blood.
Third, I was unconditionally, and irrevocably, in love with him.
"If it's about my soul, just take it. I don't want it without you."
Bella said when Edward wanted to leave her in New Moon.
"I would've got down on one knee, and I would presented you with a ring. Isabella Marie Swan, I promise to love you every moment forever. And would you do me the extraordinary honor of marrying me?"
This is when Edward asked Bella to marry him in Eclipse. How sweet!!! :D
"You imprinted on my daughter?"
"It was not my choice."
"She's a baby."
"It's not like that. You think Edward would let me live if it was?"
"I've held her once. One time, Jacob! And already you think that you have some moronic Wolfy claim o her? She's mine!"
"You're gonna stay away from her."
"You know I can't do that. Do you remember how much you wanted to be around me three days ago? That's gone now, right?"
"Long gone."
"Because it was her. From the beginning it was Nessi who wanted me there."
"Nessie? You nicknamed my daughter after the Loch Ness monster?"
This is when Bella knew Jacob imprinted on Renesmee. How cool! :D
"I'll never let anybody hurt you."
Bella really wanted to protect her daughter. So do I if I was :D
Well, that's all I can share. As soon as possible I will improve this post if I found any other sweet moment :D
-d-
Sabtu, 23 Februari 2013
Come back more and more :)
Sudah lama tidak bersua di ranah ini.
Asyik dengan segala rutinitas yang menggeluti hari.
Kaki pun terasa ringan melangkah.
Bersahabat dengan kelam.
Berjabat tangan dengan takdir.
Dan bertahan ketika menyesap segala kepahitan.
Rasanya hanya itu saja penguat hati dikala memaksa untuk bertahan.
Selain berdoa dan berserah diri kepada Raja dari semua Raja, Allah SWT.
Serta melakukan yang terbaik.
Rasanya hidup ini penuh kejutan, bukan?
Setiap hari ada saja bumbu baru yang belum kita ketahui rasanya seperti apa.
Sebagai pengingat kalau rasa manis tidak selamanya berlaku.
Manis memang rasa paling nyaman.
Tapi kalau terlalu banyak dikonsumsi tidak baik juga, kan? :D
Bicara tentang hidup, tak pernah lepas dari satu daging yang ada di dalam diri manusia.
Ya, Hati.
Aku termasuk orang yang paling takut bicara soal hati.
Karena memang hanya aku sendiri yang mengerti.
Mau sejelas apa pun aku berbicara soal isi hati.
Sampai kapanpun tidak akan pernah ada yang paham.
Lalu pada akhirnya apa?
Terluka dan saling menyalahkan.
Maka dari itu.
Lebih baik diam dan tuliskan saja.
Kembali ke topik awal.
Rutinitas.
Tidak ada yang istimewa dari rutinitasku.
Hanya kuliah, mengajar, makan, tidur, kuliah, mengajar, makan, tidur.
Terkadang aku merevisi dan melanjutkan ceritaku.
Terkadang aku juga menari mengikuti gerakan salah satu Girl Band papan atas, SNSD hehe.
Aku belum menemukan waktu yang paling tepat untuk olahraga.
Maka aku jadikan dance ini sebagai penggantinya dan sit up sebelum tidur.
Cukup membawa hasil dari keringat yang tercurah, hehe.
Ya, aku masih menulis.
Apa pun itu, dan sampai kapan pun itu.
Kesalahan terbesar yang pernah aku lakukan adalah berhenti menulis.
Sehingga ada beberapa karyaku yang mati suri.
Hingga pada akhirnya dia datang menguatkanku.
Menimbulkan bagian dalam diri ini yang menginginkan selamanya bisa menulis.
Aku bermimpi bisa berbagi duniaku dengan mimpinya.
Karena dia membuat segala sesuatunya ada.
Dia membuat segala sesuatunya dekat.
Dia membuat aku percaya, bumi hanya sebutir debu di bawah telapak kaki kita.
Sampai kapanpun, aku merasa berhutang budi padanya.
Dia memang bukan inspirasi pertamaku dalam menulis.
Tapi satu hal yang pasti.
Mencintai dia merupakan inspirasi terbesarku.
Dia selalu hidup dalam setiap tulisan-tulisanku.
Dalam hidupku.
Dalam hatiku.
Ya, Dia.
Langitku.
Titaniumku.
Entah sampai kapan aku bertahan dengan cinta yang kupunya ini untuknya.
Tidak ada habisnya, ku rasa.
Mi Cielo, Te quiero . . .
-d-
Asyik dengan segala rutinitas yang menggeluti hari.
Kaki pun terasa ringan melangkah.
Bersahabat dengan kelam.
Berjabat tangan dengan takdir.
Dan bertahan ketika menyesap segala kepahitan.
Rasanya hanya itu saja penguat hati dikala memaksa untuk bertahan.
Selain berdoa dan berserah diri kepada Raja dari semua Raja, Allah SWT.
Serta melakukan yang terbaik.
Rasanya hidup ini penuh kejutan, bukan?
Setiap hari ada saja bumbu baru yang belum kita ketahui rasanya seperti apa.
Sebagai pengingat kalau rasa manis tidak selamanya berlaku.
Manis memang rasa paling nyaman.
Tapi kalau terlalu banyak dikonsumsi tidak baik juga, kan? :D
Bicara tentang hidup, tak pernah lepas dari satu daging yang ada di dalam diri manusia.
Ya, Hati.
Aku termasuk orang yang paling takut bicara soal hati.
Karena memang hanya aku sendiri yang mengerti.
Mau sejelas apa pun aku berbicara soal isi hati.
Sampai kapanpun tidak akan pernah ada yang paham.
Lalu pada akhirnya apa?
Terluka dan saling menyalahkan.
Maka dari itu.
Lebih baik diam dan tuliskan saja.
Kembali ke topik awal.
Rutinitas.
Tidak ada yang istimewa dari rutinitasku.
Hanya kuliah, mengajar, makan, tidur, kuliah, mengajar, makan, tidur.
Terkadang aku merevisi dan melanjutkan ceritaku.
Terkadang aku juga menari mengikuti gerakan salah satu Girl Band papan atas, SNSD hehe.
Aku belum menemukan waktu yang paling tepat untuk olahraga.
Maka aku jadikan dance ini sebagai penggantinya dan sit up sebelum tidur.
Cukup membawa hasil dari keringat yang tercurah, hehe.
Ya, aku masih menulis.
Apa pun itu, dan sampai kapan pun itu.
Kesalahan terbesar yang pernah aku lakukan adalah berhenti menulis.
Sehingga ada beberapa karyaku yang mati suri.
Hingga pada akhirnya dia datang menguatkanku.
Menimbulkan bagian dalam diri ini yang menginginkan selamanya bisa menulis.
Aku bermimpi bisa berbagi duniaku dengan mimpinya.
Karena dia membuat segala sesuatunya ada.
Dia membuat segala sesuatunya dekat.
Dia membuat aku percaya, bumi hanya sebutir debu di bawah telapak kaki kita.
Sampai kapanpun, aku merasa berhutang budi padanya.
Dia memang bukan inspirasi pertamaku dalam menulis.
Tapi satu hal yang pasti.
Mencintai dia merupakan inspirasi terbesarku.
Dia selalu hidup dalam setiap tulisan-tulisanku.
Dalam hidupku.
Dalam hatiku.
Ya, Dia.
Langitku.
Titaniumku.
Entah sampai kapan aku bertahan dengan cinta yang kupunya ini untuknya.
Tidak ada habisnya, ku rasa.
Mi Cielo, Te quiero . . .
-d-
Langganan:
Komentar (Atom)